TIPOLOGI WAJIB PAJAK PPh 21 DI KANTOR PELAYANAN PAJAK TULUNGAGUNG

 On 27 April 2009  

BAB I


PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang


Seiring dengan perubahan waktu, pembangunan di Indonesia membutuhkan dana yang semakin besar. Pengelolaan APBN yang berimbang dan dinamis, mengkondisikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan harus sesuai dengan adanya penurunan penerimaan negara dari sektor migas. Untuk itu usaha peningkatan penerimaan dalam negeri di luar migas menjadi penting. Salah satunya adalah penerimaan dari sektor pajak. Sektor pajak merupakan pilihan yang tepat karena jumlahnya relatif stabil dan dapat dijadikan sebagai instrument untuk memacu partisipasi masyarakat serta mendistribusikan pembangunan. Pajak juga merupakan sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resource) sesuai dengan perkembangan ekonomi yang nantinya akan dikembalikan lagi ke masyarakat luas dalam bentuk lain.


Dari tahun ke tahun, penerimaan dari sektor pajak terus menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan realisasi penerimaan pajak untuk beberapa tahun terakhir yang cukup signifikan. Dengan adanya kenaikan realisasi tersebut maka dapat dijadikan daya pacu bagi Ditjen Pajak untuk melaksanakan tugas yang diemban dari negara secara optimal dalam hal perpajakan.



Gambar 1


Berikut ini adalah grafik realisasi penerimaan pajak Tahun 2000-2005




Dari grafik di atas dapat kita lihat perkembangan sektor pajak dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2000 penerimaan pajak mencapai Rp 115.951,5 milyar. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 185.540,9 milyar di tahun 2001, tahun 2002 mencapai Rp 210.087,5 milyar dan tahun 2003 sebesar Rp 242.048,1 milyar. Untuk tahun 2004 sebesar Rp 280.897,6 milyar dan terus mengalami peningkatan di tahun 2005 yaitu sebesar Rp 346.819,2 milyar.


Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, sistem pemotongan dan pemungutan pajak di Indonesia khususnya pada Pajak Penghasilan (PPh) menganut sistem self assessment. Sistem pemungutan pajak ini memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajaknya. Tulang punggung dari sistem ini adalah voluntary compliance dari masyarakat, tinggi rendahnya compliance masyarakat akan mempengaruhi jumlah penerimaan pajak yang pada giliran berikutnya berpengaruh pada jumlah dana yang tersedia untuk pembangunan negara.


Sejak reformasi perpajakan, kinerja penerimaan pajak secara umum meningkat secara konsisten. Yang menjadi pertanyaannya apakah keberhasilan ini merupakan indikasi dari suksesnya penerapan sistem self assessment yang mengandalkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak ataukah faktor lain. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Rochmat Soemitro (Harahap, 2004:44):


Bahwa keberhasilan sistem self assessment akan ditentukan oleh (i) kesadaran pajak dari wajib pajak,(ii) kejujuran wajib pajak, (iii) tax mindedness yaitu hasrat untuk membayar pajak dan (iv) tax discipline.


Menurut pendapat ini bahwa bertambahnya jumlah wajib pajak yang disebabkan oleh meningkatnya kepatuhan masyarakat merupakan wujud dari tingginya kesadaran hukum masyarakat. Lebih spesifik lagi dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran wajib pajak sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat pemahaman mereka terhadap ketentuan perpajakan. Selain itu dengan adanya proporsi yang tepat antara pajak dengan pendapatan Wajib Pajak dapat meningkatkan jumlah pembayar pajak. Jika peningkatan penerimaan pajak ini disebabkan oleh kian membaiknya kesadaran dan kepatuhan wajib pajak, maka reformasi perpajakan itu sungguh-sungguh berhasil dan sejalan dengan konsep yang dicanangkan. Namun jika peningkatan itu disebabkan oleh faktor lain yang tidak terkait dengan persoalan kepatuhan wajib pajak dan pemahaman yang cukup Wajib Pajak tentang peraturan perpajakan maka keberhasilan itu akan sulit dicapai pada masa-masa selanjutnya.


Tax compliance Indonesia saat ini masih dibawah 50 % dari Wajib Pajak yang terdaftar, selain itu jumlah Wajib Pajak yang ada jika dibandingkan dengan


penduduk Indonesia saat ini masih relatif kecil. Dengan jumlah Wajib Pajak 5.385.491 (WP Badan, OP, PPh Psl 21,PPN, dan Bendaharawan) dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta orang, potensi pajak sebenarnya masih sangat besar. Hal ini disebabkan beberapa faktor internal Wajib Pajak misalnya kurangnya kesadaran  Wajib Pajak terhadap kewajiban dirinya sebagai warga negara dalam memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kurangnya pemahaman mengenai peraturan perpajakan dan juga proporsi yang tidak tepat antara jumlah pajak dengan pendapatan Wajib Pajak.


Kantor Pelayanan Pajak Tulungagung merupakan salah satu instansi pemerintah yang bernaung di bawah Departemen Keuangan yang menangani masalah perpajakan baik penerimaan pajak maupun sebagai tempat penyampaian SPT.  Daerah yang termasuk dalam wilayah pajak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tulungagung adalah Blitar, Tulungagung serta Trenggalek. Penerimaan pajak di wilayah tersebut selalu mencapai target yang ditetapkan terutama Pajak penghasilan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pula penerimaan negara dari sektor pajak. Tetapi dengan melihat potensi yang dimiliki wilayah Tulungagung seharusnya masih dapat dioptimalkan. Berikut ini merupakan salah satu tabel  target dan realisasi Pajak Penghasilan tahun 2005 yang menunjukkan bahwa penerimaan Pajak Penghasilan telah mencapai target.


Tabel 1


Target dan Realisasi Pajak Penghasilan Tahun 2005


Di KPP Tulunggagung



























































NO. JENIS PAJAK TARGET REALISASI
1.PPh 2124.554.120.00032.810.536.919
2.PPh Pasal 228.399.870.0005.468.631.534
3.PPh Pasal 22 Impor577.030.000630.727.405
4.PPh Pasal 236.511.340.0003.327.190.662
5.PPh Pasal 25/29 OP2.374.030.0002.140.973.777
6.PPh Pasal 25/29 Badan6.926.430.0006.247.872.332
7.PPh Pasal 2615.700.000-
8.PPh Final dan Fiskal Luar Negeri38.928.930.00024.078.806.719

Di sini Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap jumlah penerimaan  sektor pajak di wilayah KPP Tulungagung bila dibandingkan dengan jenis pajak lain. PPh 21 menyumbangkan penerimaan lebih besar karena pajak tersebut diperoleh dari para pegawai. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tersebut merupakan obyek Pajak Penghasilan, dan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut dipotong oleh pemberi kerja dan diatur dalam pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan.  Dengan adanya faktor intenal Wajib Pajak yang dapat menyebabkan penerimaan pajak tidak optimal maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai pengemban tanggung jawab penerimaan pajak tersebut di tuntut untuk bekerja semaksimal mungkin. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan seperti meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya, penyempurnaan sistem perpajakannya dan peningkatan pemahaman wajib pajak mengenai pajak. Dengan dasar pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengambil topik tentang "Tipologi Wajib Pajak PPh 21 Di Kantor Pelayanan Pajak Tulungagung"


1.2. Rumusan Masalah


Mendeskripsikan tipologi yang merupakan faktor-faktor internal Wajib Pajak PPh 21 di Kantor Pelayanan Pajak Tulungagung?


TIPOLOGI WAJIB PAJAK PPh 21 DI KANTOR PELAYANAN PAJAK TULUNGAGUNG 4.5 5 Win Solution 27 April 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perubahan waktu, pembangunan di Indonesia membutuhkan dana yang semakin besar. Pengelo...


Skripsi Lengkap (bab 1-5 dan daftar pustaka) untuk judul diatas bisa dimiliki segera dengan mentransfer dana Rp300ribu Rp200ribu. Setelah proses pembayaran selesai skripsi dalam bentuk file/softcopy langsung kita kirim lewat email kamu pada hari ini juga. Layanan informasi ini sekedar untuk referensi semata. Kami tidak mendukung plagiatisme. Cara pesan: Telpon kami langsung atau ketik Judul yang dipilih dan alamat email kamu kirim ke 089 9009 9019

Kami akan selalu menjaga kepercayaan Anda!

No comments:

Post a Comment

Jurnalskripsitesis.com. Powered by Blogger.

Blog Archive