BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada pertengahan tahun 1980-an berbagai macam deregulasi dikeluarkan oleh pemerintah untuk menggairahkan industri perbankan. Diawali dengan diluncurkannya Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup bidang keuangan, moneter, dan perbankan antara lain meliputi pemberian kemudahan-kemudahan dalam membuka kantor bank, dan lembaga keuangan bukan bank, memperkenankan pendirian bank-bank swasta baru antara lain dengan penetapan syarat modal disetor minimal Rp 10 milyar, juga memberikan kesempatan untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan modal minimum Rp 50 juta, dan memperingan persyaratan bagi bank menjadi bank devisa.
Setelah diluncurkannya deregulasi tersebut, dalam kurun waktu 1988-1996 bisnis perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada akhir tahun 2002 perbankan menguasai sekitar 90,46% pangsa pasar sektor keuangan di Indonesia. Berdasarkan data Biro Riset Info Bank, industri perbankan menguasai 90,46% pangsa pasar keuangan di Indonesia, diikuti industri asuransi 3,38%, dana pensiun 3,01%, industri pembiayaan 2,32%, sekuritas 0,65% dan pegadaian 0,20% (Anita & Rahadian,2003). Pertumbuhan yang pesat itu ternyata tidak mendorong terciptanya industri perbankan yang kuat. Krisis keuangan yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 memberi dampak yang sangat buruk pada sektor perbankan. Beberapa indikator kunci perbankan dalam tahun 1998 berada pada kondisi yang sangat buruk.
Kinerja industri perbankan nasional pada waktu itu jauh lebih buruk dibandingkan kondisi perbankan dari beberapa negara Asia yang juga mengalami krisis ekonomi, seperti Korea Selatan, Malaysia, Philipina, dan Thailand. Non Performing Loan (NPL) bank-bank komersial mencapai 50%, tingkat keuntungan industri perbankan berada pada titik minus 18%, dan Capital Adequacy Ratio (CAR) menunjukkan kondisi minus 15% (Hawkins, 1999). Terpuruknya sektor perbankan akibat krisis ekonomi memaksa pemerintah melikuidasi bank-bank yang dinilai tidak sehat dan tidak layak lagi untuk beroperasi. Hal ini mengakibatkan timbulnya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap industri perbankan. Secara kuantitatif perkembangan kinerja perbankan nasional sampai bulan Desember tahun 2005 dari sisi aktivitas penghimpunan dana masyarakat yang berhasil dihimpun oleh industri perbankan mencapai nilai sebesar 1.252.20 triliun.
Walaupun berbagai peristiwa yang tidak diharapkan terjadi sejak bergulirnya era reformasi, ternyata hal tersebut tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya pada lembaga perbankan. Secara nominal, pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) terus menunjukkan peningkatan. Tahun 2004 DPK besarnya 818.20 triliun menjadi 930.20 triliun pada Desember 2005. Bank sebagai lembaga intermediasi yang menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan sektor usaha (riil). Pemulihan fungsi intermediasi perbankan setelah krisis moneter pertengahan tahun 1997 berjalan lambat, hal ini berkaitan dengan lambatnya pergerakan sektor riil. Namun, kondisi perekonomian nasional dalam tahun 2005 masih berada dalam siklus yang fluktuatif. Melemahnya konsumsi, yang dikuti antara lain kenaikan biaya produksi sebagai akibat kenaikan harga BBM, meningkatnya biaya modal karena tingginya tingkat suku bunga, serta belum tuntasnya permasalahan di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur, pada gilirannya menyebabkan pertumbuhan investasi mengalami penurunan. Namun dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 kegiatan penyaluran kredit baru oleh perbankan menunjukkan trend yang meningkat dari 459.10 triliun menjadi 584.40 triliun.
Berdasarkan statistik Bank Indonesia pada Desember 2005, rasio kredit bermasalah, Non Performing Loan (NPL), yaitu kredit dengan kategori "kurang lancar", "diragukan", dan "macet" yang dihitung secara gross (tidak memperhitungkan cadangan) menunjukkan kondisi yang membaik sebagai dampak langsung menurunnya nominal NPL serta meningkatnya posisi kredit perbankan. Sementara itu Bank Indonesia menetapkan target indikatif NPL secara net (memperhitungkan cadangan) sebesar 5% yang menjadi patokan bagi perbankan dalam memperbaiki kualitas portofolio kreditnya. Dari sisi kinerja profitabilitas perbankan nasional menunjukkan kinerja yang baik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari meningkatnya perolehan laba perbankan.
Salah satu indikator kinerja tersebut adalak Net Interest Margin (NIM). Secara nominal, nilai Net Interest Margin (NIM) terus menunjukkan peningkatan. Pada Desember 2005, NIM tercatat sebesar 6.20 triliun lebih tinggi dibandingkan posisi awal tahun 2005 sebesar 6.10 triliun. Peningkatan persentase NIM tersebut menunjukkan semakin meningkatnya kemampuan pendapatan bunga bank untuk menutup beban bunganya. Secara garis besar faktor yang mempengaruhi kinerja bank dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Faktor yang pertama yaitu faktor yang dikendalikan (controllable), sedangkan faktor yang berada di luar kendali bank (uncontrollable) merupakan faktor yang kedua yang mempengaruhi kinerja bank. Yang termasuk dalam faktor di luar kendali bank diantaranya adalah kondisi makro ekonomi seperti inflasi, kurs, pendapatan domestik bruto, ekspor, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan kondisi keamanan, sosial, dan juga regulasi pemerintah merupakan faktor di luar kendali bank. Untuk dapat mempertahankan keberlangsungan usahanya (sustainability) maka bank harus memfokuskan perhatiannya kepada faktor-faktor dari dalam (internal factor) bank itu sendiri yaitu faktor yang dapat dikendalikan (controllable). Faktor tersebut diantaranya adalah meningkatkan loyalitas nasabah/debitur sehingga tidak lari ke lain bank, pengelolaan risk management yang lebih efektif, serta pemilihan debitur secara selektif untuk menekan jumlah kredit bermasalah sekaligus meningkatkan kualitas aktiva produktif. Sehingga jika dilihat secara mikro, bank akan beroperasi dengan kinerja yang sangat baik. Secara umum rasio finansial selalu menjadi titik tolak untuk mengukur kinerja suatu perusahaan, tidak terkecuali industri perbankan dengan ukuran rasio CAMEL, yang terdiri dari Capital Adequacy (Permodalan), Assets Quality (Kualitas Aktiva Produktif), Management (Manajemen), Earning Ability (Rentabilitas), Liquidity (Likuiditas).
Namun instrumen tersebut hanya memperhatikan ukuran rasio finansial, hasil yang diperoleh hanya akan menggambarkan posisi keuangan, serta tidak mampu menunjukkan seberapa besar sumber daya bank yang digunakan dalam upaya untuk mendapatkan hasil kerja (output) yang bermanfaat bagi bank tersebut. Kondisi tersebut cukup mudah dipahami karena pengukuran efisiensi perbankan (seperti halnya untuk mengukur efisiensi organisasi yang lainnya) bukanlah perkara yang mudah dan sederhana untuk dilaksanakan. Menurut Shafer dan Terry dalam Erwinta (2004:23) ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Diantaranya adalah pertama, organisasi merupakan suatu kumpulan berbagai ragam perilaku atau sumber daya yang kompleks. Oleh karena itu, sulit untuk memperoleh ukuran efisiensi organisasi yang absolut. Kedua, organisasi tersusun dari proses transformasi yang multi dimensional dimana selalu banyak input yang dimanfaatkan untuk menghasilkan banyak output pula. Untuk mendapatkan suatu nilai ukuran yang menunjukkan efisiensi suatu organisasi secara keseluruhan yang bersifat skalar seperti yang dikemukakan oleh Erwinta (2004) haruslah terlebih dahulu diperoleh suatu bobot yang tepat untuk input dan output organisasi tersebut.
Bagaimanapun juga bobot input dan output yang dinyatakan sebelumnya selalu kurang dalam melingkupi seluruh nilai yang mempengaruhinya baik eksternal maupun internal. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang mampu memberikan suatu cara untuk mengukur kinerja suatu bank yang dapat menggambarkan kemampuan bank tersebut dalam mengelola sumber daya (input) menjadi hasil kerja (output) yang menunjukkan ukuran efisiensi relatif suatu bank. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya menggunakan aplikasi metode Data Envelopment Analysis (DEA).
Dengan menggunakan metode DEA ini, selain mampu untuk (a) mengukur nilai efisiensi relatif suatu bank; juga (b) memberikan gambaran potensi perbaikan yang telah ditetapkan dapat berpengaruh terhadap return yang akan dihasilkan oleh suatu bank. Lebih lanjut hasil pengukuran ini juga (c) dapat dimanfaatkan oleh pihak manajemen bank untuk memperkirakan kinerja yang akan datang seperti pendapatan, peningkatan aset, dan juga untuk memperkirakan kebangkrutan, dan menilai tingkat yang paling berisiko dari perusahaan dan (d) dapat dimanfaatkan oleh pihak manajemen bank untuk melakukan ekspansi atau restrukturisasi bank yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis dalam penelitian ini mengambil judul: PENGUKURAN EFISIENSI KINERJA BANK YANG LISTING DI BURSA EFEK JAKARTA.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
- Berapakah nilai efisiensi usaha Bank-Bank yang listing di BEJ dengan menggunakan metode DEA?
- Variabel apa sajakah yang memungkinkan untuk ditingkatkan efisiensinya oleh Bank-Bank yang listing di BEJ?
No comments:
Post a Comment