ABSTRACTION
The business competitions of handset operator cellular in Indonesia are very competitive right now. It makes Telkomsel not only depend on product differentiation and price leader, which is easy to follow. Brand that have a several positive association will create a positive brand image in the consumer mind.
The purpose of this research is to analyze which one from brand association attribute that devoted in consumer mind, so it will give an information to Telkomsel about the harmonious between brad identity of Telkomsel and brand image that create from several brand association.
The object of this research is student of Economic Faculty at Brawijaya University that use Telkomsel's product. Based on Slovin formula, the sample amount is 97 respondences. The sampling techniques that used in this research is non probability sampling that all sorts of accidental sampling. The analyze methods that used in the research is Cochran test (K related sampling).
Based on Cochran test, there are 10 brand association variable of Telkomsel that create their brand image, which are the most innovative and completely features, varieties, have a number of series, using high technology, produce by innovative, successful, and consumer orientation company. It means that there are positive gap between brand identity of Telkomsel and their brand image. Therefore they have to maintain it so that consumer won't switch to other cellular card. 1
1 Key words: Brand Association, Brand Image, and Brand Identity
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Era globalisasi telah membawa dampak yang cukup besar bagi dunia usaha, diantaranya adalah perkembangan teknologi yang sangat pesat, perubahan sifat pasar dari sellers market menjadi buyers market sehingga konsumen menjadi semakin berkuasa di pasar, dan semakin ketatnya persaingan bisnis. Oleh karena itu para pelaku bisnis harus merumuskan strategi bisnis yang sekiranya dapat mengatasi dampak-dampak tersebut. Hal ini perlu dilakukan demi kelangsungan hidup bisnis yang mereka kelola dan kembangkan. Kemajuan teknologi, memberikan peluang kepada setiap pihak untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang sama baiknya dan dengan harga yang sama kompetitifnya, sehingga produk yang beredar di pasar umumnya relatif mirip dan sulit untuk dibedakan. Guna mengatasinya para produsen berusaha untuk mendiferensiasikan produknya melalui pengembangan dan perbaikan standar kualitas produk secara terus-menerus, dan berusaha menekan biaya produksi sedapat mungkin, sehingga harga jual produk nantinya masih terjangkau. Namun ditengah situasi persaingan yang sangat ketat dan sifat pasar yang telah berubah, hanya mengandalkan diferensiasi kualitas dan harga sebagai modal keunggulan kompetitif tidaklah cukup, apalagi kedua strategi tersebut mudah ditiru oleh pesaing maka dibutuhkan strategi lain yang tidak bisa ditiru dan dapat mendukung keduanya.
Merek, memang merupakan komponen kecil dari kebijakan produk dan seringkali hanya dianggap sebagai sekedar nama atau tanda untuk mengidentifikasi suatu produk, tetapi siapa yang mengira ternyata dapat dijadikan atribut kompetitif yang cukup tangguh apabila dikelola secara tepat dan sungguh-sungguh. Merek mengandung nilai-nilai yang bersifat intangible, emosional, keyakinan, harapan, serta sarat dengan persepsi pelanggan, sehingga sulit untuk ditiru oleh pesaing (Freddy Rangkuti, 2002:xi). Sementara itu, Hermawan Kertajaya (2003:1-3) menyatakan bahwa beberapa produk dengan kualitas, model, serta features yang relatif sama, dapat memiliki kinerja yang berbeda di pasar karena perbedaan persepsi di benak konsumen. Pembentukan persepsi ini dapat dilakukan melalui jalur merek. Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Selain itu, jika kualitas dapat memberikan manfaat fungsional kepada konsumen, maka merek dapat memberikan tambahan manfaat lagi yang sifatnya emosional dan berhubungan dengan psikologis konsumen, seperti prestice, keyakinan, harapan, kebanggan, dan lain-lain. Maka dari itu menempatkan merek sebagai salah satu komponen dari aset keunggulan bersaing, disamping kualitas dan harga adalah sangat tepat. Apalagi jika produsen dapat mengelola ketiganya secara tepat, maka akan terdapat semacam sinergi yang saling mendukung diantara ketiganya.
Meskipun merek dapat dijadikan sebagai atribut kompetitif, namun bukan berarti semua merek dapat melakukannya. Hanya merek-merek tangguh dan yang mempunyai brand value tinggi saja yang dapat melakukannya. Karena merek-merek tersebut mampu mengkomunikasikan bahwa suatu produk memiliki distictive customer satisfaction, yaitu kepuasan pelanggan yang hanya diberikan oleh produk itu sendiri dan tidak diberikan oleh produk lain. Merek tersebut juga mampu memberikan pedoman, jaminan, kekuatan, keyakinan, dan harapan kepada pelanggan bahwa mereka akan terpuaskan. Maka dari itu tidak mengherankan jika saat ini, konsumen seringkali menjadikan merek sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam memilih produk. Mereka bahkan tidak segan-segan membayar mahal untuk membeli sebuah merek, karena merek tersebut dapat mengasosiasikan cerminan kualitas yang bermutu tinggi dari produk bersangkutan, atau karena dengan memiliki merek tersebut konsumen merasa gengsinya terangkat. Perilaku pembelian yang seperti itu seringkali ditemukan pada produk sejenis kosmetik, produk-produk fashion, elektronik, kendaraan, dan lain sebagainya. Akan tetapi membangun merek yang mempunyai daya tarik kuat dimata konsumen, memperoleh kepedulian, penerimaan, dan preferensi yang tinggi dari konsumen tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun, komitmen yang kuat, serta dukungan dari seluruh komponen dari bauran pemasaran untuk membangunnya menjadi merek yang prestisius dan berekuitas tinggi.
Suatu merek dapat dikatakan sebagai merek yang berekuitas, apabila merek tersebut mampu memberikan tambahan nilai pada suatu produk, sehingga nilai total produk menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang dinilai semata-mata secara obyektif. Menurut David A. Aaker (1991:16), merek yang berekuitas memiliki 5 dimensi, yaitu kesadaran merek (brand awareness), kualitas yang dirasakan (perceived quality), asosiasi merek (brand association), loyalitas merek (brand loyalty), dan aset merek lainnya (other proprietary asset). Kelima dimensi dari ekuitas merek tersebut memiliki kedudukan dan arti yang sama pentingnya bagi perusahaan yang memiliki merek bersangkutan, karena dapat dijadikan keunggulan kompetitif dan komparatif perusahaan.
David A. Aaker (1996:326-329) menyatakan bahwa brand association (asosiasi merek) merupakan dimensi dari ekuitas merek yang mencerminkan adanya diferensiasi terhadap fisik produk, pelayanan, maupun saluran. Asosiasi merek merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek suatu produk, misalnya McD yang dapat dikaitkan dengan ingatan akan karakter sosok Ronald McDonald. Sedangkan serangkaian asosiasi merek yang dipersepsikan oleh konsumen disebut sebagai brand image (citra merek). Asosiasi merek memberikan nilai bagi perusahaan maupun konsumen, antara lain membantu proses penyusunan informasi dalam membedakan merek yang satu dengan merek yang lain, membantu proses keputusan dalam pembelian suatu produk, merangsang perasaan positif terhadap produk yang bersangkutan, dan sebagai landasan perluasan merek. Asosiasi merek mempunyai 3 elemen, yakni perceived value (nilai yang dirasakan), brand personality (kepribadian merek), dan organization association (asosiasi organisasi). Ketiga elemen tersebut mencerminkan bahwa asosiasi merek bermaksud menampilkan nilai dari suatu produk yang bersangkutan, mulai dari nilai kualitas fisik produk, nilai emosional yang terdapat pada elemen kepribadian merek, dan citra organisasi atau perusahaan yang memproduksi produk tersebut.
Menurut salah seorang pakar merek terkemuka, Paul Temporal (2001:51-52) bahwa asosiasi merek sebenarnya merupakan reaksi atau tanggapan yang diberikan oleh konsumen terhadap janji-janji yang terkandung dalam brand identity (identitas merek) suatu produk. Brand identity sendiri diartikan sebagai nilai-nilai kepribadian yang ditanamkan oleh perusahaan terhadap produknya, sehingga produk tersebut mempunyai identitas yang unik. Karena itu perusahaan yang ingin sukses dalam membangun mereknya harus senantiasa menjaga keselarasan antara brand identity dan brand image yang dimiliki oleh produknya.
Dalam sebuah artikel di Majalah SWA (edisi09/29 April-12 Mei 2004), yang ditulis oleh Sudarmadi, dinyatakan bahwa bisnis kartu telepon selular di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan ini merupakan pengaruh positif yang diperoleh dari kemajuan teknologi. Semaraknya bisnis kartu telepon selular ini dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan alat komunikasi jarak jauh guna menunjang segala kegiatan. Kartu telepon selular sudah merambah ke berbagai lapisan masyarakat, tanpa mempedulikan profesi, umur, dan status sosial sebagai piranti lunak telepon selular. Berangsur-angsur kartu telepon selular menjadi kebutuhan yang biasa dan tidak lagi menjadi barang mewah yang tidak tergapai.
Wabah kartu telepon selular yang sedemikian hebat, memberikan angin segar pada pengusaha bisnis telekomunikasi. Mereka semakin agresif dalam menggarap pasar. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya perusahaan yang masuk ke bisnis ini, antara lain Telkom, Telkomsel, Indosat, XL-Comindo, Mobile-8 dan masih banyak lagi. Pangsa pasar kartu telepon selular memang terus mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, pada tahun 2004 penjualan kartu telepon selular mencapai 850.000 unit, pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 1.950.000 unit, bahkan di tahun 2006 tumbuh sebesar 25% dengan pertumbuhan pasar sebesar 35%, dengan 3,5 juta unit kartu telepon selular yang terjual. Jumlah tersebut diprediksikan masih akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang (http://www.sinar harapan.com).
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh lembaga riset pemasaran independen, AC Nielsen diketahui bahwa pada tahun 2006, Indosat dengan produk "Mentari"-nya menduduki peringkat pertama dalam perolehan pasar sebesar 43,5%, disusul XL-Comindo dengan produknya "Pro-XL" 24,7%, Telkomsel dengan produknya "Simpati" 16,8%, dan Indosat dengan produknya yang lain yaitu "Matrix" 12% (http://www.sinar harapan.com). Sedangkan pada tahun 2005, Telkomsel akhirnya dapat merajai market share di Indonesia dengan perolehan sebesar 51%, Indosat 15%, XL-Comindo 13%, LippoTelekom dan Mobile_8 sebagai pemain baru masing-masing 12% dan 5% (Taufik Hidayat, Swa edisi 24/xx/25 November-8 Desember 2005). Untuk tahun 2006 Telkomsel masih tetap menjadi market leader dengan market share sebesar 68,7%, Indosat 11,6%, XL-Comindo 9%, Mobile-8 6,3%, LippoTelekom 3%, dan lainnya 1,4% (www.Frontier.com).
Posisi market leader yang selama beberapa kurun waktu terakhir ini dipegang oleh Telkomsel, dapat dikatakan sebagai buah manis dari strategi human technology yang dirumuskannya. Adapun maksud dari strategi tersebut adalah bahwa Telkomsel tidak ingin mengasosiasikan produknya sebagai produk dengan teknologi yang canggih, meskipun sebenarnya Telkomsel menggunakannya. Telkomsel lebih memilih menggunakan pendekatan emosional dalam mengasosiasikan produknya, misalnya dengan mempersepsikan produknya sebagai teknologi yang mempermudah hidup, jangkauan yang luas, dan kejernihan suaranya. Atmosfer yang sangat emosional dan kental dengan sisi kemanusiaan ini bisa kita dapati dari beberapa iklannya dan juga tagline-nya yang berjuluk "Telkomsel, Dari Telkomsel Begitu Dekat Begitu Nyata". Telkomsel ingin menghadirkan nuansa baru dalam teknologi berkomunikasi, yakni teknologi yang mengerti kita, bukan kita yang harus mencoba mengerti teknologi (Hermawan Kertajaya, 2003:8-10).
Strategi bisnis Telkomsel dalam memenangkan persaingan di pasar kartu telepon selular, memang patut diacungi jempol. Indosat yang selalu mencitrakan produknya sebagai kartu telepon selular berpulsa murah, bahkan sempat memimpin pasar, dilibas begitu saja oleh Telkomsel. Begitu pula dengan XL yang selalu mengasosiasikan produknya sebagai inovator dalam jenis kartu telepon selular, harus menyerah pada Telkomsel karena dari segi features, XL kalah inovatif dan kurang lengkap dibanding Telkomsel, bahkan tertinggal jauh.
Bertitik tolak dari ilustrasi diatas, maka perlu diketahui atribut-atribut asosiasi merek (brand association) manakah yang melekat dalam benak pengguna kartu telepon selular Telkomsel. Kemudian dapat diketahui juga apakah sudah terdapat keselarasan antara brand identity yang dibangun Telkomsel dengan brand image yg dipersepsikan oleh pengguna Telkomsel.
1.2. Perumusan Masalah
- Manakah diantara atribut-atribut dari brand association (asosiasi merek) Telkomsel yang melekat di benak pengguna kartu telepon selular produk Telkomsel ?
- Apakah terdapat keselarasan antara brand image Telkomsel yang dipersepsikan oleh pengguna kartu telepon selular Telkomsel dengan brand identity yang telah dibangun oleh Telkomsel ?
1.3. Tujuan
- Mengetahui dan menganalisis atribut-atribut brand association Telkomsel yang melekat dibenak pengguna kartu telepon selular Telkomsel.
- Mengetahui dan menganalisis keselarasan antara brand image Telkomsel yang dipersepsikan oleh pengguna kartu telepon selular Telkomsel dengan brand identity yang telah dibangun oleh Telkomsel.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Bagi penulis
Mengadakan perbandingan antara teori dengan praktek, mengembangkan kemampuan berpikir analitis dan kritis dalam menyikapi masalah nyata yang ada didunia usaha.
b. Bagi perusahaan
Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu mengetahui dan menciptakan brand identity yang dapat melekat kuat dalam ingatan pengguna Telkomsel, sehingga nantinya akan dihasilkan brand image yang sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan.
c. Bagi pihak lain
Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan untuk menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang tertarik pada bidang ini.
No comments:
Post a Comment