BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis keuangan yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia dewasa ini menyadarkan akan pentingnya stabilitas sistem keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan menimbulkan dampak yang sangat buruk yakni menurunnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan serta besarnya biaya pemulihan ekonomi khususnya sektor keuangan akibat krisis tersebut. Dampak dari kondisi tersebut maka stabilitas sistem keuangan wajib dipelihara untuk menjamin kepentingan publik.
Pada intinya, stabilitas keuangan adalah terhindarnya dari krisis atau instabilitas keuangan. Stabilitas keuangan merupakan salah satu fungsi utama dari bank sentral modern, yang tidak kalah pentingnya dengan stabilitas moneter. Stabilitas keuangan mutlak diperlukan untuk mewujudkan dan memelihara stabilitas moneter. Hal ini sangat tepat dengan misi Bank Indonesia yang tercantum pada UU No.23 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.3 Tahun 2004 yakni "mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan". Namun demikian, secara lebih luas, tanggung jawab untuk memelihara stabilitas sistem keuangan tersebut merupakan tanggung-jawab bersama lembaga terkait khususnya bank sentral, otoritas pengawas dan pemerintah.
Stabilitas keuangan ini tidak lepas dari peran industri perbankan yang menjadi media penggerak sistem keuangan di Indonesia. Pemulihan industri perbankan yang nyata akan juga berdampak pada sektor lain. Perkembangan dunia bisnis yang terdiri dari beragam perusahaan dan bergerak dalam bidang industri, perdagangan, pertambangan, jasa-jasa (pengangkutan, komunikasi, pariwisata dan sebagainya) tak akan lepas dengan masalah kebutuhan dana. Kebutuhan akan dana tersebut ditopang dengan adanya bank yang merupakan lembaga keuangan.
Bank yang merupakan lembaga intermediasi keuangan memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan dananya dan mendukung kestabilan sistem keuangan. Pengelolaan dana tersebut harus ditunjang dengan kegiatan usaha bank yang mampu menjaga agar spread bank tidak mencapai posisi negatif. Dan menjaga kestabilan likuiditasnya agar tetap mampu menyediakan dana untuk memenuhi penarikan simpanan maupun permintaan kredit. Bank pengelola yang dimaksud adalah bank umum yang memiliki tugas yang lebih luas dari pada bank perkreditan rakyat karena langsung melayani penyimpanan dan pendanaan oleh masyarakat. Kemampuan bank tersebut dipengaruhi oleh adanya keberadaan bank Indonesia yang mengatur perbankan di Indonesia, dimana setiap bank harus menempatkan dananya pada bank Indonesia sebagai cadangan.
Bank melayani sebagian besar pembiayaan kegiatan ekonomi yang dijalankan masyarakat. Studi struktur dan perkembangan pasar keuangan Bank Indonesia (2001) menyatakan sumber utama pembiayaan investasi di Indonesia masih didominasi oleh penyaluran kredit perbankan. Sehingga wajar apabila melambatnya penyaluran kredit perbankan di Indonesia setelah krisis 1997 dituding sebagai salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia dibanding negara Asia lainnya yang terkena krisis (Korea Selatan dan Thailand). Meskipun kondisi makroekonomi dalam beberapa tahun terakhir relatif membaik, tercermin dengan terkendalinya laju inflasi, stabilnya nilai tukar dan turunnya suku bunga namun kredit yang disalurkan perbankan belum cukup menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi untuk kembali pada level sebelum krisis.
Menurut Taufik kurniawan (2004:439) Tingginya suku bunga pada September 1988 merupakan suatu sejarah bagi dunia perbankan dalam menekan suku bunga yang dinilai sangat tinggi dan tidak dapat menggairahkan investasi. Penyebab utama tingginya suku bunga bank pada waktu itu adalah mahalnya biaya memperoleh dana sendiri. Sebagian besar dana bank diperoleh dari deposito dengan tingkat bunga berada di atas 15% - 21%, baik jangka waktu 1 bulan, 2bulan, 3 bulan maupun 12 bulan. Hal ini berdampak pada kenaikan bunga kredit dikarenakan biaya intermediasi dari bank. Namun penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) pada periode penelitian yang diperoleh dari deposito memiliki kecenderungan mengalami penurunan dengan desember 2004 sebesar Rp295,905 Miliar dan kondisi tabungan yang cenderung sebaliknya mengalami peningkatan sampai pada tahun 2006 sebesar Rp 271.266 miliar. Dapat dilihat pada tabel dibawa ini.
Tabel 1.1
Sumber Dana berasal dari Dana Pihak Ketiga Tahun 2000-2006 (Dalam Milion Rupiah)
|
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia Vol4.no3 (2006:6)
Dari tabel 1.1 dapat ditunjukkan bahwa walaupun sumber Dana Pihak Ketiga masih didominasi oleh Deposito pada periode setelah krisis kecenderungan masyarakat menempatkan dana pada tabungan mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa terjadi efisiensi biaya yang tersalurkan pada deposito dampaknya pada suku bunga pinjaman yang mengalami kecenderungan penurunan.
Saat krisis ekonomi dan moneter menimpa bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia pada tahun 1997 - 1998 tepatnya pada periode bulan Juli - Agustus 1997 pemerintah menerapkan kebijakan empat kali menaikkan tingkat suku bunga SBI dari bulan Agustus sebesar 7% menjadi 30% dalam setahun. Pergerakan suku bunga SBI menjadi tolak ukur bagi pergerakan tingkat suku bunga lainnya. Sehingga kenaikan suku bunga SBI ini dengan sendirinya mendorong kenaikan suku bunga dana antar bank dan suku bunga deposito. Kenaikan suku bunga deposito akhirnya mengakibatkan kenaikan suku bunga pinjaman di bank-bank, terutama karena sebelumnya sudah ada peraturan bahwa tingkat suku bunga di bank komersial ditetapkan 150% diatas suku bunga SBI. Penelitian yang dilakukan oleh Bond dan Kurniati pada tahun 1994 dalam Ridho Hakim et. al (2000: 6) menyatakan selain suku bunga internasional, tingkat suku bunga SBI juga merupakan faktor penentu suku bunga di Indonesia. Peningkatan diskonto SBI akan segera direspon oleh suku bunga pasar uang atar bank (PUAB). Respon dari suku bunga deposito terhadap perubahan tingkat diskonto SBI baru muncul setelah 7-8 bulan, sedangkan respom suku bunga kredit (pinjaman) baru terjadi setelah 8-9 bulan. Sejak masa krisis peran SBI dalam menentukan suku bunga semakin besar. SBI merupakan tempat perbankan untuk menanamkan likuiditas yang dimilikinya ketika fungsi intermediasi pada bank tidak berjalan.
Pada sisi lainnya kenaikan adanya kenaikan suku bunga SBI ini merupakan salah satu operasional kebijakan moneter (operasi pasar terbuka) yang bertujuan kontraktif yaitu mengendalikan pertumbuhan jumlah uang yang beredar. Menurut Purbaya Yudhi Sadewa dalam kompas 2004 laju pertumbuhan uang yang terlalu cepat dapat memberikan dampak kurang baik bagi perekonomian. Suatu pertumbuhan uang yang terlalu cepat pada akhirnya hanyalah akan menimbulkan tekanan inflasi, atau dapat menimbulkan kenaikan ekspektasi inflasi (inflation expectation). Pada tanggal 10 Mei 2004 rupiah jatuh jauh lebih tajam daripada mata uang negara lain. Rupiah terdepresiasi sebesar 2,7 persen pada hari itu, sedangkan mata uang Thailand, Baht, hanya terdepresiasi sebesar 1,3 persen. Dalam satu bulan terakhir (per 6 Juni 2004), rupiah terdepresiasi sebesar 8,02 persen. Jauh lebih tinggi dari Baht (terdepresiasi sebesar 1,77 persen), peso (terdepresiasi 0,21 persen), maupun Dollar Singapura (terdepresiasi sebesar 0,41 persen).
Faktor domestik diduga juga turut membuat rupiah lebih jeblok dibandingkan dengan mata uang negara-negara tetangga kita. Menurut model nilai tukar jangka pendek yang dimiliki Danareksa Research Institute, salah satu penyebab utama melemahnya rupiah dari sisi domestik adalah laju pertumbuhan uang yang terlalu cepat untuk laju pertumbuhan ekonomi saat ini. Suplai uang tumbuh rata- rata sebesar 20 persen pada periode Januari 2004 -Maret 2004. Laju pertumbuhan uang yang tinggi ini berdampak pada kenaikan suku bunga dan jika dibiarkan inflasi akan terus mengalami peningkatan.
Peneliti Ekonomi Bank Indonesia, Akhis R. Hutabarat (2006) menyatakan tatkala inflasi bertahan tinggi, upaya menurunkannya pun menjadi mahal. Karena Bank Indonesia perlu menaikkan suku bunga untuk memperketat likuiditas uang dalam perekonomian. Kebijakan moneter bank Indonesia menentukan tercapainya kestabilan moneter. Apabila kebijakan tersebut tidak mampu menekan laju inflasi maka akan berdampak naiknya suku bunga pinjaman yang dibebankan atas kredit pada nasabah. Upaya ini digunakan agar jumlah uang yang beredar akibat inflasi dapat dikendalikan.
Sistem keuangan yang stabil akan menciptakan kepercayaan dan lingkungan yang mendukung bagi nasabah penyimpan dan investor untuk menanamkan dananya pada lembaga keuangan, termasuk menjamin kepentingan masyarakat terutama nasabah kecil. Sistem keuangan yang stabil juga akan mendorong intermediasi keuangan yang efisien sehingga pada akhirnya dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kestabilan laju Inflasi yang merupakan sasaran kebijakan moneter adalah salah satu makna dari kestabilan nilai tukar sebagai tujuan Bank Indonesia. Menurut Miranda S.Goeltom (2004:4) Kestabilan rupiah yang dimaksud dalam tujuan Bank Indonesia tersebut adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang diukur dengan atau tercermin perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang diukur atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Sebagaimana umumnya negara berkembang yang memiliki sistem perekonomian terbuka, Indonesia melakukan perdagangan dengan dengan negara lain. Indikasi adanya perdagangan keluar negeri dengan adanya arus ekspor dan impor. Dalam melakukan transaksi dengan negara lain, masing-masing negara tentunya akan mengalami permasalahan mengenai alat pembayaran yang digunakan dalam transaksi tersebut. Nilai tukar akan memperlancar kegiatan ekonomi antar negara tersebut. Karena fungsinya sangat vital dalam perdagangan antar negara maka perubahan nilai tukar akan berpengaruh langsung pada stabilitas harga barang-barang hasil impor. Depresiasi nilai tukar yang terlalu besar dapat mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal dan secara keseluruhan laju inflasi meningkat. Peningkatan harga barang impor ini akan mengakibatkan permintaan mata uang asing bertambah besar (capital outflow) sehingga nilai tukar rupiah melemah. Ini berarti juga nilai suku bunga domestik lebih rendah dari pada suku bunga luar negeri. Rendahnya suku bunga dalam negeri akan berdampak juga pada penempatan dana masyarakat pada bank dalam menurun. Masyarakat cenderung akan meletakkan dana yang memberikan suku bunga tinggi, sehingga selain dari dalam negeri pertumbuhan ekonomi Indonesia di pengaruhi faktor luar negeri, baik dalam arus pembayaran maupun peneriman.
Sadono Sukirno (2004:203) Pengeluaran agregat akan meningkat sebagai akibat dari kegiatan mengekspor barang dan jasa dan pada akhirnya menyebabkan peningkatan dalam pendapatan nasional. Demikian sebaliknya impor menimbulkan aliran barang keluar dan akan menurunkan pendapatan nasional. Adanya hubungan transaksi dengan luar negeri membuka kemungkinan adanya pengaruh kenaikan suku bunga yang berlaku di pasar internasional. Pada hasil penelitian Bond dan Kurniati pada tahun 1994 dalam menyatakan bahwa suku bunga internasional merupakan salah satu faktor penentu suku bunga di Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan SIBOR (Singapore Inter Bank Offer Rate) dipilih sebagai variabel penentu suku bunga pinjaman sebagai suku bunga internasional. Paul Soetopo Tjokronegoro (1997) Bank Indonesia menurunkan tingkat diskonto wesel ekspor (W/E) sebesar (1%-1,5%) dan mengizinkan bank menjual (rediskonto) Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) yang dikeluarkan eksportir tertentu. Penurunan diskonto itu baik dilakukan untuk W/E eksportir tertentu maupun lainnya. Untuk eksportir tertentu, diskonto WE yang diserahkan bank ke Bank Indonesia sama dengan Tingkat bunga Sibor-flat [Singapore Interbank Offer Rate), dari sebelumnya Sibor+1%. Untuk eksportir lainnya turun dari Sibor+2,5% menjadi Sibor+1%. Tingginya tingkat suku bunga SIBOR akan menyebabkan jumlah yang diterima eksportir atas diskonto W/E Imam Syakir dalam studi empirisnya (1995:45) menyatakan bahwa Singapura merupakan negara tetangga terdekat yang memiliki stabilitas perekonomian paling stabil diantara negara-negara ASEAN. Tingkat inflasi selama enam tahun (1989-1994) hanya berkisar antara 2% sampai dengan 3,5%. Dalam Taufik Kurniawan (2004:444) secara umum tingkat bunga Internasional yang sering dipakai di Asia Tenggara adalah tingkat bunga SIBOR (Singapore Inter Bank Offer Rate). Adanya perubahan pada SIBOR akan mempengaruhi pergerakan suku bunga yang ada didalam negeri.
Mengacu pada fenomena diatas maka terdapat penelitian mengenai determinan tingkat suku bunga pinjaman di Indoonesia pada periode 1983 - 2002. Penelitian tersebut yang menggunakan variabel suku bunga internasional SIBOR, jumlah uang yang beredar, Inflasi, Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Produk Domestik Bruto. Alat analisa digunakan Error Correction Model (ECM) untuk analisa dinamis jangka pendek dan persamaan kointegrasi untuk analisa jangka panjang. Dengan hasil empirik menunjukan adanya konsistensi dengan hipotesis yang di ajukan pada SIBOR, JUB dan SBI arah pengaruhnya positif pada jangka panjang serta Produk Domestik bruto dan jumlah yang beredar memiliki arah pengaruh positif pada jangka pendek, Sedangkan untuk inflasi memiliki arah pengaruh negatif baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Untuk tingkat signifikansi pada jangka pendek variabel independen yang signifikan adalah SIBOR, SBI, PDB dan pada jangka panjang SIBOR, JUB, inflasi merupakan variabel yang signifikan. Berdasarkan penelitian tersebut salah satunya adalah SBI merupakan faktor yang berpengaruh pada tingkat suku bunga pinjaman. Dimana ketika terjadi perubahan kebijakan pemerintah menaikkan suku bunga SBI maka akan diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan dan deposito. Kenaikan bunga simpanan dan deposito akan menaikkan biaya mahal di perbankan dan menggerus laba bank yang pada akhirnya sebagai kompensasinya yaitu menaikkan suku bunga pinjaman. Namun pada tahun 2004 kenaikkan Suku bunga SBI tidak berdampak pada kenaikan suku bunga pinjaman. Dengan menggunakan variabel yang sama dengan penelitian diatas maka penulis mengangkat judul "Analisis Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, Jumlah Uang Beredar, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah Dan Suku Bunga SIBOR Terhadap Suku Bunga Pinjaman Bank Umum Yang di Tetapkan Oleh Bank Indonesia Pada Tahun 2000-2006 (Dengan Menggunakan Pendekatan Error Correction Model)"
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Apakah ada pengaruh antara suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar rupiah dan suku bunga SIBOR, terhadap suku bunga pinjaman bank umum pada jangka pendek maupun jangka panjang
- Variabel manakah yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap suku bunga pinjaman bank umum
No comments:
Post a Comment