BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini masyarakat sedang mengalami tekanan ekonomi yang berat akibat melambungnya tingkat inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Oktober tahun lalu. Menurut Bank Indonesia kenaikan itu menyebabkan timbulnya Inflasi Administered Prices yaitu Inflasi yang disebabkan oleh shocks berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka inflasi bulanan pada Oktober 2005 yang mencapai 8,7%, padahal sebelumnya inflasi bulanan hanya sebesar 0,69% dan 0,55% pada bulan September dan Agustus 2005 seperti terlihat pada grafik di bawah ini:
Gambar 1.1
Inflasi Bulanan
Sumber: BPS
Inflasi bulanan yang tinggi tersebut memicu inflasi tahunan hingga titik 17 % lebih sehingga harus memaksa Bank Indonesia untuk menaikkan tingkat suku bunga hingga 12,75 % guna mengendalikan inflasi. Seperti kita tahu Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Nilai inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Tak ayal lagi hal ini sangat memberatkan masyarakat terutama golongan menengah kebawah yang pendapatannya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhannya. Belum lagi adanya kebutuhan dana tambahan seperti kebutuhan berobat, biaya sekolah, modal usaha dan sebagainya. Salah satu golongan masyarakat yang harus memikul beban inflasi yang tinggi ini adalah para pensiunan. Apalagi dengan tipe pensiunan yang berusia lanjut dan memiliki uang pensiun yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan besar gaji ketika mereka masih dinas, padahal masih banyak dari mereka yang masih harus menanggung kehidupan keluarganya. Kondisi ini menyebabkan para pensiunan sangat rentan terhadap defisit anggaran. Karena itu mereka dituntut untuk mencari sumber pendanaan alternatif untuk memenuhi kebutuhannya. Apalagi menurut survei BPS kebutuhan hidup minimum akan meningkat seiring naiknya tingkat inflasi. Saat ini inflasi tahunan sudah menembus angka 17 % lebih, sehingga dapat dipastikan kebutuhan hidup masyarakat akan naik pula termasuk kebutuhan hidup para pensiunan.
Banyak sumber-sumber pendanaan yang dapat dimanfaatkan para pensiuanan untuk menutupi defisit anggarannya seperti BPR, pegadaian, bank dan lain-lain. Tetapi untuk mendapatkan kredit secara konvensional tersebut mereka harus menyerahkan barang jaminan dengan resiko harus kehilangan barang tersebut apabila tidak mampu melunasi kreditnya. Namun khusus bagi pensiunan terdapat kredit cepat tanpa barang jaminan yang dapat dimanfaatkan.
Kredit pensiun adalah kredit yang diberikan kepada pensiunan atau jandanya yang menerima uang pensiun secara tetap setiap bulannya. Pensiunan ini meliputi Pensiunan PNS/Pensiunan Pekerja BUMN/BUMD/Swasta yang mempunyai Yayasan Dana Pensiun/Pensiunan TNI/POLRI.
Kredit pensiun dapat dipergunakan sesuai keperluan nasabah, baik untuk keperluan produktif maupun konsumtif. Prosedur pengajuan kredit pensiun cukup sederhana dan mudah serta cepat. Jangka waktu kredit antara 1 sampai 4 tahun sesuai dengan usia pada saat pengajuan kredit dan dilakukan angsuran secara tetap setiap bulannya dengan maksimum besarnya angsuran 80% dari take home pay hasil pensiun.
kredit ini dapat direalisasikan dengan proses cepat dengan hanya memberikan hak kepada bank untuk melakukan pemotongan uang pensiun untuk cicilan pelunasan setiap bulannya. Pensiunan hanya diwajibkan menyerahkan surat keputusan pensiunan kepada bank yang bersangkutan sebagai bukti penyerahan wewenang pemotongan tersebut.
Namun sebenarnya faktor sosial ekonomi apa yang mempengaruhi besar permintaan jumlah kredit pensiun? Oleh karena itu penulis ingin mengetahui faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi permintaan jumlah kredit pensiun dengan melakukan penelitian pada nasabah kredit pensiun di BRI Cabang Sidoarjo. Alasan melakukan penelitian di Sidoarjo adalah karena penulis mengenal daerah tersebut sehingga lebih mudah dalam melakukan penelitian.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan masalah dalam penelitian sebagai berikut:
- Faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi permintaan kredit pensiun pada BRI Cabang Sidoarjo?
- Faktor sosial ekonomi mana yang dominan mempengaruhi permintaan kredit pensiun pada BRI Cabang Sidoarjo?
No comments:
Post a Comment