BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hakikat belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan siswa agar mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis (Depdiknas 2003:1). Selain untuk meningkatkan siswa agar mampu berkomunikasi, pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar siswa memiliki sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif yang dapat ditunjukkan siswa antara lain mau menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam berkomunikasi.
Komunikasi merupakan kegiatan mengungkapkan isi hati kepada orang lain (Depdiknas 2004:5). Isi hati tersebut dapat berupa gagasan, pikiran, perasaan, pertanyaan dan sebagainya. Secara garis besar Yuniawan (2002:1) mengemukakan bahwa ada dua cara komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal menggunakan bahasa sebagai sarananya, sedangkan komunikasi nonverbal menggunakan sarana gerak- gerik, warna, gambar, bendera, bunyi bel dan sebagainya.
Bahasa digunakan sebagai sarana dalam komunikasi verbal dan dapat dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi lisan dan komunikasi tulisan (Yuniawan 2002:1). Dalam komunikasi sehari-hari orang lebih banyak menggunakan ragam bahasa lisan daripada ragam bahasa tulis. Kegiatan berbahasa lisan disebut berbicara.
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan (Tarigan 1990:15). Berbicara merupakan keterampilan berbahasa selain keterampilan mendengarkan, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis (Nida dan Haris dalam Tarigan 1990:1)
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan kebahasaan yang sangat penting. Syafi'ie (1993:33) mengemukakan, dengan keterampilan berbicaralah pertama-tama kita memenuhi kebutuhan untuk berkomunikasi dengan masyarakat tempat kita berada. Keraf (1997:314) menyebutkan bahwa peranan pidato, ceramah, penyajian lisan pada suatu kelompok masa merupakan hal yang sangat penting, baik pada waktu sekarang maupun waktu mendatang.
Selain pentingnya keterampilan berbicara untuk berkomunikasi, komunikasi dapat berlangsung secara efektif dan efisien dengan menggunakan bahasa, sedangkan hakikat bahasa adalah ucapan. Proses pengucapan bunyi- bunyi bahasa itu tidak lain adalah berbicara. Untuk dapat berbicara dengan baik diperlukan keterampilan berbicara (Syafi'ie 1993:33).
Dari uraian di atas, diketahui betapa pentingnya keterampilan berbicara bagi seseorang. Oleh karena itu, pembelajaran keterampilan berbicara perlu mendapat perhatian agar para siswa memiliki keterampilan berbicara, sehingga mampu berkomunikasi untuk menyampaikan isi hatinya kepada orang lain dengan baik. Selain betapa pentingnya keterampilan berbicara bagi seseorang, pembelajaran keterampilan berbicara perlu mendapatkan perhatian karena keterampilan berbicara tidak bisa diperoleh secara otomatis, melainkan harus belajar dan berlatih (Syafi'ie 1993:33).
Keterampilan berbicara dibelajarkan kepada siswa mulai dari sekolah dasar hingga SMA. Namun, pada umumnya dalam situasi resmi siswa SMA masih mengalami kesulitan untuk menyampaikan gagasan, pikiran, pertanyaan dan sebagainya menggunakan ragam bahasa lisan dengan baik dan benar. Hal ini juga dialami oleh sebagian besar siswa SMA Negeri I Jepara, khususnya siswa kelas X yang menjadi objek penelitian ini.
Dalam kegiatan belajar mengajar digunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, terutama mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Setidaknya hal ini dapat dijadikan contoh bagi para siswa dalam kegiatan berbicara dalam suasana formal. Namun, para siswa masih saja mengalami kesulitan untuk menyampaikan ide, pikiran, gagasan, perasaan dan lain sebagainya dalam situasi formal dengan baik dan benar. Kesulitan yang dialami siswa antara lain dalam hal:
- menjawab pertanyaan guru,
- mengajukan pertanyaan maupun pendapat dalam kegiatan belajar mengajar, rapat OSIS, dan lain sebagainya,
- menceritakan pengalaman pribadi,
- memperkenalkan diri maupun orang lain,
- menceritakan kembali isi suatu bacaan,
- menyampaikan pendapat dalam rapat kelas,
- berwawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan, dan
- berpidato di hadapan teman sekelas, dan kegiatan berbicara lainnya.
Secara umum, pembelajaran keterampilan berbicara di SMA Negeri I Jepara belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hasil-hasil tersebut terlihat dari pengamatan penulis terhadap perilaku berbicara siswa dalam situasi formal berikut.
Dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis lakukan, penulis menjumpai bahwa dari jumlah sekitar 40 siswa di setiap kelas hanya beberapa diantara mereka yang berani bertanya kepada guru, mengajukan pendapat dan lain sebagainya pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Ada siswa yang tidak berani berbicara. Ada siswa yang berani berbicara dengan menggunakan ragam resmi tapi struktur kalimatnya kurang baik. Ada juga siswa yang lancar berbicara tapi menggunakan ragam bahasa nonformal, dan ada juga siswa yang mampu mengungkapkan gagasannya secara runtut tapi struktur bahasa yang digunakan kurang baik. Dari hal itu terlihat bahwa siswa masih mengalami kesulitan untuk berbicara dalam situasi formal dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalimat-kalimat yang digunakan siswa yang dapat dijadikan contoh antara lain, "Pak, gimana kalau mengumpulkan tugasnya dua minggu lagi?" Contoh lain, pertanyaan yang diajukan siswa ketika mengikuti pembelajaran berwawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan, "Pak, boleh nggak, Pak, kalau kita menanyakan pertanyaan pribadi kepada narasumber?"
Tidak hanya penulis saja, guru pengampu mata pelajaran lain pun menjumpai hal yang sama dalam kegiatan belajar mengajar. Mereka mengatakan hanya beberapa siswa saja yang berani berbicara mengajukan pertanyaan, pendapat dan sebagainya ketika mereka diberi kesempatan bertanya maupun mengungkapkan gagasannya.
Hubungan antara siswa dengan guru maupun staf tata usaha di luar kelas juga menunjukkan siswa SMA Negeri I Jepara terbiasa belum menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. Sebagai contoh, pada saat guru pengampu berhalangan hadir, hanya siswa tertentu saja yang melaporkan kepada piket. Kalimat yang digunakan hanya berupa kalimat-kalimat singkat dan belum menunjukkan pemakaian bahasa Indonesia dengan benar. Umumnya mereka berkata, "Kelas saya kosong. Ada tugas nggak, Pak / Bu?" Begitu juga ketika siswa berhubungan dengan staf tata usaha pada saat membayar iuran sekolah atau meminta sesuatu, "Pak / Bu, minta spidolnya. Spidol kelas saya habis."
Bertolak dari kurangnya keterampilan berbicara siswa dalam situasi formal menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian berkaitan dengan pembelajaran keterampilan berbicara dalam rangka peningkatan keterampilan berbicara siswa dalam situasi formal. Pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pelestarian bahasa Indonesia. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan salah satu wujud kecintaan seseorang terhadap bangsa Indonesia.
Untuk meningkatkan kemampuan siswa agar mampu berbicara dalam suasana formal, perlu dicari pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara yang secara langsung dapat mengarahkan siswa untuk berlatih berbicara dalam suasana resmi atau formal. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa adalah pendekatan kontekstual dengan fokus pemodelan. Dalam pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi kelas dengan menggunakan pendekatan kontekstual, siswa diminta untuk mendiskusikan hal-hal/ masalah-masalah yang dekat dengan dunia siswa atau dunia remaja, sehingga siswa lebih menguasai materi yang dibicarakan karena mereka mengalami sendiri masalah-masalah itu. Sedangkan pemodelan dalam pembelajaran adalah adanya model dalam pembelajaran yang bisa diamati/ ditiru siswa untuk berbicara dalam ragam formal melalui diskusi. Jadi, pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan pendekatan kontekstual fokus pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berbicara, karena siswa lebih menguasai materi yang didiskusikan dan siswa dapat meniru/ mengamati model yang diberikan untuk berbicara dalam ragam formal melalui diskusi.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Kesulitan yang dialami siswa kelas X SMA Negeri I Jepara ketika berbicara dengan menggunakan ragam formal peneliti identifikasi penyebab- penyebabnya. Identifikasi tersebut peneliti dapatkan dari hasil pengamatan dan tanya jawab dengan beberapa siswa kelas X di luar jam pelajaran dan ketika mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler PMR yang peneliti kelola. Dari identifikasi tersebut, peneliti mengetahui penyebab-penyebab kesulitan siswa dalam berbicara dengan menggunakan ragam formal. Penyebab-penyebabnya antara lain:
- Dalam peristiwa komunikasi sehari-hari mereka lebih banyak menggunakan bahasa ibu mereka, bahasa Jawa, untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mereka belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa komunikasi sehari-hari. Mereka hanya menggunakan bahasa Indonesia pada saat mengikuti proses belajar mengajar di sekolah atau mengikuti kegiatan sekolah di luar jam pelajaran. Penggunaan bahasa Indonesia itu pun terbatas hanya ketika siswa berhubungan dengan guru saja pada saat pelajaran berlangsung atau pada saat mengikuti kegiatan sekolah di luar jam pelajaran. Bahasa Indonesia yang mereka gunakan itu pun belum menunjukkan pemakaian bahasa Indonesia yang benar.
- Dalam proses belajar mengajar, pada umumnya para guru kurang memberikan perhatian terhadap pemakaian bahasa Indonesia siswa. Ketika siswa berbicara dalam pelajaran (bertanya, mengajukan pertanyaan atau pendapat dan sebagainya), guru kurang memperhatikan pemakaian bahasa siswa, apakah ragam yang siswa pakai sudah benar atau belum. Umumnya guru hanya memperhatikan apa yang dibicarakan siswa berkaitan dengan pelajaran yang diampunya. Sebagai contoh, "Pak, mbok waktunya jangan seminggu lagi. Tambahin dong, Pak." Dari hal ini, dalam suasana formal proses belajar mengajar, siswa belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan benar, dan menyebabkan siswa kesulitan apabila berbicara menggunakan bahasa Indonesia ragam formal.
- Siswa tidak memiliki/ enggan mengikuti kegiatan di luar jam pelajaran yang memungkinkan mereka berbicara menggunakan bahasa Indonesia dalam ragam formal. Hanya beberapa siswa saja yang memiliki kegiatan di luar jam pelajaran yang memungkinkan mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam ragam formal. Siswa tersebut adalah siswa yang juga aktif menjadi pengurus OSIS. Pada saat melakukan rapat dengan pembina, siswa tersebut memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan bahasa Indonesia ragam formal. Hal ini dapat digunakan siswa untuk melatih keterampilan berbicaranya di luar pelajaran.
Dari hal itu dapat penulis simpulkan penyebab-penyebab kesulitan siswa dalam berbicara dengan menggunakan ragam formal, yakni para siswa belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa sehari-hari, kecuali pada saat mereka mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, kurangnya perhatian para guru terhadap pemakaian bahasa Indonesia siswa dalam proses belajar mengajar, dan tidak adanya/ keengganan siswa mengikuti kegiatan di luar jam pelajaran yang dapat dijadikan siswa untuk melatih keterampilan berbicaranya. Untuk mengatasi hal itu, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah dengan memaksimalkan pembelajaran keterampilan berbicara siswa di sekolah.
Keberhasilan pengajaran keterampilan berbicara maupun pengajaran bahasa pada umumnya dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor itu antara lain, faktor dari siswa itu sendiri, dukungan orang tua dan masyarakat, kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar (dari perencanaan hingga evaluasi), serta tersedianya sarana dan prasarana belajar. Dari berbagai faktor tersebut, faktor gurulah yang memegang peranan penting, karena gurulah yang bertanggung jawab terhadap pembelajaran kepada siswa.
Berkaitan dengan kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, muncul pertanyaan bagaimana cara meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas X? Perlukah guru menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu dalam pembelajaran materi tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas diharapkan dapat memberikan masukan bagi para guru untuk memilih dan menentukan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai, sehingga pada akhirnya siswa memiliki kompetensi dalam keterampilan berbicara sesuai dengan kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti yang telah dikemukakan di atas, menarik perhatian penulis untuk mengadakan penelitian berkaitan dengan keterampilan berbicara. Penelitian yang berkaitan dengan keterampilan berbicara dapat sangat luas ruang lingkupnya. Oleh karena keterbatasan waktu, biaya, dan kemampuan penulis, penelitian ini hanya mengkaji keterampilan berbicara dalam suasana resmi yang dapat dilakukan siswa. Dari berbagai macam suasana resmi dalam berbicara, penulis memfokuskan pada keterampilan berbicara melalui diskusi kelas yang membahas masalah- masalah yang dekat dengan dunia siswa atau dunia remaja.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Bagaimana peningkatan keterampilan berbicara siswa setelah mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan?
- Bagaimana perubahan perilaku siswa yang ditunjukkan saat mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan?
No comments:
Post a Comment