BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada formulasi konsep dasar teori akuntansi, Paton dan Littelon mengungkapkan konsepnya, salah satunya adalah mengenai konsep Continuity Activity, yang menyatakan bahwa pada dasarnya suatu perusahaan berdiri dengan anggapan akan hidup sepanjang masa dan tidak akan pernah mati. Anggapan tersebut didasarkan pada kondisi normal bahwa suatu perusahaan tidak didirikan untuk usaha-usaha sporadik jangka pendek, sehingga bila hal yang diinginkan hanya tercapai kemudian dilikuidasi. Karena likuidasi bukan merupakan harapan dari suatu perusahaan pada umumnya dan sebaliknya bahwa kontinuitas usahalah yang diharapkan, maka akuntansi bersandar pada kondisi perusahaan normal atau yang umum dijumpai.
Namun kenyataan banyak perusahaan setiap saat mengalami kemacetan likuidasi, kebangkrutan. Kebangkrutan perusahaan ini disebabkan oleh faktor ekstern seperti bencana alam dan kondisi perekonomian umum yang menimpa suatu sektor industri secara bersamaan atau pada suatu wilayah geografis tertentu. Seperti halnya yang dialami kalangan bisnis di Indonesia akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain faktor ekstern tersebut juga bisa disebabkan oleh faktor intern perusahaan.
Kebangkrutan secara kronologi dapat dipisahkan menjadi dua dimensi yaitu ekonomis dan finansial. Dari segi ekonomi, suatu perusahaan dianggap gagal apabila mempunyai return yang negatif atau dengan kata lain tidak adanya keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Sedangkan secara finansial suatu perusahaan dikatakan gagal apabila pertama, jika perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutangnya pada saat tanggal jatuh tempo meskipun aktiva total melebihi kewajiban sehingga perusahaan dianggap gagal keuangan dan kedua jika total kewajiban melebihi nilai wajar dari aktiva totalnya sehingga perusahaan tersebut dinyatakan pailit.
Pada tahun 1998 negara Indonesia mengalami krisis moneter, dimana banyak sekali perusahaan yang kena dampak atas masalah ini. Hasil survey yang dilakukan Asian Development Bank (ADB), Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Booz-Allen & Hamilton, World Bank, dan Pricewaterhouse Coopers yang menyimpulkan bahwa salah satu faktor penyebab krisis ekonomi di Indonesia adalah tidak dipenuhinya syarat-syarat pengelolaan korporasi yang memadai. Penyebabnya, pertama, intervensi eksternal yang menganggap dunia usaha sebagai sapi perah dan, kedua, lemahnya sistem manajerial dan moral hazard manajer untuk memanfaatkan celah (loopholes).
Dampak yang paling nyata dari krisis ini adalah meningkatnya biaya produksi yang mengakibatkan banyak perusahaan mengalami keterpurukan hingga ada yang sampai pada kebangkrutan. Adapun contoh perusahaan tersebut adalah Perusahaan Otomotive, Perusahaan Real Estate, Perusahaan Food And Bavarage, dan salah satunya Perusahaan Textile.
Keadaan krisis yang berkepanjangan ini banyak berpenguh pada kelangsungan hidup perusahaan textile, baik yang Go Publik terlebih lagi perusahaan textile yang bersekala kecil. Pada masa ini perusahaan textile yang Go Publik masih lebih baik karena mereka biasanya mempunyai anak cabang dan mendapatkan pinjaman modal yang besar, sehingga kebangkrutan mereka lebih kecil kecuali ada permasalahan intern perusahaan seperti penyalahgunaan keuangan atau masalah ekstern seperti bencana alam. Berbeda dengan perusahaan yang bersekala kecil, sebagai contoh 70 perusahaan textile kecil dan menengah di Bandung berhenti beroperasi karena tidak mampu bersaing dengan produk garmen dari Cina dan Taiwan.
Sebab kebangkrutan industri tekstile memang beragam salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Basri (2003) menengarai salah satu penyebabnya adalah tidak kondusifnya iklim usaha industri tekstil di Indonesia. Sebagai contoh, tingginya berbagai pungutan yang telah mengakibatkan produk tekstil Indonesia tidak kompetitif di pasar internasional. Menurut Harsiwi dan Sulis (2006) salahsatu faktor yang telah mengakibatkan industri tekstil mengalami kesulitan adalah kecurangan keuangan yang terjadi dalam industri tekstil. Penelitian menggunakan data-data sekunder berupa laporan keuangan (annual report) perusahaan tekstil yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Penelitian ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa keuangan dan dihitung dengan menggunakan modified jones model (Dechow et al., 1995). Hasilnya, ditemukan bukti bahwa selama periode pengamatan industri tekstil cenderung melakukan rekayasa keuangan dengan pola kenaikan laba (income incresing), yang secara signifikan mempengaruhi kinerja industri itu. Secara teoritis, upaya rekayasa ini tidak mungkin dilakukan perusahaan dalam jangka panjang. Ada saat dimana perusahaan tidak mampu lagi melanjutkan kecurangannya itu yang mengakibatkan perusahaan bersangkutan akan mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Oleh sebab itu ada kemungkinan runtuhnya industri tekatil nasional juga disebabkan kecurangan keuangan yang selama ini dilakukannya.
Menurut Wakil Ketua API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) Jabar Ade Sudradjat (Pikiran Rakyat Cyber Media, 2006), kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti tingginya inflasi, lebih merupakan penyebab utama untuk mempertegas buruknya iklim usaha yang berlangsung. Setidaknya di industri tekstil sudah banyak yang merasakan sejak tahun 2001 dengan adanya pabrik-pabrik yang tutup. Jadi, industri tekstil mau tidak mau masih harus menggunakan BBM yang sudah tidak efisien untuk proses produksi dengan harga saat ini. Selain itu, kinerja lembaga Bea dan Cukai yang sejak lama begitu buruk, merupakan sumber distorsi yang juga tak kunjung membaik. Lemahnya kerja bea dan cukai ini membuat industri tekstil kehilangan daya saing terus- menerus. Negara produsen tekstil yang mempunyai empat musim bisa memasukkan barang bekas musim panas ke negara tropis dengan harga 10% saja.
Akibatnya, pasar domestik Indonesia saat ini sebesar 70% dikuasai produk- produk impor. Malah menurutnya berbagai busana yang dijual FO (factory outlet) baik di Bandung, Jakarta, maupun Surabaya didominasi barang ekspor hingga 95%.
Ketidakmampuan bersaing perusahaan textile lokal dangan asing juga disebabkan oleh rendahnya suku bunga pinjaman dinegara-negara tersebut. Di Negara Taiwan dan Cina suku bunga kredit dapat mencapai 5-6 persen per tahun, sedangkan di Indonesia pernah mencapai 18-20 persen. Selain dikarenakan krisis ekonomi yang berkepanjangan bangkrutnya perusahaan textile juga disebabkan dihapusnya kuota ekspor dan produk tekstil.
Manajemen perusahaan yang efektif tentu tidak dapat menunggu sampai perusahaan mengalami kebangkrutan total baru kemudian mengambil tindakan. Analisis prediksi kebangkrutan baik secara internal maupun eksternal dapat digunakan untuk mengenali lebih awal tanda-tanda kebangkrutan. Pada umumnya analisa untuk mengetahui tingkat kesehatan dan keberhasilan kinerja perusahaan adalah analisis internal, yaitu dengan cara melakukan analisis terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan setiap tahunnya yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi dan laporan laba ditahan. Analisa internal dapat dilakukan melalui 2 metode, yaitu metode univariate dan metode multivariate. Metode univariate, memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan rasio keuangan secara terpisah, sedangkan metode multivariate menggunakan rasio-rasio keuangan secara simultan salah satunya adalah metode yang dikembangkan oleh Altman yang dikenal dengan Z-score melalui penggunaan analisis diskriminan. Dari nilai Z-nya, berdasarkan titik cut-off yang dilaporkan Altman. Suatu perusahaan dapat dikelompokkan ke dalam salah satu klasifikasi perusahaan sehat, sehat tapi rawan kebangkrutan ataupun sebagai perusahaan yang diprediksikan bangkrut.
Sebetulnya sektor textile mempunyai kiat usaha yang cukup luas, karena banyak dibutuhkan oleh masyarakat, namun jika hal ini tidak mendukung, maka akan mengakibatkan perusahaan tersebut bangkrut. Dalam hal ini perlu kiranya dilakukan suatu analisa yang dapat dijadikan sebagai suatu pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan yang antisipatif.
Dari evaluasi penerapan analisis diskriminan Altman terhadap perusahaan textile yang listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ), menunjukkan sebagia besar di perusahaan tersebut termasuk dalam klasifikasi perusahaan yang diprediksikan bangkrut, baik yang masih tergolong perusahaan sehat tapi rawan kebangkrutan maupun perusahaan sehat karena memiliki nilai Z yang semakin cenderung menurun tiap tahunnya yang berarti memungkin untuk bangkrut, karena semakin banyak masalah keuangan yang dihadapi.
Persoalan utama yang umumnya dihadapi oleh perusahaan yang diprediksikan bangkrut berdasarkan analisis rasio finansial adalah masalah rendahnya likuiditas. Krisis likuiditas ini menyebabkan kegiatan operasional perusahaan menjadi terganggu dan perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban yang jatuh tempo. Atas dasar tersebut para calon investor maupun kreditor harus bisa menganalisis kemampuan suatu perusahaan untuk terus melangsungkan hidupnya untuk masa depan.
Atas dasar itulah penulis merasa tertarik untuk meneliti potensi kebangkrutan perusahaan textile dengan menggunakan model Z-Score karena itulah peneliti memilih judul Analisa Diskriminan Model Altman (Model Z- Score) untuk Memprediksi Kebangkrutan Suatu Perusahaan (Studi Kasus pada Perusahaan Textile yang Go Publik di BEJ).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diberikan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah mengantisipasi kebangkrutan perusahaan dengan menggunakan analisis diskriminan (Z-Score) model Altman pada perusahaan textile yang terdaftar di BEJ selama tahun 2000-2004.
No comments:
Post a Comment