BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perbankan Islam telah mengalami pertumbuhan secara signifikan selama lebih dari dua puluh tahun, dengan perkiraan deposito melebihi $80 miliar yang berada di lebih dari 45 negara. (Dhumale dan Sapcanin, 1999:1). Berdasarkan catatan World Bank, saat ini terdapat lebih dari seratus institusi perbankan Islam di seluruh dunia, mulai dari Bank Islam Murni (Bank Umum Syariah) hingga bank yang membuka Unit Usaha Syariah. Sebagai salah satu bagian dari pasar keuangan yang mengalami pertumbuhan cepat di dunia Islam, institusi ini telah berhasil menarik banyak perhatian. Selain itu, adanya prinsip bebas bunga atau mengharamkan riba yang diterapkan dalam perbankan Islam semakin menguatkan keingintahuan masyarakat baik yang muslim maupun non muslim. Mereka ingin mengetahui secara mendalam tentang prinsip bebas bunga yang diterapkan oleh Bank Islam atau Bank Syariah dan juga pengaplikasiannya dalam perbankan syariah, karena hal ini jelas bertolak belakang dengan penerapan prinsip yang ada di perbankan konvensional yaitu penerapan prinsip bunga. Bahkan bunga juga menjadi bagian penting yang menjamin kelangsungan usaha perbankan konvensional.
Suatu ajaran yang harus dipahami bahwa praktek keuangan Islam telah dibangun di atas prinsip kepercayaan bahwa uang bukan earning asset (barang yang dapat diperdagangkan), namun uang dalam Islam merupakan barang yang berfungsi sebagai alat tukar, satuan hitung dan penyimpan nilai. Di sisi lain Islam juga mengajarkan tentang etika, moral, social, dan juga keadilan dalam bidang ekonomi dengan tujuan untuk mencapai kebaikan, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Meskipun analisis dari perbankan Islam ini difokuskan pada aspek ekonomi, sistem ini hanya dapat dipahami secara penuh dalam kontek pandangan Islam terhadap etika, pendistribusian kekayaan, keadilan sosial dan ekonomi, dan undang-undang pemerintah. Prinsip pembagian resiko, perlindungan terhadap hak dan kewajiban individu, kekayaan, dan kemurnian perjanjian semua ini merupakan bagian dari aturan Islam yang harus diterapkan dalam sistem perbankan syariah.
Elemen-elemen dari keuangan mikro (microfinance) harus dipertimbangkan secara konsisten berkaitan dengan tujuan besar yang ingin dicapai oleh perbankan Islam (perbankan syariah). Perlindungan terhadap pengusaha dan pembagian resiko dan kepercayaan dari masyarakat miskin seharusnya diperhatikan dalam kegiatan ini, misalnya berkaitan dengan pemberian pinjaman tanpa jaminan, ini merupakan sebuah contoh bagaimana Bank Islam (Bank Syariah) dan keuangan mikro (microfinance) membagi tujuannya. Perbankan Islam (perbankan syariah) dan program kredit mikro merupakan dua hal yang saling melengkapi satu sama lain baik dalam teori maupun aplikasinya. Kedekatan hubungan antara keduanya tidak hanya pada penyediaan keuntungan yang nyata bagi pengusaha kecil, tetapi juga bagi para investor atas dana yang diinvestasikan pada usaha kecil oleh Bank Islam (Bank Syariah).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dikaji secara lebih mendalam tentang bagaimana penerapan prinsip-prinsip perbankan syariah pada keuangan mikro (microfinance). Penelitian tentang hal ini sudah dilakukan oleh Rahul Dhumale dan Amela Spacanin dari World Bank (1999) yaitu tentang penerapan prinsip-prinsip perbankan Islam (perbankan syariah) pada keuangan mikro (microfinance) di negara-negara Arab. Menurut hasil penelitian tersebut, prinsip perbankan syariah yang sesuai diterapkan dalam Program Keuangan Mikro adalah mudharabah dan murabahah. Sedangkan di Indonesia, babak baru bagi pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) baru digulirkan pemerintah pada tahun 2005 dengan dicanangkannya tahun 2005 sebagai Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI). Secara makro, pencanangan itu diharapkan mampu mengurangi angka kemiskinan yang menurut data terdapat 36 juta penduduk terkategori miskin. Di tataran pelaku usaha, pencanangan itu diharapkan mampu lebih memberdayakan UMKM khususnya pelaku mikro yang menurut data tahun 2003 berjumlah 41,8 juta unit usaha (dari total pelaku usaha di Indonesia sebanyak 42,4 juta unit). Sejalan dengan hal tersebut, kini di Indonesia mulai banyak lembaga keuangan baik bank maupun non bank yang mengarahkan perhatiannya kepada konsep keuangan mikro (microfinancing), antara lain BRI. Hal ini terlihat dari portofolio kredit UMKM yang mencapai 85% dari total kredit bank tersebut.
Keuangan mikro (microfinance) dikenal sebagai instrumen yang efektif dalam mengurangi kemiskinan. Keuangan mikro (microfinance) mengacu pada pelayanan jasa keuangan, seperti kredit, simpanan, asuransi yang disediakan untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dikenal dengan sebutan economically active poor (orang-orang miskin yang secara ekonomi aktif). Pelayanan keuangan mikro di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance Institutions). Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia dibagi kedalam dua kategori yaitu bank dan bukan bank (non bank). Bank terdiri dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), sedangkan untuk lembaga bukan bank dibagi kedalam dua kategori yaitu resmi (formal) dan tidak resmi (non formal). Ketegori formal meliputi Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), pegadaian, dan Badan Kredit Desa (BKD). Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) berada di bawah pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda), sedangkan Badan Kredit Desa (BKD) disupervisi oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) atas nama Bank Indonesia (BI). Kategori non formal terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Lembaga-lembaga keuangan tersebut yang diharapkan secara efektif mampu menyejahterakan masyarakat secara menyeluruh, ternyata belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal, terutama kalangan bawah, dikarenakan jalur formal untuk mendapatkan dana pinjaman dari lembaga keuangan cukup rumit, selain itu masyarakat juga dihadapkan pada bunga pinjaman yang nilainya cukup tinggi. Misalnya BRI dan BPR, meskipun dikategorikan sebagai Lembaga Keuangan Mikro, namun akibat persyaratan peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro masih kesulitan mengakses.
Pada paragraf sebelumnya telah di singgung bahwa prinsip perbankan syariah adalah mengharamkan bunga, menjunjung moral, etika, dan juga keadilan. Semua itu diterapkan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Prinsip - prinsip Bank Syariah ini juga sudah mulai diaplikasikan pada keuangan mikro oleh beberapa bank ataupun lembaga keuangan bukan bank yang ada di Indonesia. Tujuan penerapan prinsip - prinsip perbankan syariah ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat kalangan bawah dalam mengakses dana dan menghindarkan dari riba (bunga). Meskipun bukan merupakan Microfinance Instutioans, terdapat beberapa Bank Syariah di Indonesia yang telah memberikan jasa keuangan mikro (microfinance) salah satunya adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pemihakan Bank Muamalat Indonesia pada pengusaha mikro dapat dilihat dari laporan pembiayaan Bank Muamalat Indonesia tahun 2005 bahwa jumlah nasabah usaha mikro Bank Muamalat Indonesia sebanyak 14.670 nasabah atau 47,20% dari total nasabah pembiayaan, sedangkan jumlah nasabah usaha kecil sebanyak 12.335 nasabah atau 39,75% dari total pembiayaan, jumlah nasabah usaha menengah sebanyak 3.891 atau 12,52% dari total pembiayaan dan 0,54% merupakan usaha besar.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirasa perlu untuk menggali lebih jauh tentang penerapan prinsip-prinsip Bank Syariah tersebut pada keuangan mikro (microfinance) dengan mengambil judul "Aplikasi Prinsip-prinsip Perbankan Syariah Pada Keuangan Mikro (microfinance), Studi PT Pada Bank Muamalat Indonesia, Tbk".
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : "Bagaimana penerapan prinsip mudharabah dan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia sebagai sebagai salah satu lembaga keuangan di Indonesia yang berbentuk bank yang memberikan jasa keuangan mikro (microfinance) ?
No comments:
Post a Comment