BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini, Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal itu dapat dibuktikan dari jumlah penduduk yang mengandalkan hidupnya bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian (Mubyarto, 1972 : 11) Menurut Hill dan Weidemann dalam Linblad (1998 : 7), pada tahun 1983 sektor primer1 dalam hal ini pertanian menempati 56% dari total pekerjaan di Indonesia. Persentase ini jauh lebih tinggi dari pada periode akhir kolonial dan tidak lama setelah kemerdekaan, yang mencapai atau bahkan melebihi 75% pada 1930 dan 1960. Andil pertanian dalam Produk Domestik Bruto (GDP) menurut P. Vander Eng dalam Linblad (1998 : 7) adalah lebih rendah, namun masih mengesankan. Perkiraan-perkiraan lama menunjukan porsi 45% pada 1880, persentase yang cenderung agak turun, tetapi tidak terlalu besar, sebelum kemerdekaan tercapai.
Kedua indikator di atas membuktikan bahwa sangat pentingnya produksi pertanian dalam menentukan perkembangan ekonomi Indonesia pada masa akhir penjajahan. Perhatian juga ditunjukan pada kelangsungannya yang amat penting antara periode akhir dan pasca kolonial.
1 Sektor primer adalah bagian/bidang dalam perekonomian yang bersifat utama/mendasar
Menurut Linblad (1998), penawaran dalam pertanian ditentukan oleh 4 (empat) variabel utama yaitu ekologi, pengaturan produksi, tenaga kerja, dan teknologi. Iklim dan keadaan tanah menentukan tanaman mana yang dapat dikembangkan dan dalam kombinasi apa. Sistem produksi ditentukan oleh identitas produsen, mekanisme penggunaan dan faktor-faktor mobilisasi produksi. Masukan tenaga kerja hanya menentukan tingkat hasil, tetapi juga efek-efek pendapatan, dalam arti menumbuhkan daya beli daerah pedesaan. Terakhir, kemajuan teknologi mempengaruhi tingkat produksi yang terus menerus selama waktu tertentu.
Pada saat kita membicarakan tentang pertanian, tentunya tidak jauh dari sistem pertanahan. Sistem pertanahan dalam pertanian merupakan bagian yang sangat penting. Karena dasar utama pertanian adalah areal pertanahan yang mendukung.
Sistem pertanahan pada akhir abad XIX menunjukan adanya penghapusan dominasi negara terhadap tanah dan tenaga kerja. Masa ini merupakan awal dari hubungan pertanahan yang bersifat horizontal, namun dengan imbangan yang tidak menguntungkan pada tanah dan tenaga kerja. Murahnya sewa tanah dan tenaga kerja mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal. Sebaliknya pemilik tanah mengalami kemerosotan kemakmuran (Wasino, 2006 : 9).
Pada awal abad XX, yakni dengan diterapkannya Politik Etis, politik kolonial terhadap tanah tidak hanya membawa perubahan dalam status ekonomi dan tanah. Dalam abad ke-IX dan ke-XX, boleh dikatakan Indonesia telah mengalami reforma agraria beberapa kali, walaupun di bawah pemerintahan kolonial. Di bawah pemerintahan S. Raffles (1811-1816) dengan pajak tanah dan registrasi kadastral di Jawa pertama kali diletakkan hubungan antara penguasa kolonial di Jawa dan petani-petani di daerah pedesaan. Sistem kultur sebenarnya tanam paksa Van den Bosch (1830) dan berlangsung sampai tahun 1870 juga menciptakan hubungan-hubungan ketergantungan dan kekuasaan antara pamong dan elite desa dengan petani penggarap (Tjondronegoro, 1998 : 125-126).
Reforma Agraria2 setelah 1950-an mengalami perubahan peranan, jika sebelumnya dianggap suatu program untuk mengatasi ketimpangan di daerah pedesaan dan khususnya di bidang pertanian, sesudah 1950 Reforma Agraria semakin diartikan sebagai satu bagian dalam strategi pembangunan (Jepang, Taiwan, Korea). Reforma Agraria dilihat sebagai batu loncatan ke fase industrialisasi; rasionalisasi sektor pertanian3 mendahului penyaluran tenaga kerja dari pedesaan ke sektor industri (non pertanian), baik secara terpusat di kota, ataupun secara terpencar di daerah pedesaan (Tjondronegoro, 1998 : 126-127).
Pekerjaan di luar sektor pertanian, yang dikenal sebagai sektor informal4 itu, terbukti telah menjadi alternatif yang penting bagi masyarakat pedesaan di Jawa sedini dasawarsa 1910-an (Padmo, 2004 : 38). Pentingnya usaha meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat desa didasarkan atas kenyataan bahwa peluang kerja untuk mendapatkan pekerjaan di pedesaan sangat kecil dan sektor industri (perkotaan) sulit diharapkan untuk dapat menyerap tenaga kerja dari desa {(Mubyarto dan Kartodirdjo, 1998) dalam Ravik Karsidi 2003}.
2 Reforma agraria adalah suatu program pemerintah khusus di bidang pertanian untuk meningkatkan pertanian di Indonesia 3 Sektor pertanian adalah sektor yang kegiatan di dalamnya berjalan dalam suatu sistem yang disusun berdasarkan sumber daya alam dan sumber daya manusia (Ensiklopedia Indonesia, 1997
: 170). 4 Sektor informal adalah sektor ekonomi yang terdiri atas unit-unit usaha berskala kecil, yang memproduksi dan mendristibusikan barang dan jasa, dengan tujuan utama menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan memperoleh pendapatan bagi para pelakunya (Ensiklopedia Indonesia, 1997 : 475).
Masyarakat pedesaan di Jawa biasanya digambarkan sebagai tempat yang harmonis dengan sifat saling menolong dan hubungan yang harmonis antar anggotanya. Kehidupan desa seperti ini mungkin terdapat di masa silam, karena sumber daya alam yang melimpah memungkinkan penduduknya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri secara perlahan dengan menggunakan fasilitas sumber daya yang telah tersedia cukup banyak di sekitarnya.
Namun seiring berjalannya waktu, faktor-faktor internal seperti jumlah penduduk yang meningkat dan persediaan tanah yang terbatas di samping faktor-faktor eksternal seperti perubahan-perubahan dalam kebijakan kolonial dan penguasa tradisional mempengaruhi ciri khas kehidupan desa tersebut. Akibatnya terjadi perubahan dari pekerjaan-pekerjaan pertanian ke non pertanian {(Soegijanto Padmo dalam Linblad (1998 : 169)}. Arthur Lewis (1986) mengatakan bahwa jika pertanian beroperasi dalam skala kecil, tanah pertanian makin lama makin kecil, dan kelebihan buruh tetap tinggal di pertanian. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja di bidang pertanian. Adapun untuk wilayah Jawa Tengah, dari hasil sensus pertanian (BPS,1993a) bahwa kecenderungan penurunan jumlah rumah tangga pertanian itu disebabkan karena ketersediaan lahan pertanian semakin berkurang. Jumlah rata-rata penguasaan lahan per rumah tangga di Jawa Tengah juga menunjukkan penurunan, yaitu dari rata-rata 0,58 hektar per rumah tangga (1983) menjadi 0,47 hektar per rumah tangga (1993), atau menurun 18,97%. Ini berarti selama 10 tahun (1983-1993) telah terjadi penurunan sekitar 2% (Karsidi, 2003: 2).
Studi International Labour Organization atau ILO (1960) menyebutkan bahwa alasan petani meninggalkan pekerjaannya, kecuali bagi mereka yang memiliki tanah cukup karena dua hal pokok, yaitu pendapatan yang terlalu rendah di bidang pertanian, dan tersedianya kesempatan kerja di luar pertanian. Dari studi ILO tersebut ditemukan pula hampir di semua negara bahwa pendapatan dari bidang pertanian selalu lebih rendah dari sektor ekonomi lainnya (Karsidi, 2003 : 1). Pekerjaan non pertanian di kalangan penduduk pribumi di daerah tersebut adalah industri rumah tangga dan Petty Trade5 . Tampaknya industri rumah tangga di antara keluarga-keluarga petani di Jawa tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja, tetapi juga sebagai sumber pendapatan tambahan. Di Jawa Tengah, misalnya industri rumah tangga dapat menyediakan jumlah kebutuhan yang sangat banyak untuk dikirim ke daerah lain di Jawa atau pulau-pulau lain di Indonesia {(Soegijanto Padmo dalam Linblad (1998 : 169)}.
Menurut Hugo (1969) dalam Padmo (2004 : 68) sektor non pertanian di pedesaan itu haruslah dilihat secara esensial sebagai bagian dari sistem involusi di dalam masarakat pedesaan. Kegiatan yang biasa dilakukan oleh petani sangat dipengaruhi oleh tersedianya bahan baku dan kemampuan dasar untuk menyerapnya. Pada awalnya, sektor non pertanian merupakan usaha sambilan, terutama bagi petani miskin untuk memperoleh tambahan pendapatan. Di samping itu sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan yang penting bagi masyarakat pedesaan pada umumnya.
5 Petty Trade adalah perdagangan kecil-kecilan
Industri pedesaan yang semula diusahakan sebagai pekerjaan sambilan dan sekedar untuk menambah pendapatan bahkan beberapa diantaranya menjadi usaha pokok keluarga. Masa industri perkebunan pada dasawarsa 1920-an merupakan saat penting bagi perkembangan industri rumah tangga (Padmo, 2004 : 69). R.Van Neil dalam Padmo (2004) mengatakan bahwa peralihan yang menentukan ke arah kerajinan seperti tekstil, logam, anyaman (Plaiting), keranjang (Basketry), tampaknya telah muncul sebelum 1880 dibandingkan waktu sesudahnya. Hal ini menunjukan hubungan kausalitas antara tendensi ke arah komersialisasi yang muncul pada saat Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel6 ) dan munculnya produksi non peranian.
Pada PELITA I-IV, pemerintah menetapkan untuk menumbuhkan sektor pertanian yang tangguh yang didukung pula oleh sektor industri yang tangguh. Sejak PELITA V ketetapan untuk menumbuhkan industri yang tangguh telah menjadi kebijakan nasional. Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, telah terjadi suatu keputusan politis, yakni untuk masa skitar 25 tahun mendatang akan dilakukan transformasi ketenagakerjaan dari sektor pertanian menuju industri (Soeharto, 1994 dalam Ravik Karsidi, 2003 : 4). Kegiatan industri kecil tersebut telah berjalan sejak akhir abad 19 atau awal abad 20, dan mulai meningkat tajam sejak pertengahan 1980an (Karsidi, 2003: 4).
Satu kegiatan dalam industri pedesaan di Kubangwungu adalah usaha pembuatan tali tambang. Kegiatan ini telah dilakukan sejak lama. Berdasarkan 6 Cultuurstelsel, berasal dari bahasa Belanda yaitu suatu perkebunan yang dikenal dengan nama “Tanam Paksa” karena dalam praktiknya dilaksanakan secara paksa (Mustadjab, 1996 : 259).
hasil wawancara dengan bapak Moch. Jundi dan bapak Mahdun selaku perangkat desa Kubangwungu, perkembangan industri tali tambang ini sudah dimulai sekitar tahun 1890-an. Industri rumah jenis ini semakin berkembang pada Pelita IV dan V ketika permintaan dari pasar meningkat. Agaknya tahun 1984 ini dalam sejarah pembangunan Indonesia akan tercatat sebagai “titik balik” (turing point) dari masa pembangunan pertanian dengan tekanan pada produksi dan rehabilitasi prasarana pertanian, ke arah perwujudan kerangka landasan untuk tahap industrialisasi (Tjondronegoro, 1998 : 103).
Sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi di Indonesia pada akhirnya juga menggeser aktifitas ekonomi masyarakat, yang semula bertumpu kepada sektor pertanian untuk kemudian bersandar kepada sektor industri. Kebijakan pemerintah yang terus mendorong untuk mengembangkan sektor industri (termasuk industri kecil) ini telah menyebabkan kesempatan kerja di sektor industri kecil semakin lama juga semakin terbuka. Akan tetapi adanya kesadaran bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia bergulat di sektor pertanian dengan sumber daya ekonomi yang melimpah pula pada sektor ini, maka sejak awal telah diamati bahwa industrialisasi yang dilaksanakan di Indonesia harus melibatkan sektor pertanian dalam prosesnya. Dalam arti, bahwa industrialisasi yang dijalankan tersebut harus bertumpu dan berkaitan dengan sektor pertanian, sehingga jika sektor industri sudah tumbuh pesat tidak lantas mematikan sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup masyarakatnya (Yustika, 2000 : 61)
Perubahan sistem ekonomi yaitu dari ekonomi pertanian ke ekonomi industri tentunya akan berpengaruh pula terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dalam hal ini masyarakat Kubangwungu, dimana masyarakat Kubangwungu yang pada awalnya mereka sebagian besar merupakan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani yang kemudian berubah menjadi masyarakat industri, dalam hal ini adalah industri tali tambang. Pendapatan masyarakat Kubangwungu pada awalnya sebagian besar berasal dari sektor pertanian yaitu sekitar 80% dan sektor industri hanya 20%. Akan tetapi, dalam perkembangannya sektor industri telah menggantikan posisi sektor pertanian yaitu 60% dari sektor industri dan 40% dari sektor pertanian (Wawancara: Mahdun, 23 Februari 2007).
Oleh karena perubahan ekonomi pertanian ke ekonomi industri dalam hal ini sejarah kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Kubangwungu Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes belum ada yang menulis sebelumnya dan penulisan sejarah ini termasuk kajian sejarah sosial ekonomi, maka peneliti mencoba mengangkatnya dalam skripsi untuk membahas permasalahan yang semakin kompleks dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.
Bertolak dari penelitian di atas yang menjadi dasar pemikiran, peneliti bermaksud mengangkat permasalahan tersebut dalam penelitian dengan judul “DARI EKONOMI PERTANIAN KE EKONOMI INDUSTRI (Sejarah Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kubangwungu Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes Tahun 1969-2000)”
B. Permasalahan
Permasalahan pokok yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimanakah kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Kubangwungu Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes tahun 1969-2000?
- Bagaimanakah perubahan perekonomian dari ekonomi pertanian ke ekonomi industri di Desa Kubangwungu Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes tahun 1969-2000?
- Bagaimanakah pengaruh industri tali tambang terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kubangwungu?
No comments:
Post a Comment