STANDAR EMAS (GOLD STANDARD) : SEJARAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN (Studi Historis Implementasi Standar Emas dibandingkan dengan Standar Moneter Lainnya)

 On 16 June 2009  

BAB I


PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang


Dalam salah satu tulisannya Krugman (2005) mengatakan bahwa sejak runtuhnya sistem Bretton Woods tahun 1973 nilai tukar masing-masing negara mengalami ketidakstabilan yang sangat tinggi. Hal tersebut telah menyebabkan kekecewaan yang sangat besar khususnya bagi pelaku ekonomi. Sebagai contoh pada tahun 1980-an orang-orang AS berbondong-bondong membelanjakan uang mereka karena tingginya nilai Dollar. Keadaan tersebut membuat barang-barang buatan luar negeri menjadi lebih murah. Meski sebaliknya para pengekspor AS banyak menderita kerugian akibat tingginya nilai Dollar tersebut. Mereka pun selanjutnya menuntut proteksi pedagangan.


Ekspansi perdagangan di tahun 1990-an juga terjadi akibat menguatnya nilai Dollar dan melemahnya beberapa mata uang asing. Ketika Dollar mengalami depresiasi maka sebagian besar orang-orang AS mengalami kerugian sekalipun industri-industri ekspor mereka diuntungkan. Fluktuasi nilai Dollar sebagaimana yang sering terjadi sadar atau tidak telah memberikan pengaruh pada jutaan orang AS. Demikian pula halnya jika sistem moneter internasional saat ini runtuh maka dapat dipastikan akan menimbulkan malapetaka yang luar biasa dahsyatnya sebagamana tahun 1930-an (Gilphin, 2001: 113).


Meski  terdapat  perbedaan  dikalangan  ekonom  tentang  sistem  moneter yang  ideal  namun  tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  sistem  kurs  mengambang (floating  exchange  rate) yang  berbasis  mata  uang  kertas  telah  memberikan dampak yang sangat merugikan. Mundell (1983) misalnya menyimpulkan bahwa dalam  sistem  pertukaran  mata  uang  mengambang  (floating  rate) akan  lebih banyak dibutuhkan cadangan devisa dibandingkan dengan sistem kurs tetap (fixed rate). Konsekuensinysa dalam kurs mengambang yang saat ini diadopsi oleh banyak negara kebutuhan cadangan devisa akan semakin besar.


Dengan demikian negara-negara yang mata uangnya dijadikan sebagai cadangan devisa oleh negara-negara lain akan terdorong untuk terus memproduksi mata uangnya. Sebagai perbandingan jumlah likuiditas internasional yang diciptakan pada satu bulan di tahun 1982 jauh lebih besar dibandingkan akumulasi likuiditas seluruh negara yang telah dikeluarkan sejak pertama kali mereka terbentuk hingga tahun 1971.


Disamping itu , kurs mata uang yang mengambang membuat nilai utang negara-negara debitur khususnya negar-negara berkembang (less depeloved countries/LDCs)   yang  tidak    dipatok  pada    kurs     tetap,       terus    mengalami peningkatan. Akibat nilai tukar mata uang negara-negara tersebut yang terus merosot menyebabkan jumlah utang negara-negara tersebut terus mengalami penumpukan terhadap negara-negara donor.


Kalaupun nilai tersebut ditetatapkan dengan kurs tertentu maka negara- negara tersebut tetap mengalami kerugian. Hal ini akibat nilai riil utang mereka mengalami peningkatan akibat inflasi yang terus terjadi pada Dollar dan EuroDollar yang merupakan mata uang yang mendominasi nilai utang negara- negara  tersebut  (Mundell,  1983).  Jika  mereka  mengalami  penjadwalan  ulang (rescheduling) utang yang membuat uang mereka semakin besar, maka langkah terakhir adalah menyerahkan asset-aset berharga mereka kepada negara-negara donor (Meera, 2002: 43)


Persoalan-persoalan  tersebut  terjadi  akibat  tidak  adanya  mekanisme kontrol yang  bersifat  internasional   terhadap  kuantitas   cadangan   moneter internasional.  Cadangan  moneter  dengan  mudahnya  diperoleh  meski  tidak semudah AS dalam memproduksi Dollar setiap tahunnya. Disiplin neraca pembayaran yang seharusnya menjadi pengatur penciptaan uang saat ini telah diabaikan. Penciptaan uang hanya dibatasi oleh kekhawatiran akan depresiasi dan atau inflasi (Mundell, 1983).


Kekacauan sistem moneter internasional saat ini juga berdampak pada sistem keuangan internasional. Arus modal internasional dan investasi asing dilakukan dalam bentuk uang, sehingga perubahan nilai tukar mata uang akan mengubah nilai satu investasi asing atau cek perjalanan seorang wisatawan. Jika orang membeli Mark  untuk berinvestasi di Jeman dan nilainya tiba-tiba jatuh maka nilai investasinya akan jauh berkurang (Gilphin, 2001: 114).


Kekacauan keuangan global di akhir tahun   1990-an merupakan salah satu contoh dari serangkaian kepanikan dan kehancuran keuangan yang telah menggoncang kapitalisme intenasional  dalam   tiga  ratus tahun terakhir. Permasalahan sistem keuangan global yang bermula dari Asia Timur yang selanjutnya menyebar ke sebagian besar negara di dunia, telah membawa penderitaan dan masa-masa sulit bagi jutaan orang.


Pada mulanya para warga AS dan negara-negara industri maju lainya menganggap  diri  mereka  aman  dari  krisis  tersebut.  Akan  tetapi  kurang  dari setahun,  krisis  telah  menyebar  dan  pengaruhnya  semakin  dirasakan  mereka. Ribuan  investor  AS  dan  lainnya  kehilangan  jutaan  Dollar  ketika  pasar-pasar saham  di  seluruh  dunia  jatuh  dan  memporak-porandakan  banyak  institusi keuangan.  Para petani  AS   yang telah    berinvestasi  besar-besaran    untuk meningkatkan produksi tiba-tiba harus merugi akibat pasar-pasar ekspor mereka di Asia Timur dan tempat-tempat lain telah musnah. Pabrik pesawat Boeing dan banyak industri yang berteknologi tinggi lainnya juga kehilangan pasar ekspor yang  sangat  menguntungkan.  Harga  yang  harus  dipikul  sedemikian  besar (Gilphin, 2003: 117).


Menurut Frederick (2004: 148) krisis keuangan yang melanda negara- negara Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membuat nilai tukar mata uang lokal mengalami penurunan yang luar biasa. Bencana kemanusiaan yang ditimbulkan oleh rangkaian krisis tersebut telah menyebabkan kesulitan hidup yang sangat berat,    khususnya    bagi    orang-orang    miskin.    Bangkrutnya   industri-industri menyebabkan gelombang pengangguran meningkat. Demikian pula dengan laju inflasi menyebabakan kemampuan beli masyarakat menurun drastis dan membuat mereka semakin miskin.


Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh krisis moneter di kawasan Asia pada masa tersebut berikut ini disajikan tabel devaluasi nilai mata uang lokal sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1998:


Tabel 1.  Devaluasi nilai tukar mata uang beberapa negara Asia terpilih terhadap Dollar AS pada Februari 1998 dibandingkan akhir Juni 1997





































NegaraDevaluasi (%)
Thailand48%
Malaysia36%
Indonesia75%
Singapura15%
Korea47%
Afganistan15%
Filipina36%

Sumber: Frederick, 2004


Frederick (2004) juga menyajikan kondisi devaluasi sejumlah negara di kawasan Asia yang menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya mata uang negara- negara tersebut dalam menghadapi krisis moneter.


Tabel 2. Nilai Tukar Berbagai Mata Uang Terpilih terhadap Dollar AS











Mata UangNilai  1  Dollar  ASNilai    1    Dollar    ASPersentase

























































pada Januari 1997pada Januari 2002
Lira Turki108.340,001.474.525,0093%
Rupiah Indonesia2347,9010.410,0077%
Dinar Libia0,360,6646%
Pound Sudan148,00256,0042%
Ringgit Malaysia2,533,8134%
Rupee Pakistan40, 2160,8024%
Pound Mesir3,394,6026%
Dirham Maroko8,8311,5624%

Sumber: Frederick, 2004


Devaluasi yang sangat tajam tersebut memberikan pengaruh yang signifikan tehadap penghasilan penduduk, tabungan, serta harga-harga barang- barang dan jasa. Devaluasi juga menyebabkan membengkaknya nilai utang jangka pendek yang dihitung dengan kurs Dollar AS. Kemudian pada bulan Agustus 1998 mata uang rubel juga mengalami devaluasi yang sangat parah, yaitu sebesar 70%, hanya dalam jangka waktu 6 bulan.


Berikutnya pada tahun 2001, tepatnya pada hari Rabu 2001-yang kemudian dikenal dengan hari "Black Wednesday" -mata uang Lira Turki juga didevaluasi  hingga  30%.  Devaluasi  ini  mengakibatkan  100.000  pekerja  serta ribuan wartawan menganggur. Dua bulan kemudian, nilai tukar Lira Turki terdevaluasi hingga 50%. Langkah devaluasi ini diambil setelah kepercayaan terhadap pemerintah semakin menipis (Frederick, 2004).


Efek domino krisis keuangan ini juga melanda Indonesia. Hanya dalam tempo lima bulan sejak pertengahan Juni tahun 1997, nilai tukar rupiah terhadap Dollar anjlok hingga 100 persen lebih. Di awal bulan Juli nilai rupiah mencapai Rp. 2.445 per Dollar, kemudian menembus angka psikologis Rp. 3.000 per Dollar dua bulan berikutnya. Di awal Desember 1997, nilai tukar rupiah merosot lagi ke angka fenomenal Rp. 5.000 yang diantaranya dipicu oleh isu seputar kesehatan Presiden Suharto.


Bahkan pada 15 Desember 1997, kurs rupiah mencapai nilai historis Rp. 6.000 per Dollar. Sehari setelah pidato Presiden di DPR yang menyampaikan Nota Pengantar RAPBN 1998/1999, kurs rupiah kembali merosot    hingga Rp. 7.900 per Dollar. Puncak penurunan nilai rupiah terhadap Dollar terjadi pada tanggal 18 Januari 1998, dimana satu Dollar AS setara dengan Rp. 16.000 (Yusanto,  2001:  3).  Krisis  keuangan  dan  perbankan  tersebut  telah  menyedot begitu besar keuangan negara yang  diperkirakan mencapai lebih dari 50% PDB Indonesia sehingga dapat dikategorikan terbesar dalam sejarah krisis keuangan (Agung, 2000 dalam Arifin, 2004).


Dampak dari depresiasi rupiah terhadap Dollar ini amat dahsyat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk. Kebijakan otoritas moneter yang menerapkan kebijakan uang ketat (tigh money policy) untuk membendung pelemahan rupiah dengan menaikkan suka bunga memaksa bunga pinjaman naik. Akibatnya proyek-proyek terhenti dan sejumlah perusahaan-perusahaan gulung tikar. Dampak selanjutnya adalah terjadinya PHK besar-besaran. Harga sembako dan  juga  barang-barang  lainnya  meningkat  tajam  sehingga  membuat  rakyat semakin menderita (Yusanto, 2001: 3).


Peristiwa yang lebih mutakhir adalah krisis keuangan yang melanda Argentina. Mata uang Argentina, Peso didevaluasi hingga lebih dari 100% dari Dollar AS yang menjadi patokan.  Salah satu alasan utama kebijakan devaluasi ini adalah keputusan untuk menghentikan pematokan (pegging) peso terhadap Dollar AS, yang oleh IMF dianggap tidak lagi dapat dipertahankan. Kegagalan strategi pemerintah dan kekacauan tersebut telah mempengaruhi situasi negara-negara AS lainnya (Fredericks, 2004: 149).


Dalam kondisi moneter yang tidak stabil dan menimbulkan penderitaan tersebut  ternyata  pihak  spekulan  menghadapi  keadaan  sebaliknya.  Menurut Stiglizt (199: 2003) pukulan berat yang mengakibatkan real estate dan pasar saham Thailand mengalami gelembung (bubble) diakibatkan oleh uang spekulatif panas yang mengalir ke negara tersebut. Dan memang pada faktanya perubahan arah modal spekulatif ini merupakan akar pergerakan eksesif pada nilai tukar.



Menurut Stiglizt (2003: 199) salah satu sumber keuntungan para spekulan adalah  uang  yang  berasal  dari  pemerintah  yang  didukung  oleh  IMF.  Sebagai contoh ketika IMF dan pemerintah Brazil mengeluarkan sekitar 50 miliar Dollar untuk menjaga nilai tukar yang berada pada level overvalued pada akhir 1998, uang tersebut seakan hilang ditelan angin. Namun pada faktanya uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong  para spekulan. Beberapa spekulan mungkin mengalami kerugian sementara yang lain untung namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh seluruh uang yang diderita oleh pemerintah.

Bahkan menurut Stiglizt (2003: 199) IMF-lah yang menjaga agar para spekulan tersebut tetap dapat berbisnis.


Pada umumnya para ekonom sadar bahwa sejak keruntuhan sistem kurs nilai tetap (fixed exchange rate), tidak ada lagi suatu sistem moneter internasional yang stabil dan memuaskan. Disamping melibatkan isu-isu teknis yang penting dan rumit, solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut terkait erat dengan persoalan politik yang sangat krusial. Isu tingkat nilai tukar tetap (fixed exchange rate) versus tingkat nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) dan kaitannya dengan masalah pengaturan sistem moneter internasional dianggap sebagai akar dari  masalah  ini.  Oleh  karena  itu  sebagaimana  yang  dinyatakan  oleh  Gilphin (2005: 115) bahwa masa depan sistem moneter internasional yang stabil dan terintegrasi akan tetap diliputi oleh awan tebal hingga permasalahan ini terpecahkan.


Berdasarkan pemaparan di atas sangat wajar jika sejumlah kalangan mulai mempertanyakan  faktor  fundamental  yang  menjadi  pemicu  berbagai  krisis tersebut. Mereka mulai mencari solusi alternatif yang dapat menstabilkan kondisi moneter dan keuangan baik yang bersifat domistik maupun yang bersifat internasional.


Salah satu negara yang memberikan respon yang kuat dari instabilitas sektor moneter tersebut adalah Rusia. Pemerintah Rusia telah menyadari sifat spekulatif pasar uang dan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh penetapan standar mata uang itu. Pada 10 Juli 2001 The Bank of Rusia yang merupakan Bank Sentral Rusia mengedarkan mata uang emas yang bernama Chervonet. Dengan demikian mata uang emas menjadi alat pembayaran yang sah. Diharapkan dalam jangka pendek orang-orang Rusia bersedia mengubah tabungan mereka dari mata uang Dollar menjadi mata uang Chervonet disamping Rubel yang saat ini beredar. Dalam jangka panjang Rusia juga diharapkan dapat membuat perubahan besar dalam kebijakan keuangan internasional di tengah kegalauan banyak negara yang berusaha melepaskan diri dari sistem keuangan dunia yang berporos pada kepentingan bangsa Anglo-AS (Frederick, 2004: 195).


Dalam sebuah artikel di situs  www.ncpa.org sebagaimana  yang  dikutip oleh Frederick (2004: 63) dinyatakan bahwa:


"para pakar perekonomian dunia memberikan saran untuk menjadikan emas sebagai standar keuangan global. Cara ini mereka yakini sebagai jalan yang terbaik untuk memulihkan dan mengembalikan stabilitas keuangan global. Para pakar ini mendorong negara-negara berkembang untuk menarik diri dari perekonomian global dan melepaskan diri dari kapitalisme pasar bebas".


Bahkan pada perjanjian Mastrich    bulan Februari 1992-dalam    upaya untuk menciptakan mata uang tunggal pada tahun 1999-Bank Sentral Eropa yang merupakan peleburan dari bank-Bank Sentral negara-negara Eropa berupaya mengumpulkan 50 milyar Euro dalam bentuk emas dari seluruh negara-negara anggota sebagai cadangannya. Demikian pula halnya pada tanggal 1 Januari 1999. Dewan  Pengawas  Bank  Sentral  Eropa  telah  menetapkan  bahwa     15%  dari cadangan dasarnya yang mencapai 9,5 milyard Euro harus berbentuk emas (Salim, 2004).


Keinginan sejumlah ekonom dan pejabat pemerintahan untuk    kembali pada standar emas (gold standard) bukanlah tanpa alasan. Disamping dampak negatif  yang  telah  diakibatkan  oleh  standar  mata  uang  kertas  (fiat  money standard), motif tersebut juga dipicu oleh bukti historis kemampuan standar emas (gold standard) dalam menjaga stabilitas moneter selama lebih kurang 100 tahun hingga tahun 1914 ketika Perang Dunia I pecah.


Pada masa tersebut standar emas telah mampu mewujudkan kestabilan moneter domostik maupun internasional serta mampu menciptakan perdamaian dan  kesejahteraan  dalam  kurun  waktu  yang  cukup  panjang  (Kimball,  2005). Inflasi yang menjadi masalah serius bagi otoritas moneter di rezim fiat money standard--pada masa tersebut dapat berjalan secara stabil. Hal ini karena rezim tersebut memiliki rezim moneter yang berjalan secarar otomatis yang dapat mengatur pergerakan supply money di suatu negara serta diawasi secara disiplin oleh otoritas moneter masing-masing negara. Dengan demikian faktor utama yang menjadi pemicu inflasi pada uang subtitusi sepenuhnya dapat dikendalikan (Herbener, 2002). Hal ini juga diakui oleh diakui oleh Frederik Hayek (1976) sebagaimana yang dikutip oleh Block (1999):


"Secara signifikan hal tersebut hanya terjadi pada kejayaaan sistem industri modern dan selama standar emas  yang berlangsung sekitas dua ratus tahun...pada masa itu harga-harga diakhir rezim tersebut tidak mengalami perubahan. Ia sama sebagaimana awalnya." (Hayek, 1976:16)


"Kecuali selama  dua ratus tahun ketika standar emas diterapkan. Selain itu pemerintah sepanjang sejarah  telah mengunakan kekeuatan eksklusif mereka untuk menipu dan mencuri harta rakyat." (Hayek, 1976: 15) Disamping itu dengan adanya nilai tukar yang tetap antara mata uang suatu negara negara dengan negara lainnya menjadikan arus perdagangan dan investasi tumbuh dengan pesat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Grenspan (1966) yang juga dikutip oleh Block (1999) : Ketika standar emas diterima sebagai alat pertukaran oleh sebagian besar negara, standar emas internasional yang bebas tanpa batas telah membantu percepatan pembagian tenaga kerja (devision of labour)  dan perluasan perdagangan internasional. Meskipun alat-alat tukar (seperti Dollar, Pound, Franch, dll) berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan seluruhnya detetapkan nilainya dengan emas,  namun selama masa tersebut  tidak ada  hambatan bagi  perdagangan  ataupun pergerakan modal (movement of capital)."


Meski demikian harus diakui bahwa kondisi demografis, ekonomi, politik dan budaya serta perkembangan teknologi masyarakat saat ini telah mengalami perubahan  yang  signifikan  dibandingkan  masa  tersebut.  Namun  setidaknya terdapat beberapa faktor fundamental yang dapat dikaji pada standar moneter tersebut  dalam  menciptakan  stabilitas  moneter  dan  keuangan  dibandingkan dengan standar moneter lainnya termasuk standar mata uang kertas saat ini yang didominasi oleh Dollar.


Oleh karena itu, munculnya sederet persoalan yang terus menimpa sistem moneter  di  beberapa  negara  selama  beberapa  dekade  terakhir  dan  bangkitnya upaya sebagian negara dan sejumlah pemikir ekonomi untuk mempertimbangkan penggunaan  mata  uang  emas,  mengilhami  kami  untuk  menengahkan  sebuah skripsi   yang berjudul "Standar Emas (Gold Standard):  Sejarah dan Dampaknya  terhadap  Perekonomian (Studi  Historis  Implementasi  Standar Emas dibandingkan dengan Standar Moneter Lainnya).





1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan  latar belakang   sebelumnya  dapat  dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:




  1. Bagaimana bukti historis penggunaan mata uang yang menggunakan standar emas dibandingkan dengan standar moneter lainnya?

  2. Apa saja keunggulan penggunaan standar emas dan apa saja kelemahannya?

  3. Bagaimana  peluang  dan  tantangan  implementasi  standar  emas  dalam perekonomian global saat ini?

STANDAR EMAS (GOLD STANDARD) : SEJARAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN (Studi Historis Implementasi Standar Emas dibandingkan dengan Standar Moneter Lainnya) 4.5 5 Win Solution 16 June 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam salah satu tulisannya Krugman (2005) mengatakan bahwa sejak runtuhnya sistem Bretton Woods tahun...


Skripsi Lengkap (bab 1-5 dan daftar pustaka) untuk judul diatas bisa dimiliki segera dengan mentransfer dana Rp300ribu Rp200ribu. Setelah proses pembayaran selesai skripsi dalam bentuk file/softcopy langsung kita kirim lewat email kamu pada hari ini juga. Layanan informasi ini sekedar untuk referensi semata. Kami tidak mendukung plagiatisme. Cara pesan: Telpon kami langsung atau ketik Judul yang dipilih dan alamat email kamu kirim ke 089 9009 9019

Kami akan selalu menjaga kepercayaan Anda!

No comments:

Post a Comment

Jurnalskripsitesis.com. Powered by Blogger.

Blog Archive