BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam salah satu tulisannya Krugman (2005) mengatakan bahwa sejak runtuhnya sistem Bretton Woods tahun 1973 nilai tukar masing-masing negara mengalami ketidakstabilan yang sangat tinggi. Hal tersebut telah menyebabkan kekecewaan yang sangat besar khususnya bagi pelaku ekonomi. Sebagai contoh pada tahun 1980-an orang-orang AS berbondong-bondong membelanjakan uang mereka karena tingginya nilai Dollar. Keadaan tersebut membuat barang-barang buatan luar negeri menjadi lebih murah. Meski sebaliknya para pengekspor AS banyak menderita kerugian akibat tingginya nilai Dollar tersebut. Mereka pun selanjutnya menuntut proteksi pedagangan.
Ekspansi perdagangan di tahun 1990-an juga terjadi akibat menguatnya nilai Dollar dan melemahnya beberapa mata uang asing. Ketika Dollar mengalami depresiasi maka sebagian besar orang-orang AS mengalami kerugian sekalipun industri-industri ekspor mereka diuntungkan. Fluktuasi nilai Dollar sebagaimana yang sering terjadi sadar atau tidak telah memberikan pengaruh pada jutaan orang AS. Demikian pula halnya jika sistem moneter internasional saat ini runtuh maka dapat dipastikan akan menimbulkan malapetaka yang luar biasa dahsyatnya sebagamana tahun 1930-an (Gilphin, 2001: 113).
Meski terdapat perbedaan dikalangan ekonom tentang sistem moneter yang ideal namun tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kurs mengambang (floating exchange rate) yang berbasis mata uang kertas telah memberikan dampak yang sangat merugikan. Mundell (1983) misalnya menyimpulkan bahwa dalam sistem pertukaran mata uang mengambang (floating rate) akan lebih banyak dibutuhkan cadangan devisa dibandingkan dengan sistem kurs tetap (fixed rate). Konsekuensinysa dalam kurs mengambang yang saat ini diadopsi oleh banyak negara kebutuhan cadangan devisa akan semakin besar.
Dengan demikian negara-negara yang mata uangnya dijadikan sebagai cadangan devisa oleh negara-negara lain akan terdorong untuk terus memproduksi mata uangnya. Sebagai perbandingan jumlah likuiditas internasional yang diciptakan pada satu bulan di tahun 1982 jauh lebih besar dibandingkan akumulasi likuiditas seluruh negara yang telah dikeluarkan sejak pertama kali mereka terbentuk hingga tahun 1971.
Disamping itu , kurs mata uang yang mengambang membuat nilai utang negara-negara debitur khususnya negar-negara berkembang (less depeloved countries/LDCs) yang tidak dipatok pada kurs tetap, terus mengalami peningkatan. Akibat nilai tukar mata uang negara-negara tersebut yang terus merosot menyebabkan jumlah utang negara-negara tersebut terus mengalami penumpukan terhadap negara-negara donor.
Kalaupun nilai tersebut ditetatapkan dengan kurs tertentu maka negara- negara tersebut tetap mengalami kerugian. Hal ini akibat nilai riil utang mereka mengalami peningkatan akibat inflasi yang terus terjadi pada Dollar dan EuroDollar yang merupakan mata uang yang mendominasi nilai utang negara- negara tersebut (Mundell, 1983). Jika mereka mengalami penjadwalan ulang (rescheduling) utang yang membuat uang mereka semakin besar, maka langkah terakhir adalah menyerahkan asset-aset berharga mereka kepada negara-negara donor (Meera, 2002: 43)
Persoalan-persoalan tersebut terjadi akibat tidak adanya mekanisme kontrol yang bersifat internasional terhadap kuantitas cadangan moneter internasional. Cadangan moneter dengan mudahnya diperoleh meski tidak semudah AS dalam memproduksi Dollar setiap tahunnya. Disiplin neraca pembayaran yang seharusnya menjadi pengatur penciptaan uang saat ini telah diabaikan. Penciptaan uang hanya dibatasi oleh kekhawatiran akan depresiasi dan atau inflasi (Mundell, 1983).
Kekacauan sistem moneter internasional saat ini juga berdampak pada sistem keuangan internasional. Arus modal internasional dan investasi asing dilakukan dalam bentuk uang, sehingga perubahan nilai tukar mata uang akan mengubah nilai satu investasi asing atau cek perjalanan seorang wisatawan. Jika orang membeli Mark untuk berinvestasi di Jeman dan nilainya tiba-tiba jatuh maka nilai investasinya akan jauh berkurang (Gilphin, 2001: 114).
Kekacauan keuangan global di akhir tahun 1990-an merupakan salah satu contoh dari serangkaian kepanikan dan kehancuran keuangan yang telah menggoncang kapitalisme intenasional dalam tiga ratus tahun terakhir. Permasalahan sistem keuangan global yang bermula dari Asia Timur yang selanjutnya menyebar ke sebagian besar negara di dunia, telah membawa penderitaan dan masa-masa sulit bagi jutaan orang.
Pada mulanya para warga AS dan negara-negara industri maju lainya menganggap diri mereka aman dari krisis tersebut. Akan tetapi kurang dari setahun, krisis telah menyebar dan pengaruhnya semakin dirasakan mereka. Ribuan investor AS dan lainnya kehilangan jutaan Dollar ketika pasar-pasar saham di seluruh dunia jatuh dan memporak-porandakan banyak institusi keuangan. Para petani AS yang telah berinvestasi besar-besaran untuk meningkatkan produksi tiba-tiba harus merugi akibat pasar-pasar ekspor mereka di Asia Timur dan tempat-tempat lain telah musnah. Pabrik pesawat Boeing dan banyak industri yang berteknologi tinggi lainnya juga kehilangan pasar ekspor yang sangat menguntungkan. Harga yang harus dipikul sedemikian besar (Gilphin, 2003: 117).
Menurut Frederick (2004: 148) krisis keuangan yang melanda negara- negara Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membuat nilai tukar mata uang lokal mengalami penurunan yang luar biasa. Bencana kemanusiaan yang ditimbulkan oleh rangkaian krisis tersebut telah menyebabkan kesulitan hidup yang sangat berat, khususnya bagi orang-orang miskin. Bangkrutnya industri-industri menyebabkan gelombang pengangguran meningkat. Demikian pula dengan laju inflasi menyebabakan kemampuan beli masyarakat menurun drastis dan membuat mereka semakin miskin.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh krisis moneter di kawasan Asia pada masa tersebut berikut ini disajikan tabel devaluasi nilai mata uang lokal sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1998:
Tabel 1. Devaluasi nilai tukar mata uang beberapa negara Asia terpilih terhadap Dollar AS pada Februari 1998 dibandingkan akhir Juni 1997
Negara | Devaluasi (%) |
Thailand | 48% |
Malaysia | 36% |
Indonesia | 75% |
Singapura | 15% |
Korea | 47% |
Afganistan | 15% |
Filipina | 36% |
Sumber: Frederick, 2004
Frederick (2004) juga menyajikan kondisi devaluasi sejumlah negara di kawasan Asia yang menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya mata uang negara- negara tersebut dalam menghadapi krisis moneter.
Tabel 2. Nilai Tukar Berbagai Mata Uang Terpilih terhadap Dollar AS
Mata Uang | Nilai 1 Dollar AS | Nilai 1 Dollar AS | Persentase |
pada Januari 1997 | pada Januari 2002 | ||
Lira Turki | 108.340,00 | 1.474.525,00 | 93% |
Rupiah Indonesia | 2347,90 | 10.410,00 | 77% |
Dinar Libia | 0,36 | 0,66 | 46% |
Pound Sudan | 148,00 | 256,00 | 42% |
Ringgit Malaysia | 2,53 | 3,81 | 34% |
Rupee Pakistan | 40, 21 | 60,80 | 24% |
Pound Mesir | 3,39 | 4,60 | 26% |
Dirham Maroko | 8,83 | 11,56 | 24% |
Sumber: Frederick, 2004
Devaluasi yang sangat tajam tersebut memberikan pengaruh yang signifikan tehadap penghasilan penduduk, tabungan, serta harga-harga barang- barang dan jasa. Devaluasi juga menyebabkan membengkaknya nilai utang jangka pendek yang dihitung dengan kurs Dollar AS. Kemudian pada bulan Agustus 1998 mata uang rubel juga mengalami devaluasi yang sangat parah, yaitu sebesar 70%, hanya dalam jangka waktu 6 bulan.
Berikutnya pada tahun 2001, tepatnya pada hari Rabu 2001-yang kemudian dikenal dengan hari "Black Wednesday" -mata uang Lira Turki juga didevaluasi hingga 30%. Devaluasi ini mengakibatkan 100.000 pekerja serta ribuan wartawan menganggur. Dua bulan kemudian, nilai tukar Lira Turki terdevaluasi hingga 50%. Langkah devaluasi ini diambil setelah kepercayaan terhadap pemerintah semakin menipis (Frederick, 2004).
Efek domino krisis keuangan ini juga melanda Indonesia. Hanya dalam tempo lima bulan sejak pertengahan Juni tahun 1997, nilai tukar rupiah terhadap Dollar anjlok hingga 100 persen lebih. Di awal bulan Juli nilai rupiah mencapai Rp. 2.445 per Dollar, kemudian menembus angka psikologis Rp. 3.000 per Dollar dua bulan berikutnya. Di awal Desember 1997, nilai tukar rupiah merosot lagi ke angka fenomenal Rp. 5.000 yang diantaranya dipicu oleh isu seputar kesehatan Presiden Suharto.
Bahkan pada 15 Desember 1997, kurs rupiah mencapai nilai historis Rp. 6.000 per Dollar. Sehari setelah pidato Presiden di DPR yang menyampaikan Nota Pengantar RAPBN 1998/1999, kurs rupiah kembali merosot hingga Rp. 7.900 per Dollar. Puncak penurunan nilai rupiah terhadap Dollar terjadi pada tanggal 18 Januari 1998, dimana satu Dollar AS setara dengan Rp. 16.000 (Yusanto, 2001: 3). Krisis keuangan dan perbankan tersebut telah menyedot begitu besar keuangan negara yang diperkirakan mencapai lebih dari 50% PDB Indonesia sehingga dapat dikategorikan terbesar dalam sejarah krisis keuangan (Agung, 2000 dalam Arifin, 2004).
Dampak dari depresiasi rupiah terhadap Dollar ini amat dahsyat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk. Kebijakan otoritas moneter yang menerapkan kebijakan uang ketat (tigh money policy) untuk membendung pelemahan rupiah dengan menaikkan suka bunga memaksa bunga pinjaman naik. Akibatnya proyek-proyek terhenti dan sejumlah perusahaan-perusahaan gulung tikar. Dampak selanjutnya adalah terjadinya PHK besar-besaran. Harga sembako dan juga barang-barang lainnya meningkat tajam sehingga membuat rakyat semakin menderita (Yusanto, 2001: 3).
Peristiwa yang lebih mutakhir adalah krisis keuangan yang melanda Argentina. Mata uang Argentina, Peso didevaluasi hingga lebih dari 100% dari Dollar AS yang menjadi patokan. Salah satu alasan utama kebijakan devaluasi ini adalah keputusan untuk menghentikan pematokan (pegging) peso terhadap Dollar AS, yang oleh IMF dianggap tidak lagi dapat dipertahankan. Kegagalan strategi pemerintah dan kekacauan tersebut telah mempengaruhi situasi negara-negara AS lainnya (Fredericks, 2004: 149).
Dalam kondisi moneter yang tidak stabil dan menimbulkan penderitaan tersebut ternyata pihak spekulan menghadapi keadaan sebaliknya. Menurut Stiglizt (199: 2003) pukulan berat yang mengakibatkan real estate dan pasar saham Thailand mengalami gelembung (bubble) diakibatkan oleh uang spekulatif panas yang mengalir ke negara tersebut. Dan memang pada faktanya perubahan arah modal spekulatif ini merupakan akar pergerakan eksesif pada nilai tukar.
Menurut Stiglizt (2003: 199) salah satu sumber keuntungan para spekulan adalah uang yang berasal dari pemerintah yang didukung oleh IMF. Sebagai contoh ketika IMF dan pemerintah Brazil mengeluarkan sekitar 50 miliar Dollar untuk menjaga nilai tukar yang berada pada level overvalued pada akhir 1998, uang tersebut seakan hilang ditelan angin. Namun pada faktanya uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan mungkin mengalami kerugian sementara yang lain untung namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh seluruh uang yang diderita oleh pemerintah.
Bahkan menurut Stiglizt (2003: 199) IMF-lah yang menjaga agar para spekulan tersebut tetap dapat berbisnis.
Pada umumnya para ekonom sadar bahwa sejak keruntuhan sistem kurs nilai tetap (fixed exchange rate), tidak ada lagi suatu sistem moneter internasional yang stabil dan memuaskan. Disamping melibatkan isu-isu teknis yang penting dan rumit, solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut terkait erat dengan persoalan politik yang sangat krusial. Isu tingkat nilai tukar tetap (fixed exchange rate) versus tingkat nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) dan kaitannya dengan masalah pengaturan sistem moneter internasional dianggap sebagai akar dari masalah ini. Oleh karena itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Gilphin (2005: 115) bahwa masa depan sistem moneter internasional yang stabil dan terintegrasi akan tetap diliputi oleh awan tebal hingga permasalahan ini terpecahkan.
Berdasarkan pemaparan di atas sangat wajar jika sejumlah kalangan mulai mempertanyakan faktor fundamental yang menjadi pemicu berbagai krisis tersebut. Mereka mulai mencari solusi alternatif yang dapat menstabilkan kondisi moneter dan keuangan baik yang bersifat domistik maupun yang bersifat internasional.
Salah satu negara yang memberikan respon yang kuat dari instabilitas sektor moneter tersebut adalah Rusia. Pemerintah Rusia telah menyadari sifat spekulatif pasar uang dan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh penetapan standar mata uang itu. Pada 10 Juli 2001 The Bank of Rusia yang merupakan Bank Sentral Rusia mengedarkan mata uang emas yang bernama Chervonet. Dengan demikian mata uang emas menjadi alat pembayaran yang sah. Diharapkan dalam jangka pendek orang-orang Rusia bersedia mengubah tabungan mereka dari mata uang Dollar menjadi mata uang Chervonet disamping Rubel yang saat ini beredar. Dalam jangka panjang Rusia juga diharapkan dapat membuat perubahan besar dalam kebijakan keuangan internasional di tengah kegalauan banyak negara yang berusaha melepaskan diri dari sistem keuangan dunia yang berporos pada kepentingan bangsa Anglo-AS (Frederick, 2004: 195).
Dalam sebuah artikel di situs www.ncpa.org sebagaimana yang dikutip oleh Frederick (2004: 63) dinyatakan bahwa:
"para pakar perekonomian dunia memberikan saran untuk menjadikan emas sebagai standar keuangan global. Cara ini mereka yakini sebagai jalan yang terbaik untuk memulihkan dan mengembalikan stabilitas keuangan global. Para pakar ini mendorong negara-negara berkembang untuk menarik diri dari perekonomian global dan melepaskan diri dari kapitalisme pasar bebas".
Bahkan pada perjanjian Mastrich bulan Februari 1992-dalam upaya untuk menciptakan mata uang tunggal pada tahun 1999-Bank Sentral Eropa yang merupakan peleburan dari bank-Bank Sentral negara-negara Eropa berupaya mengumpulkan 50 milyar Euro dalam bentuk emas dari seluruh negara-negara anggota sebagai cadangannya. Demikian pula halnya pada tanggal 1 Januari 1999. Dewan Pengawas Bank Sentral Eropa telah menetapkan bahwa 15% dari cadangan dasarnya yang mencapai 9,5 milyard Euro harus berbentuk emas (Salim, 2004).
Keinginan sejumlah ekonom dan pejabat pemerintahan untuk kembali pada standar emas (gold standard) bukanlah tanpa alasan. Disamping dampak negatif yang telah diakibatkan oleh standar mata uang kertas (fiat money standard), motif tersebut juga dipicu oleh bukti historis kemampuan standar emas (gold standard) dalam menjaga stabilitas moneter selama lebih kurang 100 tahun hingga tahun 1914 ketika Perang Dunia I pecah.
Pada masa tersebut standar emas telah mampu mewujudkan kestabilan moneter domostik maupun internasional serta mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dalam kurun waktu yang cukup panjang (Kimball, 2005). Inflasi yang menjadi masalah serius bagi otoritas moneter di rezim fiat money standard--pada masa tersebut dapat berjalan secara stabil. Hal ini karena rezim tersebut memiliki rezim moneter yang berjalan secarar otomatis yang dapat mengatur pergerakan supply money di suatu negara serta diawasi secara disiplin oleh otoritas moneter masing-masing negara. Dengan demikian faktor utama yang menjadi pemicu inflasi pada uang subtitusi sepenuhnya dapat dikendalikan (Herbener, 2002). Hal ini juga diakui oleh diakui oleh Frederik Hayek (1976) sebagaimana yang dikutip oleh Block (1999):
"Secara signifikan hal tersebut hanya terjadi pada kejayaaan sistem industri modern dan selama standar emas yang berlangsung sekitas dua ratus tahun...pada masa itu harga-harga diakhir rezim tersebut tidak mengalami perubahan. Ia sama sebagaimana awalnya." (Hayek, 1976:16)
"Kecuali selama dua ratus tahun ketika standar emas diterapkan. Selain itu pemerintah sepanjang sejarah telah mengunakan kekeuatan eksklusif mereka untuk menipu dan mencuri harta rakyat." (Hayek, 1976: 15) Disamping itu dengan adanya nilai tukar yang tetap antara mata uang suatu negara negara dengan negara lainnya menjadikan arus perdagangan dan investasi tumbuh dengan pesat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Grenspan (1966) yang juga dikutip oleh Block (1999) : Ketika standar emas diterima sebagai alat pertukaran oleh sebagian besar negara, standar emas internasional yang bebas tanpa batas telah membantu percepatan pembagian tenaga kerja (devision of labour) dan perluasan perdagangan internasional. Meskipun alat-alat tukar (seperti Dollar, Pound, Franch, dll) berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan seluruhnya detetapkan nilainya dengan emas, namun selama masa tersebut tidak ada hambatan bagi perdagangan ataupun pergerakan modal (movement of capital)."
Meski demikian harus diakui bahwa kondisi demografis, ekonomi, politik dan budaya serta perkembangan teknologi masyarakat saat ini telah mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan masa tersebut. Namun setidaknya terdapat beberapa faktor fundamental yang dapat dikaji pada standar moneter tersebut dalam menciptakan stabilitas moneter dan keuangan dibandingkan dengan standar moneter lainnya termasuk standar mata uang kertas saat ini yang didominasi oleh Dollar.
Oleh karena itu, munculnya sederet persoalan yang terus menimpa sistem moneter di beberapa negara selama beberapa dekade terakhir dan bangkitnya upaya sebagian negara dan sejumlah pemikir ekonomi untuk mempertimbangkan penggunaan mata uang emas, mengilhami kami untuk menengahkan sebuah skripsi yang berjudul "Standar Emas (Gold Standard): Sejarah dan Dampaknya terhadap Perekonomian (Studi Historis Implementasi Standar Emas dibandingkan dengan Standar Moneter Lainnya).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana bukti historis penggunaan mata uang yang menggunakan standar emas dibandingkan dengan standar moneter lainnya?
- Apa saja keunggulan penggunaan standar emas dan apa saja kelemahannya?
- Bagaimana peluang dan tantangan implementasi standar emas dalam perekonomian global saat ini?
No comments:
Post a Comment