BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konferensi Internasional Ekonomi Islam pertama yang diselenggarakan di Mekkah pada bulan Februari 1976 secara umum memberikan rangsangan yang besar bagi studi ekonomi Islam dan khususnya bagi perekonomian yang berlandaskan keadilan (Chapra: 1997).
Bidang perekonomian, yang merupakan salah satu tulang punggung tegaknya tatanan masyarakat yang dinamis mendapat perhatian khusus dalam konsep Islam, dimana Islam sangat memperhatikan dari/ bagaimana harta (hasil kegiatan ekonomi) itu diperoleh dan untuk apa harta itu digunakan. Oleh karena itu, Islam melarang mendapatkan harta dengan cara pencurian, perbuatan curang, judi, penjualan barang haram, dan tak kalah gencarnya yang diperangi oleh Islam adalah masalah riba. Hal ini sebagaimana pula pelarangan Islam terhadap penggunaan harta seperti untuk foya-foya, maksiat, membeli barang yang haram, membangun fasilitas-fasilitas maksiat dan sebagainya.
Islam dalam menentukan suatu larangan terhadap aktivitas duniawiyah tentunya mempunyai hikmah tersendiri didalamnya, dimana hikmah itu akan memberikan kemaslahatan, ketenangan dan keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat. Namun demikian Islam tidak melarang begitu saja kecuali disisi lain ada alternatif konsepsional maupun operasional yang diberikannya. Misalnya saja larangan terhadap riba. Alternatif yang diberikan Islam dalam rangka menghapuskan riba dalam praktek muamalah yang dilakukan manusia melalui dua jalan. Jalan pertama berbentuk shadaqah ataupun Al Qardhul Hasan (pinjaman tanpa adanya kesepakatan kelebihan berupa apapun pada saat pelunasan) yang merupakan solusi bagi siapa saja yang melakukan aktivitas riba untuk keperluan biaya hidup (konsumtif) ataupun usaha dalam skala mikro. Sedangkan jalan yang kedua adalah melalui sistem perbankan Islam yang didalamnya menyangkut penghimpunan dana melalui tabungan mudharabah, deposito musyarakah dan giro wadiah yang kemudian disalurkan melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (seperti mudharabah dan musyarakah), prinsip jual beli (Bai' Bitsaman Ajil, murabahah dan lain sebagainya) serta prinsip sewa/fee (Ijarah/ Bai' Ta'jri dan lain-lain) Qardhawi (1989). Dari kedua jalan diatas secara sistematik diatur dan dikelola melalui kelembagaan yang dalam istilah Islam disebut Baitul Mal Wattamwil yang disingkat BMT.
Secara etimologis, istilah baitul mal berarti rumah uang, sedangkan baitut tamwil mengandung pengertian rumah pembiayaan. Istilah baitul mal telah ada dan tumbuh sejak zaman Rasulullah Saw, meskipun saat itu belum terbentuk suatu lembaga yang permanen dan terpisah. Kelembagaan baitul mal secara mandiri sebagai lembaga ekonomi berdiri pada masa Khalifah Umar bin Khattab atas usulan seorang ahli fiqh bernama Walid bin Hisyam (Tim P3UK, 1994).
Sejak masa tersebut dan masa kejayaan Islam selanjutnya (Dinasti Abasiyah dan Ummayah), Baitul mal telah menjadi institusi yang cukup vital bagi kehidupan negara. Ketika itu, baitul mal telah menangani berbagai macam urusan mulai dari penarikan zakat(juga pajak), ghanimah, infaq, shadaqah, sampai membangun fasilitas umum seperti jalan, jembatan, menggaji tentara dan pejabat negara serta kegiatan sosial kepentingan umum. Bila dipersamakan dengan saat ini, maka baitul mal ketika zaman sejarah Islam dapat dikatakan menjalankan fungsi Departemen Keuangan, Ditjen Pajak, Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan Umum dan lain sebagainya (TIM P3UK, 1994).
Sedangkan baitut tamwil dalam istilah modern adalah Bank Islam, memiliki akar yang kuat dari pemikiran para pemimpin gerakan Islam sejak tahun 1940-an yang mengibarkan bendera dakwah sampai tumbuhnya revivalisme Islam (kebangkitan Islam), sejak himbauan Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Iqbal, Ibnu Badis, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Hasan Al Banna, Al Maududi, Sayid Qutub dan lain-lain dalam waktu panjang menyerukan untuk pembebasan ekonomi dengan melaksanakan kembali syariah Islam di bidang keuangan dan muamalah (interaksi sosial) sebagai prasarana urat tunggang pemikiran bank-bank dan institusi keuangan Islam (Al Anshori dkk, 1993; Al Banna, 1998)
Meskipun pendahulu pemikiran Islam ini belum dapat memberikan alternatif praktis tertentu, tetapi telah berhasil memberikan akomodasi dan mobilisasi opini umum hingga dapat mendesak dengan kuat beberapa pemerintahan hingga pemerintah muslim mengeluarkan izin untuk mendirikan bank-bank Islam. Maka pada tahun 1977, Bank Islam Faisal di Sudan melakukan operasi dan kemudian secara berurutan disusul oleh Kuwait Finance House (1978), Bahrain Islamic Bank (1978), Bank Faisal Islami di Mesir (1978), Bank Investasi dan Pembangunan Internasional (1979), Daru'l Mal l'Islami (1979), enam perusahaan keuangan Islam, Perusahaan Islam Mudharaba dan persatuan Bank-Bank Musyawarah Nasional di Pakistan (1980), persatuan Investasi Islam di Bahrain ( 1981). Dan pada tahun 1982, semakin banyak pertumbuhan bank-bank Islam di berbagai negara (Al Anshori dkk., 1993). Sedangkan di Indonesia, keberadaan perbankan syariah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Jakarta pada bulan November 1991. kemunculan Bank Muamalat merupakan salah satu hasil dari kongres tahunan MUI IV pada tanggal 22-25 Agustus 1990 yang menyetujui penyusunan cetak biru Bank Muamalat Indonesia.
Dalam data statistik Bank Indonesia (BI) tentang perbankan syariah di Indonesia selama kurun waktu 1992-1998, perkembangan perbankan syariah secara institusi hanya terjadi pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Pada tahun 1993 data BI menunjukkan telah berdiri 20 BPRS di Indonesia dan berkembang menjdi 79 BPRS pada tahun 1999. jadai dalam kurun waktu 6 tahun jumlah BPRS meningkat lebih dari 3 kali lipat atau jika diambil rata-rata maka tiap tahun (1993-1999) muncul lebih kurang 10 BPRS.
Terhambatnya perkembangan bank umum syariah salah satunya disebabkan oleh masih kakunya Undang-undang perbankan pada saat itu yaitu UU No. 7/1992 yang menyebabkan bank syariah sulit bersaing dengan bank konvensional. Setelah lahirnya UU No. 10/1998 sebagai hasil amandemen UU No. 7/1992, landasan operasi bank syariah menjadi lebih jelas. UU No. 10/1998 ditindak lanjuti oleh Bank Indonesia dengan mengeluarkan berbagai ketentuan mengenai kelembagaan bank umum syariah, bank umum konvensional yang membuka unit usaha syariah dan kantor cabang syariah serta ketentuan tentang BPRS.
Salah satu multiplier efect yang lain dari kemudahan berdirinya bank syariah dengan dikeluarkannya undang-undang oleh Bank Indonesia yang mengatur permasalahan tersebut adalah munculnya sebuah lembaga keuangan mikro syariah yang lebih dekat dengan kalangan masyarakat bawah, hal ini juga didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam terhadap banyaknya masyarakat miskin (notabenenya umat Islam) yang terjerat oleh rentenir dan juga dalam rangka usaha memberikan alternatif bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya dan tidak dapat berhubungan secara langsung dengan bank Islam dikarenakan usahanya tergolong kecil dan mikro , maka pada tahun 1992 lahirlah sebuah lembaga keuangan yang beroperasi menggunakan gabungan konsep baitul mal dan baitut tamwil, yang target, sasaran, serta skalanya pada sektor usaha mikro.
Dari akar sejarah diatas, tampaklah bahwa fungsi Baitul Mal Wattamwil yang sebenarnya dalam konsepsi Islam merupakan alternatif kelembagaan keuangan syariah yang memiliki dimensi sosial dan produktif, dimana denyut nadi perekonomian umat terpusat pada fungsi kelembagaan ini yang mengarah pada hidupnya fungsi-fungsi kelembagaan ekonomi lainnya.
Banyak kekhasan dari lembaga Baitul Mal Wattamwil , yang pertama adalah fungsi dari lembaga ini untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana bebas riba. Kedua, dalam prakteknya mayoritas nasabah Baitul Mal Wattamwil berasal dari sektor informal, sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa Baitul Mal Wattamwil menjadi alternatif akses pendanaan dari usaha informal yang tidak dapat berhubungan langsung dengan bank Islam. Ketiga, potensi dana yang mungkin diserap Baitul Mal Wattamwil sangat besar (penduduk muslim merupakan sumber modal potensial). Keempat, Baitul Mal Wattamwil merupakan lembaga keuangan syariah yang sistem operasionalnya didasarkan pada prinsip ekonomi Islam. Sesuai dengan ciri diatas, maka prinsip operasional Baitul Mal Wattamwil harus bebas dari riba, berorientasi sosial (membantu kaum lemah dan dhuafa) serta mampu mendorong masyarakat untuk mengamalkan ajaran Islam (Tim LKIP FIA, 1996)
Dengan semakin banyaknya orang-orang yang memiliki perhatian kepada lembaga ini, maka hal tersebut menuntut dipersiapkannya piranti-piranti yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan dan kegiatan dari lembaga keuanga syariah tersebut, sehingga mereka dapat berjalan secara kaffah dalam rel-rel yang telah ditentukan oleh syariah.
Tujuan utama syariah adalah mendidik setiap manusia , memantapkan keadilan dan merealisasikan keuntungan bagi setiap manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariah mengatur setiap aspek kehidupan muslim, baik politik, ekonomi, dan sosial dengan menjaga keyakinan, kehidupan, akal dan kekayaan mereka. Hal serupa juga dinyatakan oleh Ibnul Qayyim Al Jawziyyah, bahwa basis syariah adalah kebijakan dan kesejahteraan masyarakat di dunia ini dan di akhirat kelak. Dengan kata lain, syariah berkenaan dengan peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dengan menetapkan fondasi dasar bagi moral, sosial, politik dan filsafat ekonomi masyarakat tersebut.
Salah satu piranti yang sangat diperlukan adalah akuntansi, yang dapat memberikan sumbangan dalam pertanggungjawaban dan penyediaan informasi yang terkait dengan operasional yang dijalankan oleh Baitul Mal Wattamwil dan selalu berjalan dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dimana secara fungsional akuntansi merupakan sarana pertanggungjawaban dan media informasi, sehingga akuntansi menjadi hal yang sangat penting keberadaannya dalam sebuah institusi keuangan. Lembaga keuangan syariah memerlukan akuntansinya sendiri, akuntansi yang digunakan harus berdasarkan syariah. Didalam akuntansi syariah dapat lebih ditemukan keadilan dan kebenaran dibandingkan dengan akuntansi konvensional. Hal ini dapat dilihat dari ciri akuntansi konvensional. Harahap (1987) menyebutkan ciri akuntansi konvensional yang menunujukkan kelemahannya, antara lain:
- Akuntansi hanya mencatat transaksi yaitu segala sesuatu yang mengakibatkan perubahan dalam aktiva dan pasiva perorangan atau perusahaan. Informasi tentang suatu perusahaan tidak hanya dalam aktiva dan pasiva saja, tetapi juga perlu tentang kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya.
- Dalam akuntansi yang digunakan sebagai dasar pencatatan adalah bukti-bukti yang diperoleh dari luar perusahaan dan diperoleh langsung dari akuntan lebih kuat dibandingkan dengan bukti yang diperoleh dari dalam perusahaan sendiri. Islam menginginkan bukti yang benar sejajar dengan keinginan akuntansi yang hanya mencatat bukti yang valid.
- Akuntansi lebih menekankan pada kenyataan atau subsistemnya bukan formulirnya. Padahal seharusnya bukti juga penting untuk menunjukkan kebenaran.
Akuntansi syariah menunjukkan pertanggungjawaban yang lebih besar dibandingkan dengan akuntansi konvensional. Triyuwono (2000:22) mengatakan bahwa akuntansi syariah tidak hanya sebagai bentuk akuntanbilitas (accountability) manajemen terhadap pemilik perusahaan (stockholders), tetapi juga sebagai akuntanbilitas kepada stockholders dari Tuhan. Akuntansi merupakan alat ekonomi syariah yang digunakan untuk menyediakan informasi akuntansi yang berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pada tatanan yang lebih operasional, akuntansi syariah memiliki ciri-ciri yang menunjukkan kelebihannya dibandingkan dengan akuntansi konvensional, yaitu "Menggunakan nilai etika sebagai dasar bangunan akuntansi, memberi arah pada atau menstimulasi timbulnya perilaku etis, bersikap adil pada semua pihak, menyeimbangkan sifat egoistik dengan altruistik dan mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.
Riahi-Belkaoui (2000:66) menyebutkan bahwa "Akuntansi telah dipandang sebagai suatu fenomena ideologis". Hal ini menunjukkan bahwa apabila masyarakat terutama yang muslim menggunakan akuntansi konvensional maka sulit untuk merubahnya menjadi akuntansi syariah. Perkembangan akuntansi syariah dimasa yang akan datang sangat ditentukan oleh dua faktor. Faktor penting itu adalah sejauh mana masyarakat mau berpegang pada syariah secara umum dan sejauh mana masyarakat mau bersifat kaffah dalam memegang komitmen keislamannya yaitu untuk mengimplementasikan sistem ekonomi yang berlandaskan syariah. Rahman (1995:158) menyebutkan "Institusi bunga itu ada bukan karena hal itu merupakan kebiasaan atau fenomena yang melekat pada masyarakat modern (masyarakat lainnya) akan tetapi ia ada apapun alasannya untuk sewaktu-waktu. Kita mempertahankan institusi bunga karena kita menjumpai keberadaannya dalam masyarakat kita". Salah satu cara agar masyarakat dapat memahami pentingnya ekonomi bebas bunga adalah melalui peran lembaga keuangan yang menerapkan prinsip bagi hasil. Menurut sudewo dalam Widodo, dkk (1999:31), peran lembaga bagi hasil adalah " Lembaga memiliki kekuatan untuk menggerakkan ekonomi bagi hasil dan mempunyai kekuatan untuk merancang suatu sistem yang harus dipatuhi aturan mainnya serta dengan praktek ekonomi bagi hasil yang diselenggarakan lembaga, masyarakat telah memiliki contoh yang dapat menjadi referensi".
Selain itu menurut Khan (1994 )ada dua alasan mendasar mengapa sangat diperlukan akuntansi yang berbeda untuk lembaga keuangan syariah, yaitu:
- Lembaga keuangan syariah dijalankan dengan kerangka syariah, sebagai akibat dari hakikat transaksi yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional,
- Pengguna informasi akuntansi pada lembaga keuangan syariah adalah berbeda dengan pengguna informasi di lembaga keuangan konvensional.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa Baitul Mal Wattamwil mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya implementasi ekonomi Islam. Apabila Baitul Mal Wattamwil tidak berjalan sesuai dengan prisnip syariah dan mempraktekkan akuntansi kovensional, maka secara tidak langsung Baitul Mal Wattamwil dapat semakin menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi yang berlandaskan syariah.
Satu hal lagi yang tidak dapat dihindari dari keyakinan Islam dan aturan syariah yang ada didalamnya, bahwa manusia merupakan khalifah (wakil) Tuhan, dan manusia harus mengatur hidup sesuai dengan status mereka. Pengarahan- pengarahan yang terkandung dalam ajaran Islam adalah dalam rangka membantu merealisasikan tujuan ini. Para ulama sangat percaya bahwa kesejahteraan umat dan peringanan beban mereka dari beban hidup yang berat merupakan tujuan dasar syariah. Pandangan ini, jika dilihat dari sudut pandang ekonomi merupakan penekanan pada penciptaan kelayakan ekonomi melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan penciptaan keadilan sosial ekonomi. Dan penerapan akuntansi syariah pada lembaga keuangan syariah adalah upaya penerapan akuntansi berorientasi social dalam menciptakan keadilan sosial ekonomi tersebut.
Akuntansi berorientasi sosial adalah sebuah akuntansi yang menyajikan atau mengungkap dampak sosial perusahaan terhadap masyarakat. Jika terkait dengan masalah kewajiban sosial terhadap masyarakat, maka cara baku untuk pengembangan akuntansi yang dapat diterima oleh seluruh umat sesuai dengan sifat yang rahmatan lil 'alamin ajaran Islam adalah dengan cara memperluas konsep dasar sistem zakat.
Oleh karena orientasi social akuntansi syariah dibebankan pada perluasan konsep zakat, maka kias (metafora) organisasi akuntansi harus dirujukkan pada orientasi zakat, bukan lagi pada orientasi lab atau shareholders oriented. Inilah yang lebih lanjut dikatakan oleh Triyuwono sebagai organisasi bermetaforakan amanah.
Orientasi zakat mengandung pengertian luas dan komprehensif. Sebab zakat bukan sekedar dinyatakan dalam bentuk angka-angka persentase, akan tetapi melalui zakat dapat diketahui kinerja perusahaan. Yaitu semakin tinggi zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan berarti semakin besar laba yang diperoleh perusahaan.
Secara lebih tegas mengenai penggunaan kiasan (metafora) zakat, menurut Triyuwono (1997, 25) terdapat lima makna realitas organisasi yaitu:
- Ada transformasi dari pencapaian laba bersih (yang maksimal) ke pencapaian zakat
- Karena yang menjadi tujuan adalah zakat, maka segala bentuk operasi perusahaan (akuntansi) harus tunduk pada aturan main (rules of game) yang ditetapkan dalam syariah
- Zakat mengandung perpaduan karakter kemanusiaan yang seimbang antara karakter egoistic dan altruistic/ sosial
- Zakat mengandung nilai emansipatoris
- Zakat adalah jembatan penghubung antara aktivitas manusia yang bersifat duniawi dan ukhrowi.
Dengan demikian jelas, bahwa kiasan (metafora) akuntansi syariah harus dibangun dengan memperhatikan makna zakat, sebagai suatu orientasi sosial. Dan salah satu pengejawantahannya adalah terpenuhinya hak-hak redistribusi keuntungan yang diperoleh perusahaan kepada masyarakat, perusahaan sebagai organisasi dengan metafora amanah dan zakat sebagai realisasinya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis sangat tertarik untuk mendalami lebih jauh mengenai akuntansi zakat pada Baitul Mal Wattamwil yang disandarkan pada prinsip-prinsip syariah. Sebagai studi kasus untuk melakukan analisa terhadap akuntansi zakat pada Baitul Mal Wattamwil penulis memilih sebuah Baitul Mal Wattamwil yang memiliki perkembangan cukup pesat baik secara nasional dan khususnya dalam skala lokal di Jawa timur, Baitul Mal Wattamwil Maslahah Mursalah lil Ummah (BMT MMU) Sidogiri, Pasuruan. Perkembangan pesat tersebut ditunjukkan oleh perkembangan jumlah omset yang terus bertambah setiap tahunnya. Omset pada tahun 2000 mencapai Rp. 6.174 miliar. Tiga tahun kemudian (2003), omsetnya berkembang lebih dari 6 kali lipat sehingga mencapai Rp. 42.333 miliar, dan per september 2005 jumlah omsetnya telah mencapai sekitar Rp. 170 miliar. Oleh karena itu penulis mengambil judul " Analisis Perlakuan Akuntansi Zakat pada Baitul Mal Wattamwil : Studi Kasus Baitul Mal Wattamwil MMU Sidogiri"
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan, rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana perlakuan akuntansi atas zakat pada Baitul Mal Wattamwil berdasarkan prinsip-prinsip syariah?
No comments:
Post a Comment