BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Peranan Industri Kecil Menengah dalam Pembangunan Ekonomi
Perubahan tatanan perekonomian dunia ditandai oleh globalisasi yang tidak lagi mengenal batas wilayah atau negara dan munculnya kecenderungan pembentukan preferensi perdagangan antar negara sekawasan. Pada era globalisasi yang nantinya pasti bergulir, tentu akan menimbulkan berbagai konsekuensi dari dunia usaha tidak terkecuali dunia industri. Dalam era pasar bebas, tidak satupun negara yang mampu menghentikan lajunya arus barang dan jasa dari manca negara ke pasar domestik. Indonesia sebagai negara dengan penduduk kelima terbesar di dunia, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (sebelum krisis), pasti akan menjadi alternatif pasar yang menarik bagi barang dan jasa negara-negara maju maupun kawasan Asia sendiri.
Khususnya di dunia industri, hal ini memberikan konsekuensi logis bahwa produk industri kita harus mempunyai keunggulan kompetitif sekaligus komperatif untuk dapat ikut bersaing dengan produk luar negeri, baik di pasar domestik maupun luar negeri. Sebaliknya apabila produk industri kita tidak mempunyai keunggulan-keunggulan seperti tersebut diatas, lambat atau cepat dunia usaha industri kita akan tergilas oleh globalisasi tersebut.
Para ekonom menyebutkan adanya lima keadaan yang memungkinkan industri kecil bertahan terhadap persaingan yang datang dari industri besar (World Bank Staff Working Paper, dalam Nurhajati, 2003). Pertama, industri kecil tersebut bergerak dalam pasar yang terpecah-pecah (fragmented market). Dalam pasar yang demikian, fenomena skala ekonomi tidak terlalu penting, sehingga keuntungan yang diperoleh dari skala usaha tidaklah menonjol. Pasar semacam ini memiliki segmen-segmen konsumen yang sangat bervariasi. Kedua, industri kecil menghasilkan produk-produk dengan karakteristik elastisitas pendapatan negatif, artinya jika terjadi kenaikan pendapatan masyarakat, permintaan terhadap produk- produk tersebut cenderung turun, bukan sebaliknya. Ketiga, industri kecil mempunyai tingkat heterogenitas teknologi yang bisa digunakan. Dengan heterogenitas teknologi yang ada, usaha kecil dapat menghasilkan produk merupakan salah satu determinan terpenting untuk kelangsungan hidup usaha kecil. Keempat, industri kecil tergabung dalam suatu aglomerasi sehingga mampu memanfaatkan efisiensi kolektif, misalnya dalam pembelian bahan baku, pemanfaatan tenaga kerja terampil dan dalam hal pemasaran. Kelima, industri kecil diuntungkan oleh kondisi geografis, yang membuat produk-produk usaha kecil memperoleh proteksi alami karena pasar yang dilayani tidak terjangkau oleh inovasi produk-produk usaha berskala besar.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting keberadaan IKM (Berry, dkk, 2001 dalam Gunadi Barata). Pertama karena kinerja IKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, IKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan tekhnologi. Ketiga, adalah karena diyakini bahwa IKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas daripada usaha besar. Kuncoro (2000) juga menyebutkan bahwa industri kecil dan menengah di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Pulau Jawa boleh dikatakan merupakan " jantung " bagi IKM di Indonesia. Proporsi IKM di Pulau Jawa adalah sekitar 75% dari total tenaga kerja dan begitu pula dalam nilai tambah, peran IKM di Jawa sangat mengagumkan dan tak bisa diabaikan, dengan lebih dari 161.000 perusahaan, IKM di Jawa mewakili sekitar 66% unit usaha di seluruh Indonesia, jauh lebih tinggi daripada Industri Besar yang terhitung hanya 7%.
Di Jawa Timur (Burhan, dalam Nurhajati, 2003) menyatakan bahwa industri kecil mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian dilihat dari nilai tambah produksi, penyerapan tenaga kerja dan ekspor. Sembilan puluh delapan persen dari jumlah industri di Jawa Timur termasuk kategori industri kecil. Dilihat dari jumlah dan kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja serta beraneka ragamnya produk yang dihasilkannya, jelas bahwa peranan industri kecil di Jawa Timur sangat strategis dalam rangka pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Perkembangan industri kecil dan menengah di Jawa Timur menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, seperti terlihat pada tabel 1.2 berikut:
Tabel 1.1
Perkembangan Industri di Jawa Timur Tahun 2001 - 2004
NO | KLASIFIKASI INDUSTRI | 2001 | 2002 | 2003 | 2004 |
1 2 | Industri Besar dan Sedang Jumlah Perusahaan (unit) Nilai Investasi (milyar Rp) Jumlah Tenaga Kerja (orang) Nilai Produksi (milyar Rp) Industri Kecil & Kerajinan RT Jumlah Perusahaan (unit) Nilai Investasi (milyar Rp) Jumlah Tenaga Kerja (orang) Nilai Produksi (milyar Rp) | 13.971 10.630 896.027 8.773 609.421 575 1.338.968 1.687 | 14.257 10.789 924.250 9.130 622.226 595 1.382.264 1.758 | 14.400 10.894 938.552 9.315 628.448 604 1.402.560 1.791 | 14.602 11.590 962.250 9.889 639.257 648 1.442.672 1.886 |
Sumber : Disperindag Prop Jatim, (2005)
1.1.2 Konsentrasi Spasial IKM
Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah distribusi spasial IKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di pulau Jawa. Pada tahun 1996, sekitar 66% IKM di Indonesia berada di Jawa (Tabel 1.2). sejak terjadi krisis ekonomi, IKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68% dari seluruh unit usaha IKM yang ada di Indonesia. Dari lima propinsi di Jawa hanya DKI Jakarta yang mengalami penurunan, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung, selain propinsi-propinsi di Jawa hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang memiliki andil cukup tinggi dalam jumlah IKM.
Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial juga dilihat dari sisi tenaga kerja, Tabel 1.2 juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66% pada tahun 2000. sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16% pada tahun 2000.
Tabel 1.2
Distribusi Spasial IKM dan Rasio Pekerja di Indonesia Tahun 1996 - 2000
Pulau | Unit Usaha (%) | Pekerja (%) | ||||||
1996 | 1998 | 1999 | 2000 | 1996 | 1998 | 1999 | 2000 | |
SumateraJawa Bali&NusaTenggara Kalimantan Sulawesi Maluku&Papua | 16.4 65.9 4.9 5.0 6.7 1.1 | 16.2 66.2 5.0 5.0 6.5 1.1 | 15.0 67.9 5.2 5.0 6.4 0.4 | 14.9 67.7 5.8 4.8 6.5 0.3 | 17.0 64.6 5.1 5.2 6.8 1.3 | 17.3 64.5 5.2 5.2 6.5 1.3 | 16.0 66.1 5.3 5.6 6.6 0.4 | 15.6 66.0 6.1 5.5 6.5 0.4 |
100 | 100 | 100 | 100 | 100 | 100 | 100 | 100 |
Sumber : Barata (2003)
Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia. Masih menurut (Kuncoro dalam Barata, 2003) kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial.
1.1.3 Perkembangan Industri Kecil dan Menengah Alas Kaki Jawa Timur
Jawa timur memiliki lima kluster besar yang tersebar diseluruh Kabupaten dan Kota di Jawa Timur, yaitu industri agro dan makanan minuman, industri petrokimia, industri perhiasan, industri logam dan alat transportasi, serta industri alas kaki yang masing masing memberikan konstribusi terhadap PDRB Jawa Timur. Penelitian ini memfokuskan pada aglomerasi industri alas kaki karena ada beberapa alasan, pertama, Indonesia pernah dikenal negara eksportir alas kaki peringkat ketiga dunia, yang mana pada saat ini telah menurun menjadi peringkat delapan. Kedua, Bahan baku kulit mentah cukup tersedia dalam negeri dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi industri penyamakan kulit modern untuk mendukung industri alas kaki. Ketiga, industri alas kaki merupakan industri padat karya dimana tenaga terampil untuk industri ini relatif lebih mudah didapatkan. Keempat, kebutuhan dunia cukup besar sekitar US $ 39 Milyar, pangsa pasar Indonesia di pasar dunia baru sekitar 4% yang didominasi oleh sepatu olahraga dengan merk internasional (branded). Kelima, karena industri alas kaki memliki banyak keterkaitan dengan industri lainnya seperti industri kulit, karet, kertas. Selama periode 1998-2003 permintaan pasar dunia meningkat rata-rata 2,2% pertahun dan permintaan dalam negeri melampaui kenaikan rata-rata permintaan dunia, namun kemampuan penawaran cenderung menurun. Berdasarkan data tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa kemampuan menawarkan pasar masih sangat rendah dan kemampuan prediksi alas kaki pada umumnya tidak mampu mengikuti pertumbuhan permintaan pasar
Tabel 1.3
Potensi Alas Kaki Jawa Timur Tahun 2000 - 2004
Tahun | Jumlah Unit Usaha (Unit) | Nilai Investasi (Rupiah) | Nilai Produksi (Rupiah) | Jumlah Tenaga Kerja (Orang) |
2000 2001 2002 2003 2004 | 1.299 1.418 1.864 1.996 2.279 | 410.700.030.800 445.157.763.400 551.995.626.600 579.595.407.930 650.243.205.830 | 385.394.445.000 416.226.000.000 449.554.452.500 476.527.719.650 508.607.723.400 | 39.124 42.254 51.972 54.051 60.475 |
Sumber : Disperindag Jatim, (2005)
Kebutuhan alas kaki Jawa Timur dalam tahun 2004 diperkirakan sebanyak 72 juta pasang (dengan analog setiap penduduk membutuhkan 2 pasang alas kaki per tahun). Sementara itu produksi alas kaki Jawa Timur tahun 2004 sebanyak 126.697.897 pasang alas kaki. Sehingga ada kelebihan produksi sebanyak ± 54 juta pasang yang disalurkan/dipasarkan ke Propinsi lainnya terutama Indonesia Bagian Timur.
Tabel 1.4
Penyerapan Tenaga Kerja dan Banyaknya IKM Industri Alas Kaki Jawa Timur Tahun 2004
NO | Kabupaten / Kota | Tenaga Kerja | Jumlah Industri |
12 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 | Kab. PasuruanKab. Lamongan Kab. Bangkalan Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Ponorogo Kab. Nganjuk Kota Surabaya Kota Malang Kota Mojokerto Kab. Jombang Kab. Magetan Kab. Tulungagung Kota Kediri | 477 22 5 3447 745 7 10 49 67 665 62 230 20 6 | 27 3 1 493 29 1 1 3 3 83 3 27 1 1 |
Total | 5812 | 615 |
Sumber : Disperindag, Jatim (2004)
Dari tabel 1.4 diatas terlihat adanya ketimpangan pada penyebaran IKM alas kaki di Jawa Timur dari 14 Kabupaten/Kota yang memiliki IKM alas kaki hanya terkonsentrasi pada lima Kabupaten (Pasuruan, Sidoarjo, Magetan dan Kota/Kab Mojokerto) yang memiliki jumlah industri dan penyerapan tenaga kerja yang besar sedangkan selebihnya hanya dalam prosentase kecil jika dibandingkan dengan jumlah penyerapan tenaga kerja dan unit usaha pada lima Kab/Kota tadi.
No comments:
Post a Comment