BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengendalian perusahaan dewasa inii sering diserahkan kepada manajer profesional yang bukan pemilik perusahaan. Pemilik tidak mampu lagi karena keterbatasannya untuk mengendalikan perusahaan yang menjadi semakin besar dan kompleks. Dengan demikian manajemen dapat dipandang sebagai agen dari pemilik perusahaan (prinsipal) yang mempekerjakan mereka, memberikan wewenang dan kekuasaaan untuk mengambil keputusan terbaik yang dapat meningkatkan kemakmuran pemilik perusahaan.
Manajemen keuangan bertujuan untuk memaksimumkan kesejahteraan pemilik (shareholders) melalui keputusan atau kebijakan investasi, pendanaan dan dividen yang tercermin dalam harga saham di pasar modal. Semakin tinggi harga saham di pasar modal berarti kesejahteraan pemilik semakin meningkat (Zuthawati, 2004). Tetapi dalam kenyataannya, manajemen juga berkepentingan terhadap kemakmuran dirinya sehingga mernbuat manajer enggan untuk mengambil keputusan yang lebih berisiko jika investasi yang berisiko tersebut gagal, maka laba perusahaan akan turun. Padahal, ukuran kinerja manajerial adalah laba yang dihasilkan. Dengan demikian, kegagalan investasi tersebut dapat mengakibatkan manajer tidak memperoleh insentif atau bonus seperti yang diharapkan. Akibatnya, manajer tidak lagi memaksimumkan kemakmuran pemegang saham melainkan mengambil jalan tengah dengan meminimumkan kerugian potensial dari pemilik perusahaan. Dalam konteks keuangan, masalah tersebut muncul antara prinsipal dan agen. Masalah keagenan tersebut dapat terjadi antara pemilik (shareholders) dengan manajer, manajer dengan debtholder, serta manajer dan shareholders dengan debtholder. Konflik tersebut dikenal sebagai masalah keagenan (agency problem).
Teori keagenan merupakan konsekuensi dari pemisahan fungsi kontrol dengan fungsi kepemilikan. Agency problem akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham suatu perusahaan kurang dari seratus persen, sehingga manajer mendapatkan insentif dan kesempatan untuk melakukan tindakan yang tidak menguntungkan bagi pemilik lain, melainkan cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya. Insentif tersebut ada karena manajer memperoleh keuntungan dari tindakan mereka tanpa harus menanggung semua biaya finansial atas kesalahan dalam pengambilan keputusan dan tidak berdasarkan maksimalisasi nilai dalam keputusan pendanaan. Sedangkan kesempatan (peluang) muncul sebagai akibat ketidakmampuan pemegang saham luar untuk melakukan pengawasan atas semua tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen (Jensen dan Meckling, 1976, dalam Hamidi, 2003).
Penyebab lain konflik antara manajer dengan pemegang saham adalah keputusan investasi. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematis dari saham perusahaan. Oleh karena itu, mereka akan melakukan diversifikasi portofolio asetnya untuk meminimalkan risiko (Tandelilin dan Wilberforce, 2002), Sedangkan manajer lebih mempertimbangkan risiko perusahaan secara keseluruhan.
Konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham dapat diminimalkan dengan suatu rnekanisme pengawasan yang dapat menyejajarkan kepentingan-kepentingan tersebut. Namun adanya mekanisme pengawasan akan menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency cost.
Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost. Pertama, meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (Jensen dan Meckling, 1976, dalam Wahidahwati, 2002). Analisisnya menyatakan bahwa proporsi kepemilikan saham yang dikontrol oleh manajer dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan perusahaan. Selain itu kepemilikan manajerial akan menyejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sehingga manajer akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dengan benar dan akan merasakan kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Kedua, meningkatkan dividend payout ratio, sehingga tidak tersedia cukup banyak cash flow dan manajemen terpaksa harus mencari sumber dana eksternal untuk pembiayaan investasi. Pembiayaan eksternal akan meningkatkan pengawasan oleh pihak luar perusahaan seperti pengawasan pasar modal, investment banker, investor, dan kreditur (Crutchley dan Hansen, 1989, dalam Hamidi, 2003). Ketiga, meningkatkan pendanaan dengan hutang yang akan menurunkan excess of free cash flow yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Jensen et al.,1992, dalam Wahidahwati 2002). Keempat, peningkatan kepemilikan institusional dapat menghilangkan hutang dan insider ownership untuk mengurangi agency conflict, artinya, hutang dan insider ownership berhubungan secara terbalik dengan kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional yang meningkat akan mengurangi agency cost atas debt dan insider ownership karena semakin besar kepemilikan institusional maka konflik antara kreditur dengan manajer akan semakin berkurang akhirnya akan menekan biaya keagenan (Bathala, et al., 1994, dalam Hamidi, 2003).
Semakin tiuggi harga saham semakin tiuggi nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Peningkatan kemakmuran pemilik dan para pemegang saham antara lain dilakukan dengan pembayaran dividen dengan jumlah yang signifikan.
Hutang adalah instrumen yang sangat sensitif terhadap perubahan nilai perusahaan. Nilai perusahaan ditentukan oleh struktur modal (Modligani & Miller dalam Soliha dan Taswan, 2002). Semakin tinggi proporsinya maka semakin tinggi harga saham, namun pada titik tertentu peningkatan hutang akan menurunkan mlai perusahaan karena manfaat yang diperoleh dari penggunaan hutang lebih kecil dari biaya yang ditimbulkannya. Para pemilik lebih suka perusahaan menciptakan hutang pada tingkat tertentu untuk menaikkan nilai perusahaan. Agar harapan pemilik dapat dicapai, perilaku manajer dan komisaris harus dapat dikendalikan melalui keikutsertaan dalam kepemilikan saham perusahaan. Dengan demikian perimbangan kepemilikan dapat menciptakan kehati-hatian para insider dalam mengelola perusahaan. Kebangkitan perusahaan bukan hanya menjadi tauggungan pemilik utama, namun juga para insider juga ikut menanggungnya. Konsekuensinya para insider akan bertindak berhati-hati termasuk dalam menentukan hutang perusahaan. Oleh karena itu, kepemilikan oleh para manajer menjadi pertimbangan penting ketika hendak meningkatkan nilai perusahaan (Soliha dan Taswan, 2002).
Jensen dan Meckling (1976), sebagaimana diungkapkan oleh Soliha dan Taswan (2002) menganalisis bagaimana nilai perusahaan dipengaruhi oleh distribusi kepemilikan antara insider ownership yang menikmati manfaat dan outside ownership yang tidak menikmati manfaat. Dalam kerangka ini, peningkatan insider ownership akan mengurangi konflik keagenan. Pengurangan ini potensial bagi misalokasi sumber daya yang sia-sia yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai perusahaan.
Disamping kepemilikan oleh pihak manajemen, kepemilikan oleh pihak institusional sebagai monitoring agent juga dapat menurunkan agency cost. Bentuk distribusi saham diantara pemegang saham dari luar (outside shareholders) yaitu institusional investors dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency cost. Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya menentang keberadaan manajemen, sehingga konsentrasi penyebaran atau power menjadi suatu hal yang relevan. Adanya kepemilikan oleh investor institusional seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja insiders.
Penelitian mengenai hubungan kepemilikan dengan hutang perusahaan telah dilakukan oleh banyak peneliti. Kim dan Sorensen (1986), Agrawal dan Mendelker (1987) dan Mehran (1992), sebagaimana diungkapkan oleh Wahidahwati (2001), menemukan hubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan rasio hutang perusahaan. Sedangkan penelitian Frend dan Hasbrouk (1988) dan Jensen et al (1992), sebagaimana juga diungkapkan oleh Wahidahwati (2001), menemukan hubungan negatif antara persentase saham yang dipegang oleh manajer dengan rasio hutang perusahaan. Penelitian Bathala et al (1994), sebagaimana diungkapkan oleh Wahidahwati (2001), menemukan bukti bahwa institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap rasio hutang dan kepemilikan manajerial. Demikian pula penelitian Moh'd et al (1998), sebagaimana diungkapkan oleh Masdupi (2005) menemukan bukti bahwa kepemilikan saham oleh pihak institusional mempunyai hubungan negatif dan signifikan dengan debt ratio.
Penelitian tentang pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti Indonesia. Wahidahwati (2001) menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Tetapi dalam penelitian selanjutnya, Wahidahwati (2002) menemukan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan. Penelitian Mahadhawarta dan Hartono (2002) menemukan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh negatif terhadap leverage. Penelitian Hanafi dan Ismiyanti (2003) menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. Sedangkan penelitian Tarjo (2005) menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh negatif terhadap level hutang.
Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Masdupi (2005) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel struktur kepemilikan ekuitas (insider ownership, shareholders dispersion, dan institusional ownership,) terhadap kebijakan utang (struktur modal) perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selain perusahaan keuangan dan asuransi. Penelitian ini menggunakan debt ratio sebagai variabel dependen, struktur kepemilikan sebagai variabel independen dan lima variabel kontrol. Variabel kontrol tersebut meliputi pembayaran dividen, ukuran perusahaan, struktur aktiva, keuntungan perusahaan, dan tarif pajak. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengambil sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Alasan pemilihan sampel dari perusahaan manufaktur adalah: pertama, penelitian terdahulu meneliti sampel dari keseluruhan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta sehingga diperlukan pengembangan dengan meneliti perusahaan yang sejenis. Kedua, perusahaan manufaktur merupakan salah satu sektor yang saat ini banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam usahanya mengurangi kesenjangan nasional. Ketiga, perusahaan manufaktur mempunyai spesifikasi yang berbeda dengan jenis industri lain sehingga kebijakan yang dijalankan oleh manajemen, misalnya kebijakan hutang, tentunya juga akan berbeda. Berdasarkan uraian diatas maka penelitiaan ini diberi judul: "Pengaruh Struktur Kepemilikan pada Kebijakan Ilutang Perusahaan Dalam Mengontrol Konflik Keagenan (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEJ Periode 2002-2004)."
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini berkaitan dengan kebijakan hutang yang dikaitkan dengan struktur kepemilikan untuk meminimalkan agency cost. Masalah yang hendak dijawab dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
- Apakah kepemilikan saham oleh pihak manajerial berpengaruh terhadap kebijakan hutang perusahaan?
- Apakah jumlah pemegang saham berpengaruh terhadap kebijakan hutang?
- Apakah kepemilikan saham oleh pihak institusional berpengaruh terhadap kebijakan hutang perusahaan?
No comments:
Post a Comment