BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Malang yang telah dikenal oleh masyarakat luas sebagai kota pendidikan dengan banyaknya perguruan-perguruan tinggi yang ada di sana. Namun pada perkembangannya, hingga saat ini isu-isu kota malang sebagai kota mode setelah Bandung juga semakin diperkuat dengan semakin maraknya pendirian toko-toko fashion terutama distro (Distribution Outlet) clothing seperti Realizm, Perfect Cone, Inspired, Bandung Sport, The Reds, Sport Mania dan masih banyak lagi yang lain (Amel et. al:2006).
Konsep Distribution Outlet clothing yang lebih dikenal dengan sebutan distro tersebut merupakan jenis usaha ritel yang menyediakan berbagai pakaian casual, jaket, rok, pakaian-pakaian berbahan dasar jeans serta beraneka assesoris baik merek-merek non lokal maupun lokal seperti produk yang didatangkan dari Bandung dan lebih mengkhususkan segmen mereka pada kebutuhan anak-anak muda dan mahasiswa.
Dengan berlokasi di kota Malang, usaha-usaha distro ini diprediksi akan memiliki prospek yang baik dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Pangsa pasar di kota Malang yang cukup luas khususnya dari kalangan mahasiswa. Hal ini dikarenakan Malang sebagai kota pendidikan yang memiliki sejumlah perguruan tinggi ternama, Perguruan tinggi negeri termasuk Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, STAIN Malang (sekarang Universitas Islam Negeri Malang), serta terdapat cabang Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN). Beberapa perguruan tinggi swasta terkemuka diantaranya Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Merdeka, Universitas Gajayana, dll. (Wikipedia kota Malang:2003) dan "dengan pembeli 90% dari kalangan mahasiswa" dari seluruh omzet penjualan mereka (Amel et. al:2006).
2. Aneka kebutuhan fashion yang selalu melekat pada manusia yang akan terus ada dan berkembang. Sebagaimana definisi fashion yang dikemukakan oleh Levy Michael dan Barton (2004:139) "fashion is a type of product or away of behavioring that is temporarily adopted by a large number of consumer because the product or behavior is considered to be socially appropriate for the time and place," yang dapat diambil pengertian bahwa fashion merupakan sebuah tipe produk atau sejauh mana perilaku yang secara sementara waktu digunakan oleh sejumlah besar konsumen karena produk atau perilaku dinilai oleh masyararakat layak/pantas pada tempat pada waktu dan tempat tertentu.
3. Gaya hidup anak muda yang secara mayoritas mereka adalah para pecandu fashion (fashionholic), (Amel et. al:2006).
Bandung Sport sebagai salah satu distro yang ada di kota Malang juga dinilai mampu mencuri minat anak-anak muda kota Malang yang menginginkan busana fashionable dan mengkhususkan produk-produknya dari Bandung dengan merek lokal. Konsep toko yang mengkhususkan pada produk bermerek lokal pada distro tersebut ternyata dapat menghasilkan omzet yang cukup bagus dan membuat usaha tersebut terus berekspansi ke beberapa kota di luar Malang (Majalah Pengusaha :2006).
Sebagaimana telah digambarkan di atas, bahwa bisnis distro pakaian merupakan bidang bisnis yang patut dan layak untuk terus dijalankan. Namun pada kenyataannya tidak semua pebisnis ritel yang memfokuskan usahanya pada produk-produk fashion dapat berjalan mulus dalam memasarkan produknya searah dengan harapan dan prospek pasar yang telah ada.
Dari sudut pandang pemasaran, salah satu hal yang menjadi indikator penyebabnya adalah karena kebijakan-kebijakan pemasaran yang dibuat para peritel masih belum efektif dalam memberikan pengaruh kepada para konsumen sasarannya serta merangsang atau meningkatkan pembelian baik yang bersifat terencana maupun impulsif.
Hal tersebut terjadi karena para peritel belum benar-benar memahami perilaku para konsumennya, sebagaimana pernyataan tentang fenomena pemasaran yang telah dikemukakan oleh Kotler (Terjemahan, 2003:11) mengenai kebutuhan pelanggan bahwa "perusahaan dapat mendefinisikan pasar sasaran tetapi gagal memahami kebutuhan pelanggan secara akurat." Upaya pemahaman terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan sendiri bukanlah merupakan permasalahan yang bisa dipandang sederhana karena beberapa pelanggan memiliki kebutuhan yang tidak sepenuhnya mereka sadari.
Kotler (Terjemahan, 2003:13) mengutarakan bahwa kebutuhan merupakan tuntutan dasar manusia, seperti orang membutuhkan makan, udara, air, pakaian dan tempat berlindung untuk bisa bertahan hidup. Sedangkan kebutuhan akan menjadi keinginan bila diarahkan ke objek tertentu yang mungkin dapat memenuhi kebutuhan tesebut dan permintaan sendiri adalah keinginan akan produk tertentu yang didukung kemampuan untuk membelinya dan pelanggan berperilaku guna memaksimalkan nilai. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemasar selain harus dapat membaca kebutuhan konsumen, dia juga harus dapat memahami apa yang menjadi keinginan para konsumennya sehingga terwujud permintaan.
Adanya pengaruh perspektif experiental sebagaimana dikemukakan Sutisna (2003:17) tentang proses pengambilan keputusan pembelian adalah "bahwa banyak tindakan yang dihasilkan dari adanya kebutuhan manusia pada perasaan-perasaan dan emosinya" yang pada akhirnya akan menghasilkan dua jenis tipe pembelian yaitu purchase impulse dan variety seeking. Dari hal tersebut terdapat faktor perasaan dan emosi yang dapat dijadikan celah bagi para peritel sekaligus nilai tambah yang dapat dia berikan kepada pelanggannya ketika berbelanja di toko ritelnya.
Banyak hal yang harus dicermati oleh para peritel dalam memahami bagaimana para konsumennya berperilaku, dan faktor apa saja yang berpengaruh terhadapnya. Termasuk adanya fenomena mengapa konsumen lebih tertarik untuk mengunjungi distro atau toko tertentu, dapat menghabiskan waktu berbelanja lebih lama dan pada akhirnya memutuskan untuk membeli pakaian pada distro tersebut.
Dengan memperhatikan gejala tersebut, penulis berpandangan bahwa komponen atmospherics pada toko yang terdiri dari: tata ruang, suara, bau, tekstur dan desain bangunan yang diatur/dimanipulasi sedemikian rupa agar suasana toko dapat menyampaikan pesan tertentu sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku pembelian konsumen (John C. Mowen dan Michael M, Terjemahan, 2001:139). Atmospherics sebagai alat komunikasi pemasaran yang didesain sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen serta sebagai upaya pemahaman perilaku konsumen pada toko ritel dalam rangka merangsang keinginan berbelanja dengan menawarkan nilai kepada pelanggan melalui komponen tersebut. Maka judul yang dapat diambil dan sekaligus menarik untuk diteliti adalah "Analisis Pengaruh Komponen Atmospherics Terhadap Perilaku Pembelian Konsumen pada distro Bandung Sport Malang."
Variabel-variabel atmospherics yang dipertimbangkan dalam mempengaruhi perilaku pembelian konsumen adalah variabel tata ruang, suara, bau, tekstur dan desain bangunan, dengan memilih para pengunjung yang melakukan pembelian di distro Bandung Sport Malang sebagai subjek penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh peneliti, maka rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah:
- Apakah variabel-variabel komponen atmospherics secara simultan berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian konsumen?
- Apakah variabel-variabel komponen atmospherics secara parsial berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian konsumen?
- Dari variabel-variabel atmospherics, variabel manakah yang berpengaruh paling dominan terhadap perilaku pembelian konsumen?
No comments:
Post a Comment