BALANCED SCORECARD: PERKEMBANGAN DAN APLIKASINYA PADA ORGANISASI NIRLABA (Kajian Teoritis pada Pemerintah Daerah dan Universitas)

 On 24 April 2009  


BAB I


PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Penelitian


Manajemen merupakan pemain utama dalam suatu kegiatan organisasi. Berhasilnya tidaknya suatu organisasi untuk berkembang ada di tangan seorang manajer. Merekalah yang menentukan arah perusahaan. Terlebih jika perusahaan itu adalah perusahaan go public dimana terdapat pemisahan antara pemilik modal dan pihak manajemen. Manajemen adalah pihak yang mengelola dan menjalankan perusahaan. Mereka  dipercaya dan diberi wewenang untuk mengelola sumber daya yang diinvestasikan ke dalam perusahaan oleh pemilik. Manajemen bertugas menjalankan kegiatan bisnis perusahaan. Konsekuensi dari hal ini adalah pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang tersebut secara periodik kepada pemilik.


Siagian (2001:31-43) menyebutkan seorang manajer memiliki tiga peranan dalam sebuah perusahaan. Yaitu, peranan yang bersifat interpersonal, peranan yang bersifat informasional, dan peranan sebagai pengambil keputusan. Peranan yang bersifat interpersonal timbul karena pentingnya manajemen memelihara hubungan dengan berbagai pihak di dalan dan di luar perusahaan. Pemeliharaan hubungan ini bersifat formal dan informal. Menurut teori manajemen peranan yang bersifat interpersonal biasanya tampak dalam tiga bentuk, yaitu peranan yang seremonial dan sosial, peranan sebagai atasan,serta peranan sebagai penghubung.


Dalam peranannya yang bersifat informasional manajemen dituntut memiliki kemampuan yang tinggi untuk memilih informasi yang diperlukan guna mendukung penyelenggaraan berbagai kegiatan manajerialnya. Berkaitan dengan hal ini manajemen diharapkan mampu memainkan paling sedikit tiga peranan dalam penanganan dan pemanfaatan informasi, yaitu sebagai pemantau informasi, penanggung jawab penyebarluasan informasi, dan sebagai juru bicara perusahaan.


Seorang manajer merupakan pengambil keputusan dalam sebuah organisasi. Salah satu kriteria keberhasilan para manajer memimpin suatu perusahaan ialah kemampuan dan kecekatannya mengambil keputusan yang efektif. Demikian pentingnya kemampuan dan kecekatan itu sampai para pakar sering menekankan bahwa kepemimpinan ialah pengambilan keputusan. Karena itu perlu pemahaman yang tepat tentang berbagai bentuk peranan yang harus dimainkan oleh kelompok manajemen selaku pengambil keputusan yang pada dasarnya berkisar pada peranan selaku wirausahawan, peredam krisis, penentu pembagian sarana, prasarana, dana, dan daya untuk digunakan oleh bawahan serta perunding atas nama perusahaan.


Mengingat begitu krusialnya peran seorang manajer bagi perusahaan maka diperlukan adanya suatu metode untuk menilai kinerja mereka secara periodik. Hasil penilaian kinerja ini bisa dijadikan dasar bagi pemilik perusahaan dalam menentukan kebijakan menyangkut posisi para manajernya juga kelanjutan usahanya.


Dalam penelitian Lawson et al (2003) menunjukkan bahwa penggunaan alat pengukuran kinerja manajerial sebagai salah satu alat pengendalian manajemen mengurangi biaya overhead sekitar 25% dan meningkatkan penjualan serta laba. Penelitian lain seperti de Waal (2003) dan Sandt et al (2001) menemukan  adanya manfaat tak berwujud dari penggunaan sistem pengukuran kinerja. Dumond (1994) dan Sandt et al (2001) menyarankan bahwa penggunaan alat pengukuran kinerja manjerial yang seimbang membantu meningkatkan proses pengambilan keputusan manajer dan karyawan. Lawson et al (2003) dan Dumond (1994) bahwa penggunaan sistem pengukuran kinerja yang berhubungan dengan scorecard untuk dasar kompensasi secara signifikan meningkatkan kepuasan karyawan.


Penilaian yang biasanya digunakan adalah penilaian menggunakan perspektif keuangan. Baik-buruknya kinerja seorang manajer dilihat dari seberapa besar keuntungan yang dihasilkannya untuk perusahaan. Jika tingkat labanya tinggi maka manajer kerjanya dianggap baik. Tetapi jika profitabilitasnya rendah maka seorang manajer dianggap buruk kinerjanya.


Metode penilaian kinerja menggunakan laporan keuangan memang cara termudah dalam menilai kinerja manajemen. Metode yang digunakan biasanya digunakan adalah dengan melihat tingkat profitabilitas, ROI, maupun EVA. Tetapi pengukuran yang hanya mengandalkan pada ukuran-ukuran keuangan tidaklah cukup dan faktanya dapat menjadi disfungsional karena beberapa alasan. Pertama hal itu dapat mendorong tindakan jangka pendek yang tidak sesuai dengan kepentingan jangka panjang perusahaan. Kedua, manajer unit bisnis mungkin tidak mengambil tindakan yang berguna untuk jangka panjang, guna memperoleh laba jangka pendek. Ketiga, menggunakan laba jangka pendek sebagai satu-satunya tujuan dapat mendistorsi komunikasi antara manajer unit bisnis dengan manajer senior. Dan terakhir, pengendalian keuangan yang ketat dapat memotivasi manajer untuk memanipulasi data (Anthony dan Govindarajan, 1997).


Karena itulah mulai dikembangkan pengukuran-pengukuran kinerja yang tidak hanya mengacu pada ukuran keuangan. Salah satu yang dikembangkan adalah penilaian dengan menggunakan Balanced Scorecard. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton pada tahun 1992. Balanced Scorecard menggunakan perspektif keuangan dan perspektif non-keuangan. Disini unit bisnis harus diberikan cita-cita dan diukur dari empat perspektif, yaitu:




  1. Keuangan (contoh: margin laba, ROI, arus kas)

  2. Pelanggan (contoh: pangsa pasar, indeks kepuasan pelanggan)

  3. Bisnis internal (contoh: retensi karyawan, pengurangan waktu siklus)

  4. Inovasi dan pembelajaran (contoh: persentase penjualan dari produk baru)


Balanced Scorecard memelihara keseimbangan antara ukuran-ukuran strategis yang berbeda dalam suatu usaha mencapai keselarasan cita-cita, sehingga dengan demikian mendorong karyawan untuk bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik organisasi. Ini merupakan alat yang membantu fokus perusahaan, memperbaiki komunikasi, menetapkan tujuan organisasi, dan menyediakan umpan balik atas strategi (Anthony dan Govindarajan, 1997). Dan pada perkembangannya BSC tidak hanya sekedar sebuah penilaian kinerja tapi juga alat manajemen strategi.


Sejak kemunculannya Balanced Scorecard (BSC) telah banyak diadopsi oleh berbagai perusahaan di dunia. Berdasarkan hasil riset dari beberapa penelitian ditemukan bahwa pada tahun 2001 sekitar 44% perusahaan di seluruh dunia telah menggunakan BSC dengan rincian 57% perusahaan di Inggris, 46% di Amerika Serikat, dan sebanyak 26% di Jerman dan Austria. Pada penelitian oleh Bain & Company juga memperlihatkan bahwa dari 708 perusahaan di lima benua sebanyak 62% telah menggunakan Balanced Scorecard (Hendricks et al, 2004).  Survey lain di Amerika Serikat oleh majalah Fortune mengestimasikan bahwa 60% dari 1000 perusahaan telah mencoba menggunakan BSC. Survey pada perusahaan Finlandia juga memperlihatkan 31% dari responden memiliki beberapa macam jenis sistem BSC dan 30% mengeimplementasikan satu macam saja (Silk, 1998 dalam Hallman, 2005).


Malmi (2001) menemukan bahwa 17 perusahaan Finlandia menggunakan BSC dalam 2 sistem, yaitu pertama organisasi menggunakannya sebagai management by objective system dan yang kedua untuk sistem informasi manajemen. Malmi juga menemukan hanya dua dari ketujuh belas perusahaan itu yang menambahkan perspektif baru pada perspektif asli BSC yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton. Kedua perusahaan itu adalah perusahaan jasa dan menambahkan perspektif karyawan. Perspektif karyawan ini banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan Swedia (Olve et al, 1999).


Walau telah terbukti memiliki begitu banyak keunggulan, masih banyak kritik terhadap BSC. Salah satunya mengenai matrik BSC dan hubungan kausalitasnya yang dianggap belum jelas. Dalam hal implementasinya pun BSC masih ditolak oleh beberapa perusahaan karena dianggap tidak memiliki dampak positif bagi perusahaan. Hal ini berdasarkan penelitian akademisi Austria yang melakukan survey terhadap 174 perusahaan Jerman yang hasilnya menunjukkan sebanyak  8% menyatakan menolak menggunakan BSC (Speckbacher et al, 2003). Selain itu hanya ada sedikit bukti bahwa BSC memberikan tambahan nilai ekonomis pada perusahaan yang mengimplementasikannya. Pendekatan yang dilakukan Kaplan (1999) menunjukkan fakta statistik kesuksesan perusahaan yang menggunakan BSC dan yang tidak.


Tabel 1


Effectiveness of Perfomance Measurement (PM) System


Question                                       Users      Overall     Non-BSC Adopter        BSC Adopter


Effectivenes of current PM system      2.08           1.74                     2.62                                2.92


PM supports business objectives          2.02           1.65                    2.60                                 2.92


1=Poor   2=Less than adequate    3=Adequate    4=Good   5=Very Good    6=Excellent


Data dipresentasikan oleh Kaplan dan Norton (1999) dalam Hallman (2005)


Dari tabel di atas dapat dilihat meski BSC memberikan tingkat efektifitas pengukuran kinerja yang lebih tinggi. Tetapi perbedaan antara pengguna dan bukan penggunan BSC tidak signifikan. Keduanya masih dalam rentang penilaian yang sama.


Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan kesuksesan sebuah perusahaan mengimplementasikan BSC. Davis dan Albright (2004) dalam Hallman (2005) dalam studi percobaannya terhadap bank di Amerika Serikat menemukan bukti kinerja keuangan yang superior ketika membandingkannya dengan cabang yang tidak mengimplementasikan BSC. Masih dalam Hallman (2005) juga diperoleh hasil dari penelitian Banker et al (2000) yang studinya pada hotel menunjukkan sebuah hubungan yang jelas antara pengukuran kinerja keuangan dan non-keuangan.



Tapi banyak studi lain yang gagal menunjukkan hubungan langsung antara penggunaan BSC dan keuntungan ekonomis meski mereka dapat menunjukkan dalam kasus-kasus yang lain dan pernyataan non-kausalitas bagaimana BSC bekerja dengan baik, seperti dalam tabel Kaplan dan Norton di atas.


Ittner dan Larcker (2003) telah melakukan beberapa studi untuk mengidentifikasi keuntungan finansial dari penggunaan sistem semacam BSC. Dalam studinya di perusahaan jasa keuangan di Amerika Serikat mereka mengambil kesimpulan bahwa perusahaan yang menggunakan pengukuran non-keuangan secara umum memiliki tingkat pengembalian pasar yang tinggi. Walau begitu mereka tidak menemukan bukti BSC, pengukuran nilai ekonomi, dan model bisnis kausalitas memiliki asosiasi dengan kinerja ekonomi, meskipun secara jelas sekali itu berasosiasi dengan tingginya kepuasan sistem pengukuran.


Contoh lain adalah penelitian Hoque dan James (2000) dalam Hallman (2005) pada perusahaan manufaktur di Australia yang bisa memperlihatkan relasi antara pengukuran non-keuangan dan kinerja ekonomi, tetapi mereka gagal membuktikan relasi antara model kausal dan/atau BSC dengan kinerja manajerial yang lebih baik. Jadi sangatlah sulit untuk merangkum penelitian dan literatur mengenai relasi antara kinerja manajerial dan penggunaan BSC. Itu dapat dibuktikan tetapi dengan sedikit keraguan bahwa banyak perusahaan lebih puas dengan sistem pengukuran mereka jika itu didasarkan pada BSC dan model kausalitas. Juga bisa dijadikan catatan bagi perusahaan yang memilih untuk mengimplementasikan BSC ini bukan masalah mudah. Olve et al (2004) memperingatkan dalam analisis terbarunya di Eropa Utara jika hanya separuh dari 15 organisasi yang sukses mengimplementasikan BSC.


Kritik lain tentang Balanced Scorecard adalah mengenai verifikasi dari cause-effect relationship yang hingga buku Balanced Scorecard generasi ketiga1 tetap belum jelas. Selain itu dalam hasil penelitian Neely et al (2003) pada dua perusahaan di mana satu perusahaan menggunakan metode pengukuran kinerja manajerial konvensional yakni penilaian dan keuangan sedang yang lainnya menggunakan metode Balanced Scorecard dalam hal laba kotor dan total penjualan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.


Pada awalnya BSC digunakan pada organisasi laba. Tetapi pada perkembangannya BSC juga mulai digunakan pada organisasi nirlaba. Tentu saja perubahan-perubahan ini membutuhkan penyesuaian dari konsep asli BSC. Pada organisasi laba perspektif finansial merupakan tujuan akhir. Sedang pada organisasi nirlaba, keuntungan bukanlah tujuan utama. Pada organisasi nirlaba kepuasan pelanggan merupakan tujuan akhir. Maka BSC yang hendak diaplikasikan harus disesuaikan dengan karakteristik organisasi nirlaba tersebut.


Ada berbagai jenis organisasi nirlaba yang mengaplikasikan BSC, antara lain rumah sakit, pusat kesehatan (healthcare), organisasi pemerintahan, universitas, dan lain-lain. Penelitian-penelitian aplikasi BSC juga banyak dilakukan, yaitu Gao dan Gurd (2006), Carrière dan Gauthier (2006), Posayanant dan  Charoenngam (2005), Bocci (2005), Kollberg (2003),  Cribb dan Hoggan (2003), Rohm (2001), dan Hafner (1998). Sedang dari Indonesia sendiri terdapat Purwanto (2003).


1 BSC generasi pertama adalah tulisan Kaplan dan Norton tahun 1992 yang berjudul "The Balanced Scorecard : Measures that Drive Performance". BSC generasi kedua adalah buku yang ditulis Kaplan dan Norton pada tahun 1996 berjudul "The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action".  Sedang buku ketiga oleh Kaplan dan Norton berjudul "Strategy Maps" adalah BSC generasi ketiga


Dalam penelitian mereka diketahui BSC tidak selalu diterapkan sebagai manajemen strategi, tapi terkadang hanya sebagai alat pengukuran kinerja. Misal aplikasi BSC sebagai pengukur kinerja pada Cambridge Health Alliance USA dan sebagai alat manajemen strategi pada Mayo Clinic, USA. Selain itu perspektif dalam BSC bisa berubah, baik nama ataupun jumlahnya. Bergantung pada pandangan peneliti. Contohnya aplikasi BSC pada kota Seattle, ketiga nama perspektif berubah nama menjadi prioritas kota untuk pelanggan, manfaat dan nilai, perspektif pengiriman jasa dan operasi kota, sedang perspektif pertumbuhan dan pembelajaran tetap (Abbot et al; 2002 dalam Purwanto; 2003). Contoh lain adalah aplikasi pada perguruan tinggi oleh Stewart dan Hubin (2000-2001) yang menggunakan lima perspektif dengan nama yang berbeda pula, antara lain diversity (keanekaragaman), student learning experience (pengalaman belajar mahasiswa), academic excellence (kesempurnaan akademis), outreach and engagement (pencapaian melampaui target dan perikatan), dan resourse management (manajemen sumber daya).


Melihat meningkatnya jumlah organisasi nirlaba yang mengaplikasikan BSC, penulis tertarik untuk meneliti tentang masalah ini. Peneliti akan berusaha untuk mengupas mengenai metode Balanced Scorecard dan aplikasinya pada organisasi nirlaba dengan judul "BALANCED SCORECARD: PERKEMBANGAN DAN APLIKASINYA PADA ORGANISASI NIRLABA (Kajian Teoritis pada Pemerintah Daerah dan Universitas)"





1.2 Rumusan Masalah


Masalah penelitian yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan Balanced Scorecard dan aplikasinya pada organisasi nirlaba khususnya pada pemerintah daerah dan universitas?


BALANCED SCORECARD: PERKEMBANGAN DAN APLIKASINYA PADA ORGANISASI NIRLABA (Kajian Teoritis pada Pemerintah Daerah dan Universitas) 4.5 5 Win Solution 24 April 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manajemen merupakan pemain utama dalam suatu kegiatan organisasi. Berhasilnya tidaknya sua...


Skripsi Lengkap (bab 1-5 dan daftar pustaka) untuk judul diatas bisa dimiliki segera dengan mentransfer dana Rp300ribu Rp200ribu. Setelah proses pembayaran selesai skripsi dalam bentuk file/softcopy langsung kita kirim lewat email kamu pada hari ini juga. Layanan informasi ini sekedar untuk referensi semata. Kami tidak mendukung plagiatisme. Cara pesan: Telpon kami langsung atau ketik Judul yang dipilih dan alamat email kamu kirim ke 089 9009 9019

Kami akan selalu menjaga kepercayaan Anda!

Judul Terkait:

No comments:

Post a Comment

Jurnalskripsitesis.com. Powered by Blogger.

Blog Archive