BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perusahaan memerlukan sumber dana bagi pengembangan usahanya, yang dapat diperoleh dari dalam maupun luar perusahaan. Perusahaan dapat menggunakan dana dari dalam perusahaan yang berasal dari laba ditahan (retained earning), atau menggunakan dana dari luar perusahaan yang diperoleh dengan hutang, baik dari bank maupun lembaga keuangan yang lainnya, serta dapat pula melalui penjualan saham lewat bursa saham. Pembiayaan melalui pinjaman mempunyai keuntungan yakni relative mudah didapat, sedangkan kelemahannya adalah adanya keterbatasan perolehan jumlah pinjaman, adanya beban bunga pinjaman yang tetap, serta perlunya jaminan asset.
Hartono (2000) menuliskan bahwa perusahaan yang belum menjadi perusahaan publik dapat meningkatkan sumber dana dengan menempuh beberapa alternatif, yaitu pertama, menjual saham langsung kepada pemegang saham yang sudah ada sebelumnya. Kedua, menjual saham kepada karyawan lewat Employee Stock Ownership Plan (ESOP). Ketiga, menambah saham lewat dividen yang tidak dibagi (dividend reinvestment plan). Keempat, menjual langsung kepada pembeli tunggal (misalnya investor institusional) secara privat. Kelima, menjual kepada publik lewat pasar saham.
Banyak perusahaan besar di Indonesia yang memilih sumber dana dari emisi saham dalam mengembangkan usahanya, hal ini tercermin dari makin banyaknya perusahaan yang melakukan (Initial Public Offering) IPO. Contohnya seperti bank Mandiri tahun 2003, dan PT Indonesia Power sebagai anak perusahaan PT Perusahan Listrik Negara (PLN) yang dilakukan pada semester II tahun 2005, kemudian PT Excelcomindo Pratama pada tanggal 8 agustus 2005.
Initial Public Offering (IPO) adalah penawaran saham di pasar perdana yang dilakukan oleh perusahaan yang hendak go public dan juga merupakan langkah awal yang menentukan dalam kelangsungan hidup perusahaan publik (Almillia dan Silvy, 2003). Penawaran publik mengindikasikan perusahaan berada pada tahapan bertumbuh sehingga perusahaan memerlukan dana untuk ekspansi atau untuk melakukan modernisasi. Keadaan ini menyebabkan kemungkinan perusahaan privat yang sedang dalam tahap pertumbuhan cepat atau lambat akan menjadi perusahaan publik untuk mendanai investasinya.
Harga saham yang dijual di pasar perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dan penjamin emisi (underwriter), sedangkan harga di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar (permintaan dan penawaran). Apabila penentuan harga saham saat IPO secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder di hari pertama, maka terjadi underpricing. Sebaliknya apabila penentuan harga saham saat IPO secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder di hari pertama, maka terjadi overpricing. Underpricing dan overpricing merupakan dua hal atau perilaku saham yang selalu terjadi pada penawaran perdana. Namun sejalan dari penelitian terdahulu dan banyak dari literatur yang menyatakan bahwa rata-rata harga saham pada saat masuk pasar sekunder dihari pertama selalu cenderung terjadi underpricing, maka dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada fenomena underpricing saja.
Daljono (2000) menyatakan bahwa pada saat perusahaan go public di Indonesia (untuk pertama kali menjual sahamnya), terdapat kecenderungan terjadinya underpricing. Aggarwal et al (1993) dalam Daljono (2000) menyatakan bahwa di beberapa negara berkembang, misalnya di Amerika Latin, gejala adanya underpricing dalam jangka pendek juga terjadi, tetapi dalam jangka panjang kondisi sebaliknya overpricing yang terjadi.
Kondisi underpricing tidak menguntungkan bagi perusahaan yang melakukan go publik (emiten) karena dana yang diperoleh tidak maksimal. Sebaliknya jika terjadi overpricing, perusahaan berhasil menghimpun dana yang lebih murah. Sedangkan bagi investor, dalam hal ini pembeli saham di pasar perdana, mengharapkan underpricing sehingga dapat memperoleh capital gain. Para pemilik perusahaan (emiten) menginginkan agar dapat meminimalisir underpricing, karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik (emiten) kepada para investor (Daljono, 2000).
Untuk menciptakan harga saham yang ideal, terlebih dahulu perlu dipelajari faktor-faktor yang mempengaruhi gejala underpricing. Seperti diketahui bahwa, keberadaan fenomena underpricing pada IPO mempunyai implikasi yang luas bagi para pelaku di pasar modal, terutama bagi para investor. Pengetahuan mengenai underpricing dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk menjadi investor yang lebih rasional, sehingga investor menjadi lebih selektif dalam membeli saham-saham yang ditawarkan. Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi underpricing akan dapat menghindarkan perusahaan yang akan go publik dari kerugian karena underestimate atas nilai pasar sahamnya (Mardiyah, 2003).
Untuk dapat memberikan gambaran lebih jelas dan lengkap mengenai perilaku harga saham yaitu fenomena underpricing ataupun overpricing pada saat penawaran saham perdana, yaitu adanya perbedaan keinginan antara emiten yang menginginkan meminimalisir underpricing dengan investor yang justru menginginkan underpricing, serta mengetahui besarnya tingkat underpricing dan menganalisis faktor-faktor yang menentukan keberadaan underpricing maka dilakukan penelitian analisis perilaku pasar saham pada perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta.
Hudiyanto (2001), meneliti mengenai besaran underpricing penawaran saham perdana: sebelum dan sesudah krisis moneter bulan Juli 1997. Penelitian mengambil sampel dari semua emiten-emiten yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta dari tahun
1996 sampai dengan 2000. Dengan abnormal return ukuran dari underpricing sebagai variabel terikat dan kondisi pasar sebagai variabel bebas. Hasil penelitian menunjukan bahwa selama periode tahun 1996 sampai dengan tahun 2000, saham perdana mengalami underpricing sebesar 21,96% secara rata-rata dan siginifikan pada saat pertama kali diperdagangkan. Perhitungan tersebut menggunakan metode market adjusted abnormal return. Penelitian juga mendapatkan fakta bahwa kondisi bursa yang terpengaruh oleh krisis moneter Juli 1997 mempengaruhi secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Mahartha (2005), meneliti perilaku harga saham perusahaan keuangan pada penawaran IPO di Bursa Efek Jakarta tahun 1999-2002 dengan abnormal return ukuran dari underpricing sebagai variabel terikat, Return on Equity (ROE) dan Debt to Equity Ratio (DER) sebagai variabel bebas. Sampel yang diambil yaitu semua perusahaan keuangan yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta periode 1999-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat Debt to Equity Ratio (DER) yg relative lebih besar dapatn memberikan pengaruh positif terhadap tingkat underpricing dan sebaliknya tingkat ROE yg relatif lebih besar dapat memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat underpricing.
Penelitian dalam skripsi ini bertujuan untuk mengembangkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mahartha (2005) yang menggunakan variabel debt to Equity Ratio (DER) dan Return on Equity (ROE), kemudian Hudiyanto (2001) yang menggunakan kondisi pasar. Penelitian ini dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa variabel tersebut, untuk meneliti kembali dengan judul "Perilaku Harga Saham Perusahaan Pada Penawaran Saham Perdana (IPO)". Namun dengan perusahaan, dan periode serta varibel yang berbeda yaitu tahun 1999 sampai dengan 2003, dalam jangka waktu 10 hari dan 6 bulan (untuk melihat tren yang terjadi) setelah IPO (aftermarket performance). Dengan Return on Equity (ROE), Debt to Equity Ratio (DER), IHSG (sebagai proksi dari variabel kondisi pasar) sebagai independent variable dan abnormal return mewakili tingkat underpricing sebagai dependent variable.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
- Apakah terjadi underpricing pada penawaran saham perdana dan berapa besarnya underpricing tersebut pada perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta untuk periode 1999-2003 ?
- Bagaimanakah perilaku harga saham perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta pada saat IPO untuk periode 1999-2003 dalam jangka waktu 10 hari dan 6 bulan setelah IPO (aftermarket performance) ?
- Apakah variabel (ROE) Return on Equity, (DER) Debt to Equity Ratio, dan kondisi pasar (proksi dari IHSG) mempengaruhi underpricing ?
No comments:
Post a Comment