BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional merupakan mata rantai yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, dimana perdagangan internasional diwarnai oleh berbagai perubahan yang menyebabkan peningkatan kompetisi antar dunia. Hal tersebut ditandai adanya perdagangan bebas oleh AFTA pada tahun 2003, diikuti APEC pada tahun 2010 dan WTO pada tahun 2020. Tak pelak lagi, perusahan-perusahaan diseluruh dunia harus berfikir secara global untuk dapat turut bermain didalam kompetisi yang semakin tajam.
Perdagangan serta investasi yang bebas dan terbuka disamping merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk mencapai efisiensi dan peningkatan kesejahteraan penduduk Indonesia, sekaligus merupakan tantangan bagi perekonomian Indonesia. Dikatakan sebagai tantangan karena kondisi perekonomian Indonesia saat ini, pasca krisis moneter yang melanda di Indonesia dipertengahan tahun 1997, walaupun telah menunjukkan berbagai kemampuan yang berarti, namun masih belum cukup kuat untuk menghadapi persaingan dan ketergantungan internasional.
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, mengakibatkan suatu akibat yang buruk dan kurang menguntungkan bagi sebagian besar dunia usaha dalam bidang industri manufaktur, perdagangan, maupun jasa pelayanan, tidak terkecuali akibat tersebut dialami perusahaan yang bergerak dalam usaha industri food and beverage. Pada keadaan seperti sekarang ini, harga material atau bahan baku semakin tinggi, sehingga produktivitas perusahaan food and beverage semakin menurun, karena kesulitan mendapatkan sarana penunjang produksi, contohnya : bahan baku, sumber daya manusia, dan tekonologi.
Ditinjau dari minat konsumen, bahwa industri food and beverage diperkirakan sangat diminati konsumen dan tetap eksis ditengah krisis ekonomi dan moneter. Tetapi apabila ditinjau dari pangsa pasar, industri food and beverage tidak hanya dituntut bersaing didalam negeri saja. Dalam perkembangan sekarang ini, banyak muncul produk-produk baru baik dari dalam negeri maupun industri food and beverage datang dari luar negeri yang mampu tampil beda dari produk sebelumnya, baik mutu, harga, serta rasa.
Namun pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat. Sekalipun pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan, namun masih sangat bergantung pada kondisi yang menyebabkan pertumbuhan tidak dapat berkesinambungan. Untuk itu, agar perusahaan food and beverage dalam negeri, tidak kalah bersaing dengan perusahaan luar, penilaiannya tidak lepas dari perusahaan yang memiliki fundamental yang kuat. Bisa dikatakan, perusahaan seperti itu memiliki manajemen dan kinerja keuangan yang baik. Perusahaan masa depan adalah perusahaan-perusahaan yang selama bertahun-tahun mampu membukukan laba dan membagikan dividen bagi pemegang saham. Namun dalam kenyataannya setiap saat banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan, kemacetan likuiditas atau pembubaran.
Setiap perusahaan didirikan dengan harapan akan menghasilkan profit sehingga mampu untuk bertahan dalam jangka panjang yang tak terbatas. Hal ini berarti dapat diasumsikan bahwa perusahaan akan terus hidup dan diharapkan tidak akan mengalami likuidasi. Dalam praktek, asumsi seperti diatas tidak selalu menjadi kenyataan. Seringkali perusahaan yang telah beroperasi dalam jangka waktu tertentu terpaksa membubarkan diri karena mengalami kegagalan usaha (kebangkrutan). Untuk dapat mengidentifikasi tanda-tanda awal kebangkrutan, perusahaan perlu melakukan analisis kinerja. Semakin awal tanda-tanda tersebut diketahui, semakin baik bagi manajemen untuk bisa mengambil strategi untuk memperbaiki kinerja dengan segera. Pihak kreditur dan poemegang saham juga perlu mengidentifikasi tanda-tanda awal kebangkrutan supaya dapat segera mengambil keputusan investasi dan kredit untuk menghadapi kemungkinan terburuk berupa bangkrutnya perusahaan yang bersangkutan.
Analisis untuk memprediksi kesulitan keuangan perlu dilakukan karena hasil dari analisis tersebut sangat berguna bagi beberapa pihak, diantaranya: 1) Bagi pihak perusahaan dapat digunakan untuk melihat kinerja keuangannya dan jika terdapat tanda-tanda kesulitan keuangan yang mengarah pada kebangkrutan, pihak manajemen dapat mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan perusahaan, 2) Bagi pihak kreditor dapat dimanfaatkan sebagai alternatif analisis dalam pengambilan keputusan dapat tidaknya suatu poerusahaan menerima kredit, 3) Bagi investor dapat dijadikan sebagai tambahan pertimbangan dalam melakukan keputusan investasi (Aulia, 2003). Untuk lebih memperdalam suatu analisis prediksi kebangkrutan dan kesulitan keuangan perusahaan, beberapa model analisis telah dikembangkan oleh para peneliti. Antara lain model yang telah dikembangkan oleh Beaver (1966), Altman (1968,1973,1982,1993), Haldeman dan Nerayam (1997), Dambolena dan Khoury (1980), Ohlson (1980), Zmijewski (1984), Levitan dan Knoblett (1985), Zavgren (1988), Mc.Kee (1989), Blocher dan Loebbecke (1993), serata Hapwood, Mc.Keown, dan Mutchler (1999) (Setiawan, 2004). Dari beberapa model analisis prediksi kebangkrutan yang telah disebutkan di atas, peneliti merasa tertarik untuk menggunakan dua jenis model yaitu model analisis Altman (Model Z-Score) dan Zavgren (Model Logit).
Altman menggunakan lima rasio keuangan yang dianggap paling berkontribusi pada model prediksi kebangkrutan dengan menggunakan suatu model persamaan. Model ini dipilih karena tetap dapat diterima secara luas dan dari beberapa hasil penelitian model Altman sering digunakan dalam memprediksi kegagalan usaha. Sedangkan Zavgren (1985) mengembangkan model prediksi kebangkrutan dengan analisis logit, yang menghasilkan probabilitas kemungkinan kebangkrutan. Zavgren menggunakan model ini pada 45 perusahaan yang bangkrut dan non bangkrut , berdasarkan skala industri dan aset tertentu. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Zavgren model ini menghasilkan tingkat akurasi sebesar 82,2% untuk memprediksi kebangkrutan. Selain itu model Zavgren dipilih karena analisis ini lebih mudah digunakan dibandingkan teknik-teknik yang lain (Setiawan, 2004).
Penelitian sebelumnya mengenai model Altman dilakukan oleh Diyah Sari Kusuma (2001) pada delapan perusahaan metal yang terdaftar di BEJ dengan hasil diprediksikan satu perusahaan dalam kondisi sehat, dua perusahaan dalam kondisi rawan / kritis terhadap kebangkrutan, dan lima perusahaan dalam kondisi mengalami kebangkrutan Sedangkan penelitian dengan model Zavgren dilakukan oleh Puri Respanthi (2002) pada delapan perusahaan farmasi yang terdaftar di BEJ dengan hasil, diprediksikan dua perusahaan dalam kondisi sehat, empat perusahaan dalam kondisi rawan / kritis, dan dua perusahaan dalam kondisi mengalami kebangkrutan. Dengan melihat serangkaian uraian tersebut, penulis ingin mengidentifikasi kinerja keuangan perusahaan food and beverage yang terdaftar di BEJ periode 2002 -2004. Dengan melakukan pengamatan dan penelitian ini, penulis akan mencoba menempatkan perusahaan food and beverage tersebut pada golongan kondisi atau keadaan yang mencerminkan kinerja perusahaan, apakah ada kemungkinan perusahaan tersebut dalam kondisi kesulitan keuangan atau malah diambang kebangkrutan.
Penulis akan menganalisis kondisi keuangan perusahaan dengan menggunakan model Altman (Z-Score) dan Zavgren (Model Logit) yang dikembangkan dalam penelitian dengan judul: "Analisis Kebangkrutan Perusahaan dengan Menggunakan Model Altman (Z-Score) dan Zavgren (Model Logit) Pada Perusahaan food and Beverages".
1.2 Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat diidentifikasikasi peneliti adalah sebagai berikut:
- Bagaimana kondisi keuangan perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri food and baverage yang terdaftar di BEJ periode 2002 - 2004 menurut model Altman (Z-Score)?
- Bagaimana kondisi keuangan perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri food and baverage Yang terdaftar di BEJ periode 2002 - 2004 menurut Zavgren (Model Logit)?
- Metode mana menurut kedua analisis tersebut yang dapat memberikan peringatan yang lebih dini terhadap kondisi keuangan perusahaan?
No comments:
Post a Comment