BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perusahaan yang go public di kelola dengan memisahkan antara fungsi kepemilikan dengan fungsi pengelolaan atau manajerial. Masalah corporate governance timbul karena terjadi pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan (Husnan, 2001). Dengan pemisahan ini, pemilik perusahaan akan memberikan kewenangan pada pengelola (manajer) untuk mengurus jalannya perusahaan seperti mengelola dana dan mengambil keputusan perusahaan lainnya untuk dan atas nama pemilik. Dengan kewenangan yang dimiliki ini, mungkin saja pengelola (manajer) tidak bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemilik karena adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest). Dengan informasi yang dimiliki, manajer bisa bertindak yang hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan mengorbankan kepentingan principal (pemilik). Hal ini mungkin terjadi karena manajer mempunyai informasi mengenai perusahaan, yang tidak dimiliki pemilik perusahaan (asymmetric information) (Gunarsih, 2003). (Richardson, 1998 ; DuCharme et al., 2000 dalam Hastuti, 2005) mengemukakan hal serupa bahwa dengan pemisahan ini maka akan menimbulkan dampak negatif yaitu keleluasaan manajer perusahaan untuk memaksimalkan laba. Hal ini akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik perusahaan.
Masalah corporate governance dapat ditelusuri dari pengembangan agency theory yang mencoba menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan (manajer, pemilik perusahaan dan kreditor) akan berperilaku, karena mereka pada dasarnya mempunyai kepentingan berbeda.
Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini seringkali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan (agency conflict).
Teori keagenan (agency theory ) mengemukakan jika antar pihak principal (pemilik) dan agent (manajer) memiliki kepentingan yang berbeda, muncul konflik yang dinamakan konflik keagenan (agency conflict) (Richardson, 1998 ; DuCharme et al., 2000 dalam Hastuti, 2005). Hal senada diungkapkan oleh Jensen & Meckling (1976) dalam Ummah (2005) bahwa agency conflict muncul akibat adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan akan rentan terhadap agency conflict.
Agency conflict sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu : (1) agency conflict antara pemegang saham dan manajer. Penyebab konflik antara manajer dengan pemegang saham diantaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan dengan aktifitas pencarian dana (financing decision) dan pembuatan keputusan yang berkaitan dengan bagaimana dana yang diperoleh tersebut diinvestasikan, (2) agency conflict antara pemegang saham dan kreditor.
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi masalah keagenan (agency conflict) tersebut dikenal sebagai agency costs (biaya keagenan) yang meliputi pengeluaran monitoring, bonding dan residual loss (Zulhawati, 2004). Brigham dan Daves (2004) dalam Ummah (2005) mendefinisikan agency costs sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong manajer agar memaksimumkan harga saham jangka panjang daripada bertindak sesuai kepentingan mereka sendiri.
Terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi agency costs, antara lain : (1) mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham dengan mengikutsertakan manajer untuk memiliki saham perusahaan tersebut (insider ownership), (2) meningkatkan dividend payout ratio, (3) meningkatkan pendanaan dari utang, dan (4) meningkatkan kepemilikan institusional. Lebih lanjut Jensen & Meckling (1976) dalam Nirwana (2005) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan, keputusan pendanaan dan kebijakan dividen dapat digunakan untuk mengurangi agency costs yang bersumber pada masalah keagenan (agency conflict).
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Faisal (2005) kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu mengendalikan masalah keagenan (agency conflict). Crutchley dan Hansen (1989), Bathala et al. (1994) dalam Faisal (2005) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Hal tersebut didasarkan pada logika bahwa peningkatan proporsi saham yang dimiliki manajer akan menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan mengkonsumsi perquisites yang berlebihan, dengan demikian akan menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.
Morck et al. (1988) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa hubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan hanya terletak pada level 0%-5% sedangkan level 5%-25% bernilai negatif. McConnell dan Servaes (1990,1995) dalam Faisal (2005) menyatakan hal serupa bahwa terdapat hubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan pada saat level kepemilikan 40%-50% dan bernilai negatif ketika melebihi level 50%. Morck et al. mengatakan pada level kepemilikan manajerial lebih besar dari 5%-25% manfaat privat yang diperoleh agen (manajer) melebihi cost yang dikeluarkan akibat kerugian dari keputusan-keputusan yang tidak memaksimalkan nilai perusahaan.
Hal senada ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005). Faisal (2005) mengatakan terdapat hubungan yang negatif antara kepemilikan manajerial dengan biaya keagenan (agency costs). Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan kepemilikan manajerial dengan biaya keagenan (agency costs) gagal sebagai mekanisme untuk meningkatkan nilai perusahaan. Kesimpulan lain yang didapat melalui penelitian Faisal yaitu semakin tinggi kepemilikan manajerial justru meningkatkan diskresi manajerial. Faisal (2005) menunjukkan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial semakin tinggi biaya keagenan (agency costs) yang diukur dengan beban operasi.
Penelitian mengenai pengaruh kepemilikan institusional terhadap agency costs dilakukan oleh Crutchley et al. (1999). Crutchley menyatakan bahwa kepemilikan oleh institusional juga dapat menurunkan agency costs, karena dengan adanya monitoring yang efektif oleh pihak institusional menyebabkan penggunaan utang menurun. Hal ini karena peranan utang sebagai salah satu alat monitoring sudah diambil alih oleh kepemilikan institusional. Dengan demikian kepemilikan institusional dapat mengurangi agency cost of debt Moh'd et al. (1998) dalam Nuridha (2006) menyatakan bahwa distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu investor institusional dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency costs. Adanya kepemilikan institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005) diperoleh hasil yang berbeda. Faisal (2005) menyatakan bahwa hubungan antara kepemilikan institusional dengan biaya keagenan (agency costs) adalah negatif. Masih berdasarkan hasil penelitian Faisal (2005) bahwa hal ini mengindikasikan kepemilikan institusional belum efektif sebagai alat memonitor manajemen dalam meningkatkan nilai perusahaan.
Fama (1980) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa dewan direksi merupakan mekanisme pengendalian internal utama yang memonitor manajer. Tiga karakteristik yang mempengaruhi monitoring adalah ukuran dewan direksi, komposisi dewan direksi dan struktur kepemimpinan direksi (Jensen, 1993) dalam Faisal (2005).
Shaw (1981), Jewel dan Reitz (1981), Olson (1982), Galdstein (1984), Lipton dan Lorsch (1992) dan Jensen dan Meckling (1976) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa jumlah dewan direksi yang besar kurang efektif dalam memonitor manajemen. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Yermacrk (1996) dan Eisenberg et al. (1998) dalam Faisal (2005) yang menyatakan bahwa jumlah dewan direksi yang kecil meningkatkan kinerja perusahaan. Menurut Yermack (1996) dalam Faisal (2005) ukuran dewan direksi yang besar akan mengganggu kepentingan pemegang saham. Singh et al. (2003) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa ukuran dewan direksi yang kecil secara positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan aktiva namun tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan biaya keagenan yang diukur dengan beban operasi. Semakin besar ukuran dewan direksi semakin besar beban diskresi manajerial yang terjadi. Dengan demikian ukuran dewan direksi tidak menunjukkan biaya keagenan (agency costs).
Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Brickley dan James (1987) ; Byrd dan Hickman (1992) ; Lee et al. (1992) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa outside director dapat memberikan kontribusi terhadap nilai perusahaan melalui aktifitas evaluasi dan keputusan strategis serta pengurangan inefisiensi dan kinerja yang rendah (Weisbach, 1988 dalam Faisal, 2005). Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa ukuran dan komposisi dewan direksi secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja dengan adanya penurunan biaya keagenan (agency costs).
Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005) yang menyatakan bahwa ukuran dewan direksi berhubungan positif dengan biaya keagenan (agency costs). Melalui penelitiannya Faisal (2005) memberikan dukungan teori bahwa ukuran dewan direksi dapat dijadikan sebagai variabel yang mempengaruhi biaya keagenan (agency costs).
Meskipun terdapat hasil yang berbeda antara satu penelitian dengan penelitian yang lain mengenai hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan (agency costs) tetapi penelitian yang dilakukan oleh Ang et al. (1999) dan Singh et al. (2003) dalam Faisal (2005) memberikan bukti terhadap hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan yang diukur dari pemanfaatan aktiva dan beban operasi. Penelitian dilakukan melalui survei pada perusahaan- perusahaan kecil dengan menghubungkan ukuran absolut dan relatif dari biaya keagenan (agency costs). Hasil yang didapat menyatakan bahwa biaya keagenan (agency costs) pada perusahaan dengan manajemen yang berasal dari luar (outsider) relatif lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan manajemen sendiri (owner managed). Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan aktiva dan beban operasi pada perusahaan kecil dipengaruhi oleh kepemilikan manajerial dalam perusahaan. Penelitian Singh et al (2003) dalam Faisal (2005) menganalisis hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan (agency costs) pada perusahaan-perusahaan besar yang sudah go public. Hasil penelitian Singh et al. (2003) dalam Faisal (2005) mendukung penelitian Ang et al. (1999) dalam Faisal (2005) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial secara positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan aktiva perusahaan.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005). Di dalam penelitiannya Faisal (2005) menggunakan sampel penelitian sebanyak 33 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan biaya keagenan (agency costs) yang berarti bahwa kepemilikan manajerial belum dapat berfungsi sepenuhnya sebagai mekanisme untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan aktiva perusahaan dan belum dapat menekan diskresi manajerial. Demikian juga dengan kepemilikan institusional yang berhubungan negatif dengan biaya keagenan (agency costs) yang berarti bahwa kepemilikan institusional belum efektif sebagai alat untuk memonitor manajemen dalam meningkatkan nilai perusahaan. Akan tetapi ukuran dewan direksi mampu menunjukkan hubungan yang positif dengan biaya keagenan (agency costs) yang berarti bahwa ukuran dewan direksi dapat dijadikan sebagai variabel yang mempengaruhi biaya keagenan (agency costs).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Faisal (2005) yaitu :
- Tahun yang diamati, pada peneltian ini mengambil tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Peneliti mempunyai beberapa alasan menggunakan tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 yaitu : (1) untuk menghindari periode krisis moneter di Indonesia, dan (2) beberapa riset yang telah ada menunjukkan bahwa periode setelah krisis moneter perekonomian Indonesia belum menunjukkan gejala membaik.
- Pada penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada perusahaan manufaktur dengan tujuan untuk menghindari adanya bias yang disebabkan oleh perbedaan industri.
- Pada penelitian ini, peneliti menghilangkan variabel risiko (RISK). Peneliti memiliki alasan tertentu untuk menghilangkan variabel risiko dikarenakan beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa tingkat risiko menunjukkan hubungan yang negatif dan tidak signifikan terhadap kepemilikan manajerial (Ismiyanti dan Hanafi, 2003).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi masalah dari penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :
- Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap biaya keagenan (agency costs) ?
- Apakah kepemilikan institusional berpengaruh terhadap biaya keagenan(agency costs) ?
- Apakah ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap biaya keagenan (agency costs) ?
No comments:
Post a Comment