BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Kondisi perekonomian Indonesia sampai abad 21 ini masih belum menunjukkan adanya perbaikan yang cukup signifikan. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya perusahaan yang bangkrut, buruknya kinerja perbankan nasional, banyaknya kredit macet, rendahnya daya saing produk-produk Indonesia di luar negeri, sampai adanya ketakutan pada pemilik dan manajemen perusahaan maupun pemerintah terhadap berbagai konsekuensi yang akan timbul dari adanya perdagangan bebas yang akan terjadi. Hal itu juga diperparah oleh adanya krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan Juli 1997 yang telah membawa dampak multidimensional, artinya mempengaruhi semua aspek seperti menyebabkan krisis sosial sampai krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada. Krisis-krisis tesebut akhirnya mendorong timbulnya suatu gerakan reformasi sebagai suatu wujud atau keinginan masyarakat akan perubahan di negara ini.
Kondisi di atas menunjukkan suatu dilema yang unik karena disatu sisi berbagai pihak termasuk pemerintah berusaha menempuh berbagai cara untuk membawa perubahan dan perbaikan, namun di sisi lain terdapat pihak-pihak yang bertindak memperburuk keadaan. Senada dengan hal tersebut, Ariyoto (2000:3) mengatakan bahwa kondisi dunia usaha Indonesia pasca krisis ekonomi masih carut marut. Dikaitkan dengan standar kinerja ekonomi pasar, kinerja dunia usaha dan perekonomian Indonesia memprihatinkan. Selama ini dirasakan terdapat dualisme yang tidak terelakkan dalam praktek dunia usaha yaitu disatu sisi terdapat kebijakan pemerintah yang positif, diantaranya adalah semangat regulasi dalam arus pasar bebas sedangkan di sisi lain ditemukan orientasi berkurang, diantaranya indikasi tingkat korupsi yang tinggi dalam mendahulukan kepentingan kaum elitis.
Dari beberapa hal yang ditelah diuraikan di atas kejadian-kejadian tersebut disebabkan karena selama ini Indonesia tidak menerapkan Good Corporate Governance (GCG) sebagai dasar penyelenggaraan pemerintah yang bersih. Terdapat sinyalemen bahwa krisis ekonomi tersebut dipicu oleh krisis disektor publik yang selama ini banyak menerapkan Bad Corporate Governance yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah, buruknya manajemen yang pada akhirnya menyebabkan risiko tingginya utang usaha dan juga dampak korupsi yang sangat nyata, seperti yang dinyatakan dalam resolusi "Corruption in Governance", antara lain menghancurkan efektivitas program pemerintah, menghambat pembangunan, dan merusak individual/ kelompok masyarakat, mengurangi kredibilitas pemerintah, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan melemahnya daya saing (Wildan 2001). Darmawati, dkk (2005) menjelaskan bahwa GCG sering disebut sebagai penyebab krisis keuangan di negara-negara di Asia, dimana ciri utama dari lemahnya GCG adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri oleh pihak manajer perusahaan. Jika para manajer perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan investor, maka akan menyebabkan jatuhnya harapan pada investor tentang pengembalian (return) atas investasi yang telah mereka tanamkan. Dengan demikian, secara agregat hal tersebut dapat mengakibatkan aliran masuk modal (capital inflows) ke suatu negara mengalami penurunan, sedangkan aliran keluar (capital outflows) dari suatu negara mengalami kenaikan.
Kinerja usaha yang buruk dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kegagalan perusahaan dalam melakukan pemantauan dan penentuan perencanaan strategis. Dimensi lain penyebab buruknya kinerja perusahaan secara umum adalah pelanggaran terhadap etika bisnis. Seperti diketahui, budaya suap- menyuap, kolusi-korupsi dan nepotisme (KKN) masih marak mewarnai praktik bisnis di Indonesia. Oleh karena itu perusahaan harus dapat merancang dan merumuskan strategi yang tepat untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan serta mempunyai seperangkat sistem pengetahuan yang terpercaya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara strategi, lingkungan, dan pengendalian (Syakhoza, 2000). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam mengembangkan strategi perusahaan, bentuk dan pemilihan strategi harus sesuai dengan kondisi lingkungan perusahaan dan diselaraskan dengan atribut sistem pengendalian.
Etika usaha adalah suatu konsep yang memberikan pedoman tentang bagaimana sebuah perusahaan meraih keuntungan sesuai dengan kepatuhan publik. Tetapi etika usaha pada dasarnya lebih memerlukan kesadaran individual seorang pengusaha dari pada kesadaran kolektif. Bakrie (2000:22) menjelaskan bahwa etika usaha adalah sebuah konsep tentang bagaimana sebuah usaha dilaksanakan dengan "benar", kata "benar" (dalam tanda kutip) sangat interpretable karena konsep benar dan salah pada umumnya ditentukan oleh latar belakang budaya dalam sebuah masyarakat. Kendati demikian batasan-batsan umum yang telah dikelola secara etis atau tidak. Pertama, secara internal perusahaan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan- peraturan administrasi yang umum berlaku. Di sini ada pembagian tugas tentang siapa yang harus melakukan apa dan kapan tugas tersebut dimulai serta kapan tugas itu berakhir. Kedua, secara eksternal pengelolaan perusahaan haruslah dilaksanakan sesuai konsep keadilan dan kepatuhan yang berkembang. Berbagai prinsip etika seperti dignity (harga diri/martabat), equity (keadilan), prudence (kehati-hatian), honesty (kejujuran), openes (keterbukaan), goodwill (niat baik) harus dijadikan pedomen dan aturan dalam usaha mengembangkannya menjadi ukuran kinerja suatu perusahaan. Oleh karena itu, untuk menciptakan bisnis yang beretika dan mengurangi praktek kecurangan yang ada maka perlu menempuh cara-cara konkret seperti antara lain: Pertama, membuat kode etik atau aturan yang bersifat lebih formal dan merumuskan secara bersama dalam rangka mengihindari adanya tendensi atau maksud tertentu dari berbagai pihak. Kedua, dibentuknya sebuah komite etik yaitu semacam lembaga yang berfungsi sebagai pengawas atau untuk mengontrol dalam pelaksanaan kode etik tersebut. Ketiga, adanya pelatihan etika bisnis dan profesi bagi seluruh karyawan, dan keempat, adanya pelaporan secara formal tertentu pelaksanaan etika dalam perusahaan (Media Akuntansi, 2000).
Dari beberapa uraian di atas, krisis enonomi yang terjadi telah membawa dampak yaitu munculnyua isu mengenai konsep GCG yang menjadi isu sentral dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi dan pertumbuhan bisnis yang dipasaran terjadi banyak konflik kepentingan antara berbagai pihak. Menurut Syakroza (2000), ada dua penyebab pemacu isu munculnya GCG. Pertama, perubahan lingkungan yang sangat cepat yang berdampak pada perubahan peta kompetisi pasar global. Kedua, semakin banyak dan kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan dan kompetisi pasar global terus meningkat karena dipacu oleh kecanggihan tehnologi dan regulasi ekonomi. Sebenarnya, istilah Good Corporate Governance atau dikenal dengan GCG bukan merupakan hal baru di Indonesia. Namun, isu mengenai GCG semakin mencuat dan menjadi topik bahasan penting yang disebabkan karena bangkitnya kesadaran dan tanggung jawab secara nasional dalam rangka mendukung pemulihan kondisi perekonomian di Indonesia. Banyak perusahaan di Indonesia yang sebelumnya dikatakan sehat, namun kemudian berguguran karena tidak menerapkan GCG apalagi di era persaingan yang semakin global seperti sekarang ini. Namun sayangnya banyak perusahaan milik negara ataupun perusahaan swasta yang belum menerapkan GCG padahal konsep tersebut banyak memberikan manfaat yang berarti nantinya bagi perusahaan.
Salah satu faktor penghambat penerapan prinsip-prinsip GCG di Indonesia adalah pada umumnya perusahaan belum mengetahui dan memahami konsep Good Corporate Governance. Hal tersebut dapat dipahami karena bagi banyak pelaku dunia usaha pada negara berkembang, seperti Indonesia, konsep GCG merupakan sesuatu yang baru. Karena itu, tidak mengherankan jika masing-masing pelaku dunia usaha mempunyai intrepretasi sendiri yang mungkin berbeda dengan yang lain. Apalagi perusahaan di Indonesia masik banyak perusahaan yang bersifat usaha keluarga (Family Business).
Dari gambaran di atas, penulis tertarik untuk membahas tentang konsep GCG pada perusahaan milik negara (BUMN) maupun Perusahaan Milik Swasta (BUMS) dengan judul: "PERSEPSI MANAJEMEN PERUSAHAAN TERHADAP PRINSIP- PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (Studi Pada Perusahaan BUMN dan BUMS Di Jawa Timur)"
1.2 Perumusan Masalah
Wacana dan tuntutan GCG yang selama ini kurang didengungkan semakin meningkat. Banyaknya perusahaan baik publik ataupun privat yang runtuh menunjukkan corporate governance yang lemah. Salah satu aspek yang paling dituntut oleh masyarakat terhadap pelaksanaan corporate governance adalah transparansi. Seringkali perusahaan kurang transparan dalam memberikan informasi baik kepada pemegang saham, investor serta masyarakat. Hal ini diperkuat dengan rontoknya perusahaan publik yang notabene memperoleh pendapat "wajar tanpa pengecualian" dalam laporan keuangannya dari auditor eksternal.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimanakah persepsi manajemen perusahaan ditinjau dari perusahaan BUMN dan BUMS terhadap prinsip-prinsip GCG?
- Bagaimanakah persepsi manajemen perusahaan ditinjau dari level manajer terhadap prinsip-prinsip GCG?
No comments:
Post a Comment