BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan dapat diartikan sebagai parangkat acuan dan menjadi pedoman bagi masyarakat pendukungnya dalam bertindak. Kebudayaan dapat menunjukkan tingkat peradaban manusia, ciri pribadi masyarakat pendukungnya dan pembeda antara suatu kelompok sosial yang satu dengan kelompok yang sosial yang lainnya. Kebudayaan perlu dihayati dan diwariskan secara turun- temurun karena di dalamnya mengandung norma-norma atau nilai-nilai yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat pendukungnya (Koentjaraningrat 1985:10).
Masyarakat Jawa pada umumnya dan Batang memiliki berbagai macam ritual dan telah menjadi tradisi. Tradisi yang muncul antara lain: Tradisi Kliwonan, Lomban dan Sintren. Perlu diketahui bahwa sebuah kebudayaan akan berlangsung terus-menerus karena senantiasa timbul anggota-anggota masyarakat, sehingga mereka mengalami proses sosialisasi dan internalisasi kebudayaan (Soekmono e.d. Mulyani, 1994:11). Tiap-tiap masyarakat baik masyarakat yang masih sederhana maupun masyarakat yang sudah maju selalu memiliki nilai-nilai budaya. Antara nilai budaya satu dengan nilai budaya lainnya saling berkaitan.
Kebudayaan Batang dewasa ini adalah hasil pertumbuhan dan perkembangan dari kebudayaan yang ada pada masa lampau sehingga perlu dikaji secara mendalam. Kebudayaan generasi di masa lampau sampai pada generasi berikutnya, karena adanya pewarisan budaya yang berjalan secara turun-temurun. Sebagaimana Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koenjtraningrat, 1990:45).
Pada umumnya masyarakat sering mengkaitkan malam Jumat Kliwon dengan hal-hal yang berbau mistis dan religi, tetapi lain halnya dengan tradisi malam Jumat Kliwon atau Kliwonan di Batang. Dalam tradisi malam Jumat Kliwon ini cenderung tidak bersifat keagamaan. Tradisi ini memang semula bersifat ritual yaitu untuk mengenang jasa-jasa leluhur dari masyarakat Batang. Kemudian kegiatan yang terdapat dalam tradisi ini berubah seiring dengan perubahan sosial budaya dalam masyarakat setempat.
Koentjaraningrat (1994:347) mengemukakan bahwa upacara slametan yang tidak bersifat keagamaan adalah upacara slametan yang tidak bersifat keagamaan adalah upacara yang tidak menimbulkan getaran emosi keagamaan pada orang-orang yang mengadakan slametan itu, maupun orang-orang yang hadir walaupun pada slametan itu telah diminta hadir seorang pegawai keagamaan untuk membacakan doa. Maka maksud dari jenis slametan seperti ini hanyalah untuk memelihara rasa solidaritas sosial dan untuk menciptakan suasana damai, bebas dari rasa permusuhan dan prasangka terhadap orang lain, atau dapat juga merupakan suatu perayaan saja atas suatu peristiwa yang penuh kebahagiaan. Seperti telah dikemukakan bahwa semula bentuk tradisi Kliwonan adalah berupa upacara slametan yang ditujukan untuk arwah para leluhur.
Kemudian dengan adanya perkembangan jaman, dalam pelaksanaannya tradisi Kliwonan mengalami banyak perubahan yaitu menjadi slametan yang tidak bersifat keagamaan. Kini slametan itu berupa sejenis pasar malam yang dilakukan di alun-alun Batang. Di pasar malam tersebut terdapat para penjual dengan barang dagangannya yang beraneka ragam dan para pembeli atau pengunjung yang sekedar ingin meramaikan Kliwonan dengan berjalan-jalan di sekitar alun-alun. Semua perubahan yang terjadi tersebut karena adanya penyesuaian diri dengan perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat Batang bersifat terbuka dalam hal menerima serta menyadari bahwa masyarakat dan kebudayaan itu selalu berubah. Masyarakat Batang dapat menerima berbagai ide dan benda material dari luar kebudayaannya selama hal itu tidak menganggu eksistensi kebudayaan.
Tradisi kliwonan merupakan salah satu hasil budaya masyarakat Batang yang dijaga keberadaannya serta diwariskan turun temurun. Tradisi tersebut diselenggarakan setiap 35 hari sekali tepatnya pada malam jum’at kliwon bagi para penganut tradisi jawa dikenal sebagai hari yang dikeramatkan, sakral dan kaya akan nuansa ritual, namun jum’at kliwon yang dalam penanggalan jatuh pada hari kamis sore, di alun-alun Batang justru sekarang menjadi pasar tiban rakyat yang meriahnya melebihi pasar malam.
Tradisi kliwonan di Batang telah berjalan sangat lama, yaitu dimulai pada masa pemerintahan Pangeran Adi Mandurejo (Pangeran Adinegoro) yang merupakan Bupati Pertama di Batang. Pada masa ini kliwonan digunakan sebagai tempat pengobatan dan ngluar kaul (suatu janji tertentu apabila seseorang bebas dari marabahaya, penyakit ataupun tercapainya suatu cita-cita). Selain itu kliwonan juga dijadikan sebagai hari yang istimewa untuk melakukan dakwah agama Islam bertempat di Masjid Jami’ (sebelah barat alun-alun). Akan tetapi seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan teknologi serta pola pikir masyarakat yang semakin maju dan realisis menyebabkan tradisi kliwonan mengalami perubahan baik dari segi fungsi ataupun bentuknya (Wawancara Bpk Usman penjaga masjid, 27 Juli 2006, pkl 16.00 WIB).
Tradisi kliwonan telah mengalami perubahan fungsi. Semula kliwonan sarana atau tempat yang sarat dengan nuansa mistis dan ritual keagamaan, namun pada perkembangannya kliwonan berubah fungsi menjadi sebuah pasar malam yang lebih bersifat realistis dan komersial. Perubahan fungsi tersebut secara langsung maupun tidak langsung juga berpengaruh terhadap terbentuknya pola- pola pikir sosial baru dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ini mengambil judul “Perkembangan Tradisi Kliwonan di Kabupaten Batang Dari Tahun 1966-2006”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimanakah sejarah awal perkembangan tradisi kliwonan di Kabupaten Batang ?
- Mengapa tradisi kliwonan bisa bertahan sampai sekarang ?
- Bagaimana peran Pemerintah Kabupaten Batang terhadap tradisi kliwonan?
No comments:
Post a Comment