BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia negeri agraris dengan kepu1auan yang membujur sepanjang garis katulistiwa, tidak kurang 17.000 pulau besar dan kecil menjadikan peta negeri ini. Selat, laut, dan Samudra menghubungkan pulau-pulau itu untuk membentuk satu negara kesatuan yang berdaulat, iklim tropika yang dipengaruhi oleh daratan benua Asia dan benua Australia mendatangkan curah hujan yang berlimpah di kurun waktu tertentu dalam setahun. Tumbuh ribuan jenis tanaman yang menjadi kekayaan Indonesia dan mewujudkan habitat tropika basah, masyarakat dunia sangat berkepentingan dengan sumber daya alam ini baik untuk mempertahankan atmosfer dunia maupun untuk kepentingan berlanjutnya kehidupan dan pembangunan masyarakat dunia.
Disamping memiliki sumberdaya alam yang cukup besar (baik yang berupa flora-fauna yang makro dan mikro maupun mineral yang berupa bahan bakar dan bijih, bahkan yang masih primer) Indonesia memiliki sumber daya manusia yang besar. Kedua sumber daya itu merupakan potensi bagi Indonesia untuk mampu mengupayakan pembangunan berkelanjutan, agar pembangunan dapat di gerakkan secara optimal untuk jangka waktu lima tahun diformulasikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan menuangkan langkah pembangunan di segala bidang baik material ataupun spiritual kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita). Arah pembangunan ekonomi Indonesia menggunakan landasan Trilogi Pembangunan yang isinya pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan hasil pembangunan. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia guna menciptakan keselarasan. keserasian dan keseimbangan antara mewujudkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Selain itu pembangunan harus merata di segenap tanah air bukan hanya dinikmati oleh golongan tertentu saja dari masyarakat, tetapi harus benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia sebagai perbaikan tingkat hidup yang berkeadilan sosial. Dalam pembangunan pemerintah Indonesia di antaranya melaksanakan strategi pembangunan secara bertahap dimana setiap tahap berlangsung selama lima Tahun atau bisa disebut PELITA, pelaksanaan PELITA yang dilaksanakan secara bertahap tersebut tertuang dalam APBN untuk skala nasional atau APBD pada tingkat daerah dan pada cakupan yang Iebih khusus lagi seiring dilaksanakannya program otonomi daerah PAD juga mampu dijadikan sebagai indikator untuk memproyeksi pembangunan daerah.
Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh program pembangunan nasional (Propenas 2000-2004) dan sejalan dengan GBHN 1999-2004 adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperluas landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran itu Propenas menggunakan sejumlah indikator yang mencakup antara lain pertumbuhan ekonomi yang meningkat, inflasi terkendali, menurunkan tingkat pengangguran, dan menurunnya jumlah penduduk miskin.
Suatu negara dapat diketahui bagaimana tingkat kemakmurannya melalui Produk Dornestik Bruto Per Kapita (PDB Per Kapita) yang ada dinegara tersebut. berikut ini adalah data Produk Domestik Bruto Per Kapita Indonesia 1995-2003 atas dasar harga konstan (1993).
Tabel 1.1
PRODUK DOMESTIK BRUTO PER KAPITA
TAHUN 1995-2003 (Ribu Rupiah)
TAHUN | PDB perkapita Harga Konstan 1993 |
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 | 1,983,6 2,102,6 2,212,6 1,874,8 1,870,3 1,933,6 1,971,1 2,013,9 2,065,8 |
Summer : BPS, Lap ran Perekonomian Indonesia 2003
Data Diolah Dalam Ribuan
Dari data diatas dapat diketahui bahwa tiap tahun terjadi peningkatan dengan baik, namun pada tahun 1998-1999 telah terjadi penurunan akibat adanya krisis yang terjadi di beberapa negara termasuk negara indonesia, pada tahun 2000 mulai mengalami peningkatan bertahap sampai tahun 2003. Pembangunan jangka panjang tahap pertama yang dilaksanakan pemerintah telah berakhir yang selanjutnya diikuti oleh pembangunan jangka panjang kedua. Dari sudut pandang ekonomi pembangunan jangka panjang ini pada dasarnya adalah upaya mempercepat proses transformasi struktural dari ekonomi tradisional menuju ekonomi modern.
Tabel 1.2
LAJU PERTUMBUHAN PRODUK DOMESTIK BRUTO ATAS DASAR
HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA
TAHUN 1999-2003 ( Persen)
No | Lapangan usaha | 1999 | 2000 | 2001 | 2002 | 2003*) |
1 2 3 4 5 6 7 8
9 | Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Pesewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa | 2.16 -1.62 3.92 8.27 -1.91 -0.06 -0.75 -7.19 1.94 | 1.88 5.51 5.98 7.56 5.64 5.67 8.59 4.59 2.33 | 1.68 1.30 3.13 8.17 4.42 3.66 7.80 5.40 3.14 | 2.01 2.25 3.43 6.00 4.86 3.81 8.03 5.73 2.13 | 2.48 0.46 3.50 6.82 6.70 3.74 10.69 6.28 3.44 |
Produk Domestik Bruto | 0.79 | 4.92 | 3.45 | 3.69 | 4.10 |
Sumber : BPS, laporan perekonomian Indonesia Tahun 2003 (data diolah dalam persen)
Catatan : *) Angka Sementara
Laju pertumbuhan ekonomi indonesia pada tahun 2003 semakin membaik di banding tahun 2002, hal ini dapat dilihat berdasarkan perhitungan PDB atas dasar harga konstan 1993 laju pertumbuhan ekonomi indonesia adalah sebesar 4.10 persen, nilai PDB atas dasar harga konstan 1993 pada tahun 2002 adalah 426,9 triliun rupiah dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 444,5 triliun rupiah. Keseluruhan sektor ekonomi pada PDB tahun 2003 mencatat pertumbuhan yang positif, bila diurutkan pertumbuhan PDB menurut sektor ekonomi dari yang tertinggi sampai yang terendah maka pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 10,69 persen, diikuti oleh sektor Listrik, Gas, dan Air bersih sebesar 6.82 persen. Sektor ekonomi ketiga tertinggi pertumbuhannya adalah sektor Bangunan yaitu sebesar 6,70 persen, keempat sektor Keuangan. Peersewaan dan Jasa perusahaan yaitu sebesar 6,28 persen, kelima sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 3,74 persen. Berikutnya adalah sektor Industri Pengolahan, sektor Jasa-jasa, sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan Penggalian masing-masing sehesar 3,50 persen, 3,44 persen, 2,48 persen, dan 0,46 persen. Dan data diatas jelas terlihat bahwa sektor pertanian telah mengalami penurunan dalarn memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) selama tahun 2000-2001. namun pada tahun selanjutnya telah kembali mengalami peningkatan yang diakibatkan adanya kemajuan tehnologi yang mengakibatkan jumlah produksinya meningkat, sehingga laju pertumbuhan sektor tersebut mengalami juga peningkatan.
Untuk mencapai suatu pertanian yang maju, efisien, dan tangguh sehingga makin mampu meningkatkan dan menganekaragamkan hasil, meningkatkan mutu dan derajat pengolahan produksi, dan menunjang pembangunan dapat dilakukan dalam bentuk Diversifikasi, lntensifikasi, dan Ekstensifikasi pertanian yang penyelenggaraannya di upayakan lebih terpadu dan disesuaikan dengan kondisi tanah, air, dan iklim, pola tata ruang, serta upaya pelestarian lingkungan hidup. Lapangan usaha pertanian sangat dominan dalam penyerapan tenaga kerja, kegiatan produksi lapangan usaha pertanian sebagian besar masih mengikuti pola tradisional dengan tingkat produktifitas dan tingkat pendidikan tenaga kerjanya masih sangat rendah. Walaupun dengan karakteristik seperti ini karena perannya masih sangat dominan dalam menyerap tenaga kerja maka pengembangan lapangan usaha ini masih perlu diprioritaskan dalarn perencanaan pembangunan terutama untuk mengurangi jumlah penduduk yang menganggur akibat tidak tertampung pada sektor lain, berikut ini data tentang Penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan dan jenis kelamin (Tahun 2000 dan 2001).
Tabel 1.3
PENDUDUK YANG BEKERJA MENURUT LAPANGAN PEKERJAAN
DAN JENIS KELAMIN, TAHUN 2000
Lapangan pekerjaan | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
Pertanian Industri Bangunan Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa Lainnya | 24,600 6,723 3,357 9,685 4,364 627 5,648 435 | 16,076 4,919 141 8,804 190 255 3,926 87 | 40,677 11,642 3,497 18,489 4,554 883 9,574 523 |
jumlah | 55,439 | 34,399 | 89,838 |
Sumber : BPS, Sakernas Tahun 2000 ( Data Diolah Dalam Ribuan Orang)
Selama tahun 2000 lapangan usaha pertanian mempunyai peran yang sangat strategis bagi ketenaga kerjaan Indonesia, dimana pada tahun 2000 dari 89.838.000 orang yang bekerja sekitar 40.677.000 orang atau 45,28 persen diantaranya telah bekerja pada sektor pertanian (60,28 persen laki-laki dan 39,52 persen perempuan) serta sisanya tersebar di berbagai sektor lainnya.
Tabel 1.4
PENDUDUK YANG BEKERJA MENURUT LAPANGAN PEKERJAAN
DAN JENIS KELAMIN, TAHUN 2001
Lapangan pekerjaan | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
Pertanian Industri Bangunan Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa Lainnya | 24,750 6,954 3,725 8,991 4,279 852 6,671 910 | 14,994 5,113 112 8,478 169 276 4,332 181 | 39,744 12,086 3,838 17,469 4,448 1,128 11,003 1,091 |
Jumlah | 57,131 | 33,676 | 90,807 |
Sumber : BPS, Sakernas Tahun 2001 (Data Diolah Dalam Ribuan Orang)
Namun pada tahun 2001 dari jumlah penduduk yang bekerja 90.807.000 orang telah mengalami penurunan menjadi 39.744.000 orang atau 43.77 persen (62.27 persen laki-laki dan 37,73 persen perempuan) yang bekerja pada sektor pertanian, dari sini kita bisa mengetahui meskipun penduduk yang bekerja pada sektor ini jumlahnya semakin turun namun sektor pertnian masih merupakan sektor yang merupakan penyerap tenaga kerja tertinggi. Implikasi kebijaksanaan dari fakta ini jelas adalah tidak realistis jika lapangan usaha pertanian diabaikan dalam kerangka perencanaan pembangunan makro, lebih dari itu lapangan usaha pertanian terbukti paling lentur dan telah menjadi semacam katup pengaman bagi "kelebihan" tenaga kerja di sektor formal bukan pertanian yang mengalami pukulan keras dan krisis ekonomi. Penyerapan tenaga kerja ini tidak akan dapat direalisasikan apabila kebijakan, strategi, dan program pengembangan lapangan usaha pertanian tidak berbasis ketenaga kerjaan. Kebijaksanaan dan strategi itu menghendaki dipertahankannya konsep padat karya (labour intensive) dengan dukungan berupa kemudahan untuk rnengakses modal bagi petani penggarap serta sejumlah peraturan yang diarahkan pada peningkatan kegiatan produksi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Dalam beberapa tahun terakhir sektor pertanian kembali menjadi pusat perhatian nasional sebagai landasan pemulihan ekonomi yang sedang berada dalam titik nadir perkembangannya. Perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia saat ini belum menunjukkan hasil yang maksimal dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional, penurunan kemampuan lahan yang drastis dan persaingan global menyebabkan petani terpuruk ditambah dengan beban ekonomi perkotaan dari sektor industri. Sebenarnya penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional dan pangsa tenaga kerja nasional merupakan proses alamiah biasa dalam perekonomian yang sedang mengalami tranformasi struktural, penurunan kontribusi sektor pertanian tersebut berhubungan dengan transformasi struktural sektor perekonomian. Jika suatu negara tidak menghendaki penurunan kontribusi sektor pertanian maka biaya-biaya yang diperlukan untuk penyesuaian dalam perekonomian akan sangat tinggi (Arifin, 2001: 9).
Pada tahun 2001 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 3,4 persen lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDB tahun 2000 sebesar 4,8 persen. Tingkat pertumbuhan tersebut masih belum cukup untuk menyerap tenaga kerja yang ada, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, kondisi ketenaga kerjaan juga belum banyak menyerap tenaga kerja yang tersedia. Sejak tahun 2002 sesungguhnya perekonomian Indonesia mulai menunjukkan perbaikan yang signifikan, tingkat pertumbuhan menjadi 4 persen sampai dengan 5 persen per tahun yang berarti bahwa peningkatan ini akan membawa dampak yang baik pada penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Pertumbuhan sektor pertanian akibat kebijakan pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan mengakibatkan kontribusinya pada PDB menurun drastis dari tahun ke tahun. Sektor pertanian mencakup beberapa subsektor yaitu Tanaman Pangan, Tanaman Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan. Selama hampir tiga dasawarsa terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami penurunan
Di tengah tuntutan ketidak puasan daerah terhadap penyelenggaraan pemerintah sentralistik tuntutan otonomi daerah semakin kuat. Menyikapi hal ini pemerintah menetapkan perangkat konstitusi herupa UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun pada tahun 2004 kedua Undang-Undang tersebut telah direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 34 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan kewenangan yang ada didaerah mencakup sebelas aspek yaitu: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Adapun pemerintah pusat masih memegang kewenangan pada: politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kebijakan strategis: perencanaan nasional, pengawasan dan standarisasi.
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang pokok pemerintahan daerah menekankan bahwa titik berat otonomi ada pada Kabupaten/Kota dengan pertimbangan Kabupaten/Kota yang Iangsung berhubungan dengan keadaan masyarakat, sehingga diharapkan lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat daerah bersangkutan. Menurut Undang-Undang diatas, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum dibatasi oleh wilayah tertentu berhak berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, suatu daerah disebut daerah otonom apabila memiliki atribut sebagai berikut:
1. Mempunyai urusan tertentu yang disebut urusan rumah tangga daerah, urusan rumah tangga daerah ini merupakan urusan yang disatukan oleh pemerintah pusat kepada daerah.
2. Urusan rumah tangga daerah diatur dan diurus atau diselenggarakan atas inisiatif atau prakarsa dan kebijaksanaan daerah sendiri.
3. Untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah tersebut, maka daerah memerlukan aparatur yang terpisah dari aparatur pemerintah pusat yang mampu untuk mnyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat atau pemerintah propinsi.
4. Mempunyai sumber keuangan daerah sendiri yang dapat menghasilkan pendapatan yang cukup bagi daerah agar dapat membiayai segala kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga daerahnya.
Melihat kondisi Kabupaten Malang yang cocok digunakan untuk lahan bercocok tanam maka berpotensi sekali untuk mengembangkan atau memajukan sektor petanian. Hal ini dapat dilihat dari hasil produksi pertanian dari tahun ke tahun masih menjadi sektor unggulan dan memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian Kabupaten Malang di bandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian sebagai penghasilan terbesar merupakan salah satu sektor yang mendukung naiknya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Malang.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah salah satu bentuk penyajian data yang bisa menggambarkan struktur perekonomian daerah pada tahun yang bersangkutan. Sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap PDRB daerah Kabupaten Malang, dari data BPS Kabupaten Malang disebutkan bahwa sejak beberapa tahun kebelakang sektor pertanian merupakan sektor terbesar sumbangannya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Malang. Sehubungan dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah oleh pemerintah pusat maka Kabupaten Malang telah melakukan banyak perubahan dalam upaya meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berbagai sektor telah mengalami perubahan khususnya pada sektor pertanian, sehingga hal inilah yang melatar belakangi penulis menyusun skripsi dengan judul "ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) DI KABUPATEN MALANG (Periode 2000-2004)"
No comments:
Post a Comment