BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dunia industri saat ini berkembang dengan cepat yang mengakibatkan ekspansi industri di banyak daerah. Industrialisasi merambah dimana-mana sehingga pencemaran tidak hanya terjadi di kawasan industri saja, melainkan di lingkungan penduduk. Berkembangnya industri ini menyebabkan keadaan lingkungan hidup (yang merupakan sumber faktor produksi) menjadi memprihatinkan.
Contoh nyata yang menunjukkan industrialisasi mencemari lingkungan adalah kasus semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan. Menurut Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Walhi Jawa Timur, Khoirul Anam, rusaknya lingkungan ini akibat eksplorasi sumur minyak yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas yang terletak di Desa Siring, Porong, Sidoarjo. Selain itu, analisa dampak lingkungan (amdal) PT Lapindo Brantas ternyata belum memenuhi syarat. Ini sudah masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Dalam hal ini, Walhi telah melakukan investigasi lapangan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh semburan lumpur bercampur gas. Hasilnya, Walhi banyak menemukan ikan yang mati karena air sungai telah tercemar oleh rembesan air lumpur. Selain itu beberapa tanaman yang terendam lumpur juga layu dan kering. Bau gas yang keluar juga menyebabkan polusi udara yang parah sekaligus membahayakan kesehatan. Dari kajian lingkungan yang dilakukan Walhi, ditemukan fakta bahwa peta seismik dan geologi di Pulau Jawa agak rapuh lantaran banyak patahan dan retakan-retakan di dalam bumi. Karena itu untuk melakukan aktivitas ekplorasi bahan tambang, seharusnya dilakukan dengan perencanaan yang matang serta menggunakan teknologi tinggi. Sedangkan ekplorasi PT Lapindo Brantas tidak memenuhi standar yang professional.
Pencemaran pada Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu juga sering terjadi. Berkali-kali perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu yang terletak di ibukota Negara Indonesia, Jakarta, tercemar. Setidaknya dalam empat tahun terkakhir. Tercatat telah 7 (tujuh) kali terjadi kasus pencemaran tumpahan minyak di wilayah yang sama. Dengan keadaan yang seperti ini, hak masyarakat mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat tidak bisa didapatkan.
Dewasa ini ditemukan fakta bahwa perusahaan yang tidak ramah lingkungan akan tersisih dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena persaingan bisnis bukan hanya ditentukan oleh manajemen bisnis perusahaan, melainkan juga tanggung jawab sosialnya. Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengemukakan hal itu pada seminar "The Implication of the Corporate Social Responsibility" di Jakarta. Seminar diselenggarakan bersama oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dan The Associations of Chartered Certified Accountants (ACCA).
Terkait dengan kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup, perusahaan penting untuk memiliki laporan tentang lingkungan hidup, di samping laporan keuangan perusahaan yang dikeluarkan setiap tahun. Hal itu, akan menunjukkan tanggung jawab sosial suatu perusahaan.
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perusahaan, akuntansi berupaya mengakomodasi perubahan kecenderungan tersebut dalam akuntansi lingkungan. Akuntansi lingkungan (environmental accounting) kerapkali dikelompokkan dalam wacana akuntansi sosial. Hal ini terjadi karena kedua diskursus tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menginternalisasi eksternalitas (eksternalitas lingkungan sosial dan lingkungan ekologis), baik positif maupun negatif, ke dalam laporan keuangan perusahaan.
Konsep akuntansi lingkungan sebenarnya sudah mulai berkembang sejak tahun 1970-an di Eropa. Akibat tekanan lembaga-lembaga bukan pemerintah dan meningkatnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat yang mendesak agar perusahaan-perusahaan menerapkan pengelolaan lingkungan bukan hanya kegiatan industri demi bisnis saja. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1990-an konsep atau kata ini tidak banyak terdengar termasuk di Jepang. Pada tertengahan tahun 1990-an the International Accounting Standards Committee ("IASC") mengembangkan konsep tentang prinsip-prinsip akuntansi internasional. Termasuk di dalamnya pengembangan akuntasi lingkungan dan akuntasi dan audit hak-hak azasi manusia. Kemudian juga standar industri semakin berkembang dan auditor/accreditor profesional seperti the American Institute of Certified Public Auditors ("AICPA") yang mengeluarkan prinsip-prinsip universal tentang environmental audits.
Walaupun belum ada peraturan yang mewajibkan suatu perusahaan untuk melaporkan segala aktivitasnya yang berhubungan dengan aspek sosial dan lingkungan. Namun dalam prakteknya ada perusahaan yang telah berupaya untuk memasukkan aktivitas-aktivitas tersebut dalam laporan tahunan perusahaan. Berdasarkan latar belakang di atas yaitu pentingnya pengungkapan informasi lingkungan hidup, mendasari peneliti untuk melaksanakan penelitian dengan judul: "Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Financial Performance Terhadap Pengungkapan Informasi Lingkungan Hidup (Environmental Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan (Pada Perusahaan Environmentally Sensitive yang Terdaftar di BEJ)"
1.2 Pokok Masalah dan Batasan Masalah
1.2.1 Pokok Masalah
- Apakah ukuran perusahaan (total asset dan total penjualan) mempengaruhi secara signifikan tingkat pengungkapan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan environmentally sensitive?
- Apakah financial performance (ROA dan ROE) mempengaruhi secara signifikan tingkat pengungkapan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan environmentally sensitive?
- Variabel manakah diantara total asset, total penjualan, ROA dan ROE yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan environmentally sensitive?
No comments:
Post a Comment