BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keberadaan suatu lembaga atau perusahaan, tidak akan terlepas dari proses pencatatan akuntansi. Setiap lembaga atau perusahaan berkewajiban melakukan pencatatan atas aktivitas-aktivitas akuntansi yang terjadi dalam perusahaan yang selanjutnya disajikan dalam bentuk laporan akuntansi atau laporan keuangan. Laporan tersebut disajikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas dana serta aset perusahaan yang dikelola oleh manajemen perusahaan kepada pemilik perusahaan atau pemegang saham dan sebagai sarana atau media utama bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Seperti telah diketahui, konsep akuntansi konvensional yang telah diterapkan di Indonesia maupun sebagai standar internasional selama ini merupakan adopsi pada barat dan budaya kapitalis yang hanya mengandalkan materi dan duniawi.
Dengan semakin berkembangnya pola pikir manusia yang tidak hanya mengedepankan kepentingan duniawi, maka dirasa perlu untuk menyeimbangkannya dengan kepentingan ukhrawi. Akhir-akhir ini terjadi suatu peningkatan terhadap kajian bidang akuntansi menuju akuntansi dalam perspektif Islami atau akuntansi syariah. Beberapa isu yang mendorong munculnya akuntansi syariah adalah masalah harmonisasi standar akuntansi internasional di negara-negara Islam, usulan pemformatan laporan badan usaha Islami (Baydoun dan Willett, dalam Muhammad, 2003:77), dan kajian ulang filsafat tentang konstruksi etika dalam pengembangan teori akuntansi sampai pada masalah penilaian (asset) dalam akuntansi. Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah perlunya akuntansi syariah yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip syariah... (Muhammad, 2003:79).
Akuntansi syariah muncul untuk menyeimbangkan. Triyuwono (2006:320) mengungkapkan bahwa secara filosofis teori Akuntansi Syariah memiliki beberapa prinsip (Kuntowidjojo 1991, Triyuwono 1995; 2000a; 2000b). Teori tersebut menyatakan bahwa Akuntansi Syariah bertujuan untuk terciptanya peradaban dengan wawasan humanis, emansipatoris, transedental dan teological. Humanis berarti bersifat manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat dipraktekkan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang selalu berinteraksi dengan orang lain secara dinamis. Emansipatoris, yaitu mampu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap teori dan praktek akuntansi yang modern. Transedental berarti melintas batas disiplin ilmu akuntansi itu sendiri. Sedangkan teological, diartikan bahwa akuntansi tidak sekedar memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, tetapi juga wujud pertanggungjawaban manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, dan alam semesta.
Teological sebagai sifat penyeimbang dari tujuan akuntansi konvensional sehingga akuntansi tidak hanya membentuk suatu hubungan secara horizontal saja yaitu hubungan antara manusia dengan sesamanya, tetapi juga hubungan secara vertikal yaitu tanggungjawab manusia pada Tuhan. Hal ini berarti bahwa untuk mewujudkan cara pandang yang sadar akan hakekat diri manusia dan tanggung jawabnya kelak di hadapan Allah. Adapun ciri akuntansi syariah adalah: 1)Menggunakan nilai-nilai etika sebagai dasar penggunaan akuntansi, 2)Memberikan arah pada atau menstimulasi timbulnya perilaku etis, 3) bersikap adil terhadap semua pihak, 4) Menyeimbangkan sifat egoistic dengan altruistic, dan 5) Mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.
Terdapat tiga gambaran kontradiktif menurut pandangan Islam (Muhammad, 2003:79). Pertama, akuntansi konvensional didasari oleh penolakan agama (syariah). Bagi orang Muslim, syariah merupakan suatu kekuatan petunjuk yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan manusia dan mempertanggungjawabkan secara penuh kepada Tuhan. Kedua, kepercayaan dan nilai dasar akuntansi konvensional yang berdasarkan pada konsep kepentingan pribadi tanpa memperdulikan kepentingan sosial. Ketiga, akuntansi konvensional mempercayai bahwa manusia tidak memiliki konsepsi inheren mengenai keadilan tetapi manusia memiliki sifat pengambil peluang.
Kerangka konseptual pelaporan keuangan yang menggunakan paradigma syariah merupakan hal yang sangat unik yang diperoleh dari hukum "langit", bukan sekedar hukum buatan manusia. Oleh karena itu akuntansi syariah tidak saja sebagai bentuk akuntabilitas (accountability) manajemen terhadap pemilik perusahaan (stockholders), tetapi juga sebagai akuntabilitas kepada stakeholders dan Tuhan (Triyuwono, 2001:137).
Munculnya perusahaan atau perbankan yang berbasis syariah menuntut adanya perangkat akuntansi perusahaan yang berdasarkan syariah. Telah beroperasinya bisnis berbasis syariah tentu akan menuntut adanya praktek akuntansi yang dapat mengkover persoalan-persoalan ekonomi dan akuntansi yang sesuai dengan syariah. Akuntansi merupakan salah satu sarana utama kalau tidak satu-satunya yang lazim dipakai sebagai jembatan untuk menilai salah satu unsur yang sangat mendasari ekonomi Islam, yakni keadilan (Adnan, 1995:47).
Salah satu aspek yang mendorong akuntansi dengan perspektif Islam atau akuntansi syariah di Indonesia adalah dengan munculnya perbankan syariah. Bank syariah dalam usahanya memberikan pembiayaan dan jasa lainnya selalu berlandaskan pada prinsip syariah, antara lain dengan tidak menggunakan sistem bunga untuk aktivitas perbankannya. Karena bunga merupakan jenis riba yang diharamkan dalam Islam. Riba merupakan salah satu hal yang dilarang dalam Islam, karena juga termasuk dalam kategori mengambil atau memperoleh harta dengan cara yang tidak benar (Triyuwono & As'udi, 2001:63). Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 278-279 yaitu:
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (perintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".
Kegiatan operasional pada bank syariah terdiri dari kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana. Selain itu juga ada jasa-jasa perbankan lain yang disediakan oleh bank syariah. Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, bank syariah menerima simpanan dari masyarakat. Sedangkan dalam rangka penyaluran dana, bank syariah memberikan jasa dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan pada bank syariah merupakan salah satu tulang punggung kegiatan perbankan karena dari situlah perbankan dapat bertahan hidup dan berkembang. Dalam melaksanakan kegiatan penyaluran dana, bank syariah melakukan investasi dan pembiayaan.
Terdapat beberapa pembiayaan yang ditawarkan oleh bank syariah. Salah satu produk yang ditawarkan oleh bank syariah adalah pembiayaan mudharabah. Pembiayaan ini menggunakan sistem bagi hasil antara nasabah dengan bank dalam pembagian keuntungannya sesuai dengan nisbah yang disepakati pada saat akad. Pembiayaan mudharabah berbeda dengan produk pembiayaan yang ditawarkan oleh bank konvensional. Pada pembiayaan mudharabah diterapkan keadilan, kejujuran dan transparansi dari kedua belah pihak. Hubungan antara bank dan nasabah tidak hanya sebagai debitor dengan kreditor saja, tetapi hubungan keduanya diakui sebagai mitra kerja yang lebih dekat dan lebih humanis. Adapun yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil dalam peraturan pemerintah adalah prinsip muamalat berdasarkan syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank. Muamalah diartikan sebagai kegiatan jual beli, utang piutang, dsb. (Jasman, 2004:22). Nilai tambah itulah yang mengakibatkan bank syariah semakin diminati oleh masyarakat.
Pembiayaan mudharabah membutuhkan kerangka akuntansi yang menyeluruh yang dapat menghasilkan pengukuran akuntansi yang tepat dan sesuai sehingga dapat mengkomunikasikan informasi akuntansi secara tepat waktu dengan kualitas yang dapat diandalkan serta mengurangi adanya perbedaan perlakuan akuntansi antara bank syariah yang satu dengan yang lain. Perbedaan perlakuan tersebut akan mengakibatkan dampak terhadap hal keadilan dalam menentukan laba bagi pemegang saham dan depositor.
Pada saat akad penyaluran pembiayaan mudharabah harus terdapat kepastian mengenai persentase perolehan hasil dari keuntungan usaha yang dibiayai. Bank harus menetapkan mekanisme perhitungan yang jelas tentang persentase bagi hasil keuntungan usaha yang kesemuanya lebih merupakan kebijakan bisnis bank yang bersangkutan sehingga dalam pelaksanaannya dapat berbeda dari tiap-tiap bank syariah. Besarnya keuntungan yang dibagikan kepada masing-masing pihak tergantung dari kesepakatan pada saat transaksi atau akad dilaksanakan.
Pada penerapan sistem syariah, tentu mempunyai sistem perlakuan akuntansi yang berbeda dengan perlakuan akuntansi konvensional pada umumnya.
Kebutuhan dalam menetapkan metode pengukuran akuntansi, terutama pembiayaan mudharabah harus disesuaikan dengan peraturan perbankan dan ketentuan-ketentuan syariah yang telah diatur.
Dengan terbitnya PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia, telah membawa era baru bagi industri keuangan di tanah air yang berprinsip syariah. PSAK No. 59 telah menjadi peraturan dan standar yang baku bagi operasional perbankan syariah di Indonesia sehingga dapat dijadikan pedoman bagi lembaga keuangan dan perbankan syariah. Walaupun demikian, PSAK No. 59 tersebut dinilai sistem yang dianut masih belum konsisten dengan jiwa syariah karena masih mengadopsi filosofi akuntansi konvensional/kapitalis yang menggunakan accrual basis (Jasman, 2004:12).
Seperti telah diketahui, bahwa PSAK No. 59 diterbitkan pada tanggal 1 Mei 2002 dan mulai diberlakukan secara efektif di Indonesia tanggal 1 Januari 2003. Adapun keberadaan bank syariah di Indonesia dimulai sejak tahun 1992 yaitu dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia. Pada masa sebelum terbitnya PSAK No. 59 sebagai standar yang baku bagi bank syariah yang menggunakan sistem accrual basis, bank-bank syariah di Indonesia menggunakan sistem cash basis modifikasi. Sistem cash basis digunakan untuk kepentingan pengakuan pendapatan atas aktiva produktif saja, sedangkan accrual basis digunakan untuk pengakuan pendapatan atas aktiva tetap, aktiva lain, dan beban.
Pembiayaan Mudharabah, yang merupakan salah satu produk perbankan syariah dengan prinsip bagi hasil, bisa dimungkinkan pula telah mengalami perubahan perlakuan akuntansi akibat diberlakukannya PSAK No. 59 Tahun 2003 tentang Akuntansi Perbankan Syariah tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa perlu untuk mengangkat permasalahan masalah ini menjadi obyek penelitian skripsi dengan judul "ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI PEMBIAYAAN MUDHARABAH SEBELUM DIBERLAKUKANNYA PSAK NO. 59 (Studi Pada PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Malang)"
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah
Untuk memperarah bahasan penelitian ini maka penelitian, maka penulis melakukan perumusan dan pembatasan masalah.
1.2.1 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perumusan masalah yang diangkat berdasarkan hal tersebut adalah: "Bagaimanakah perlakuan akuntansi atas pembiayaan mudharabah yang diterapkan oleh PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia, Tbk. sebelum diberlakukannya PSAK No. 59?"
No comments:
Post a Comment