BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berlatar belakang agraris atau merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian (Mubyarto, 1989: 12).
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus kepada sektor pedesaan karena sebagian besar penduduk Indonesia khususnya hidup di daerah pedesaan dan umumnya mempunyai sumber kehidupan di sektor pertanian (rumah tangga pertanian). Pada tahun 1993 jumlah rumah tangga pertanian adalah 20,8 juta dan terus meningkat menjadi 25,6 juta pada tahun 2003, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,10% pertahun. Penyebaran rumah tangga pertanian antar propinsi tidak merata tetapi tergantung pada banyaknya rumah tangga pada daerah yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1.1.
Distribusi Banyaknya Rumah Tangga Pertanian di Indonesia Tahun 2003
Propinsi | Prosentase (%) | |
Jateng | 17 % | |
Jabar | 14 % | |
Sumut | 5 % | |
Sulsel | 5 % | |
Lampung | 5 % | |
Jatim | 19 % | |
Lainnya | 35 % | |
Sumber: BPS 2004
Berdasarkan hal ini, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan di bidang pertanian dengan tujuan meningkatkan produksi, peningkatan pendapatan, dan taraf hidup petani.
Salah satu ciri pertanian rakyat di Indonesia adalah manajemen dan permodalan yang terbatas. Menurut Soekartawi (1989: 23), modal dalam usahatani dapat diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu proses produksi. Dengan demikian pembentukan modal mempunyai tujuan yaitu :
- Untuk menunjang pembentukan modal lebih lanjut, dan
- Untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani.
Kesulitan permodalan yang dialami petani akan mempengaruhi ruang gerak aktifitas produksi usahatani dari petani. Salah satu usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada umumnya dan pertanian pada khususnya adalah melalui kredit. Kredit sebagai salah satu syarat pelancar dalam pembangunan pertanian berfungsi untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan pertanian, karena tanpa adanya kredit, pertumbuhan ekonomi dalam bidang pertanian akan berjalan lambat. Untuk produksi yang lebih baik, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang sarana produksi. Petani dengan uang banyak akan mampu untuk membeli sarana produksi yang produktif sehingga akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi (Mosher, 1985: 44).
Ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba (Mubyarto, 1989: 35). Penciptaan modal untuk petani dapat dilakukan dengan menyisihkan kekayaan (menabung), akan tetapi pada umumnya petani jarang memiliki kapital tinggi. Hal ini mengakibatkan investasi untuk usahatani selanjutnya sangatlah kecil karena akumulasi modal sangatlah sulit untuk dilakukan. Atas dasar inilah, pemerintah meluncurkan kebijakan perkreditan untuk membantu petani kecil mendapatkan modal sekaligus untuk mengembangkan usahanya. Kebijakan pemerintah mengenai program kredit usahatani, khususnya usahatani padi dan palawija, telah mengalami berbagai perubahan dalam pelaksanaannya. Sejarah kredit pertanian diawali dengan adanya kredit program untuk Padi Sentra pada tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimbingan Massal (Bimas) pada tahun 1966 dan 1969 menjadi Bimas Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah menjadi Bimas yang Disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Pada tahun 1985 kredit Bimas diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT), kredit program sektor pertanian tersebut digulirkan dengan tujuan untuk menunjang pelaksanaan program intensifikasi pertanian. Sejak dikeluarkannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak lagi mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk pendanaan kredit program (termasuk KUT), sehingga semua kredit program yang bersumber dari KLBI dihapuskan mulai rahun 2000. Sebagai pengganti skim pembiayaan pertanian maka diluncurkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP).
Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), adalah kredit untuk usahatani tanaman pangan (padi dan palawija), tebu, peternakan, perikanan, dan pengadaan pangan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi pertanian nasional dan meningkatkan pendapatan petani. Penyaluran KUT dan KKP relatif sama dengan beberapa penyesuaian pada tingkat pelaksana kredit. Perbedaan antara KUT dan KKP terletak pada sumber pendanaan dan tanggung jawab terhadap risiko kredit. Sumber dana KUT berasal dari KLBI dan risiko kredit ditanggung pemerintah, sementara sumber dana KKP berasal dari bank pelaksana dan risiko kredit ditanggung bank pelaksana sebesar 50 persen. Sisanya ditanggung oleh konsorsium (untuk KKP tanaman pangan), sementara KKP pada komoditas selain pangan risiko kredit sepenuhnya ditanggung bank pelaksana.
Program KUT dan KKP dimaksudkan untuk membantu petani yang belum mampu membiayai sendiri usahataninya agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya serta mewujudkan ketahanan pangan. Selain modal, tenaga kerja merupakan faktor penting dari kegiatan produksi sektor pertanian. Kelonggaran kualifikasi tenaga kerja di sektor pertanian memberikan daya serap yang tinggi terhadap tenaga kerja di sektor tersebut dan membentuk karakteristik tertentu yang membedakannya dengan tenaga kerja di sektor perekonomian lainnya. Pada umumnya tenaga kerja di sektor pertanian memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mengandalkan skill yang terbatas, mengerjakan lahan pertanian milik sendiri atau orang lain dan merupakan pekerjaan yang dilakukan turun-temurun. Oleh karena itu sampai saat ini sektor pertanian masih merupakan penampung tenaga kerja dengan jumlah yang cukup besar dibanding sektor-sektor lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 1.2.
Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor
Sektor | Sensus | |||||
1971 | 1980 | 1990 | 2000 | |||
Pertanian | 71,6 | 55,9 | 49,3 | 48,7 | ||
Industri | 19,2 | 22,1 | 24,9 | 26,7 | ||
Perdagangan dan jasa | 1,2 | 13,9 | 14,6 | 16,8 | ||
Lain-lain | 8,2 | 8,1 | 11,2 | 7,7 | ||
Persentase | 100 | 100 | 100 | 100 | ||
Juta | 48,4 | 54,4 | 67,6 | 83,3 |
Sumber: Biro Pusat Statistik, 2000
Ketersediaan tenaga kerja pada sektor tenaga kerja akan menentukan perkembangan total produksi dari hasil pertanian yang pada akhirnya akan berimplikasi pada pendapatan perkapita petani. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis dalam penelitian ini mengambil judul: Peranan Kredit (Kredit Usaha Tani dan Kredit Ketahanan Pangan) dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Dalam Meningkatkan Pendapatan Perkapita Petani di Kabupaten Malang.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik permasalahan yang akan dianalisis lebih lanjut. Adapun masalah-masalah tersebut adalah:
- Apakah jumlah kredit yang disalurkan melalui Kredit Usaha Tani (KUT) dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan perkapita petani ?
- Apakah jumlah tenaga kerja sektor pertanian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan perkapita petani ?
No comments:
Post a Comment