BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok yang saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Secara garis besar, ada dua cara dalam berkomunikasi, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal menggunakan sarana bahasa, sedangkan komunikasi nonverbal memanfaatkan sarana berupa gerak- gerik atau lambang-lambang tertentu. Komunikasi verbal dianggap paling efektif dan efisien serta sedikit kemungkinan terjadi salah penafsiran. Komunikasi verbal dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi lisan dan tulis. Komunikasi lisan sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dialog dalam lingkungan keluarga, dialog antara pembeli dan penjual, percakapan di telepon, wawancara, debat, pidato, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut memanfaatkan komunikasi lisan berupa kegiatan berbicara (Tarigan dkk. 1997:29).
Keterampilan berbicara merupakan salah satu segi dalam caturtunggal keterampilan berbahasa di samping tiga keterampilan berbahasa yang lain, yaitu: keterampilan menyimak (listening skill), keterampilan membaca (reading skill), dan keterampilan menulis (writing skill). Setiap keterampilan tersebut saling berhubungan erat dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Dalam proses memperoleh keterampilan berbahasa, kita biasanya melalui suatu urutan yang teratur, pada masa kecil kita menyimak bahasa, kemudian berbicara, sesudah itu kita belajar membaca, dan menulis (Tarigan 1981:1).
Berdasarkan fungsinya, keterampilan membaca dan menyimak termasuk keterampilan berbahasa yang reseptif dan apresiatif. Artinya, kedua keterampilan tersebut digunakan untuk menangkap dan memahami informasi yang disampaikan melalui bahasa lisan dan tertulis. Sebaliknya, keterampilan berbicara dan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif dan reseptif. Artinya, kedua keterampilan berbahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan informasi atau gagasan baik secara lisan maupun tertulis (Wagiran dan Doyin 2005:1-2).
Berbicara merupakan keterampilan yang sangat penting dan harus dipelajari karena setiap proses berbicara pasti ada pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh pembicara kepada pendengarnya. Oleh karena itu, menyampaikan informasi dimasukkan dalam salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa kelas VIII SMP. Indikatornya adalah: (1) mampu mengajukan pertanyaan untuk meminta penjelasan dari seorang narasumber; (2) mampu menyampaikan informasi kepada orang lain; dan (3) mampu membandingkan keutuhan pesan yang diterima dari narasumber dengan isi pesan yang disampaikan.
Tahun 2004 mulai diberlakukan kurikulum baru yang dinamakan kurikulum 2004 atau sering disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kurikulum ini menggunakan pembelajaran kontekstual sebagai landasan berpikirnya. Walaupun sudah satu tahun kurikulum 2004 diterapkan di SMP Negeri 5 Semarang, tetapi praktiknya masih belum diterapkan secara maksimal. Guru mata pelajaran masih menerapkan metode ceramah. Guru menyampaikan materi di depan kelas dan siswa mendengarkan. Terjadi proses pembelajaran yang berpusat kepada guru, siswa hanya berperan sebagai objek pembelajaran. Kadang-kadang guru juga telah menerapkan teknik diskusi dalam kelompok masyarakat belajar (learning community). Namun, hal tersebut justru menjadi ‘bumerang’ bagi siswa. Siswa sering menggantungkan diri pada anggota kelompok yang lain sehingga mengakibatkan siswa yang aktif semakin aktif dan siswa yang pasif semakin tertinggal. Hal tersebut disebabkan karena selama ini mereka dimanjakan dengan cara menerima materi dari guru.
Walaupun siswa hanya menerima materi dari guru, namun salah paham dalam proses pembelajaran masih terjadi. Siswa belum dapat sepenuhnya memahami dan menjelaskan kembali materi dari guru sehingga siswa sering salah dalam menjawab pertanyaan. Dalam hal ini, proses komunikasi antara guru dan siswa dalam pembelajaran masih mengalami misunderstanding sehingga pengetahuan yang diterima siswa relatif rendah.
Model pembelajaran yang benar belum diterapkan oleh guru. Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut adanya pembelajaran yang ‘sebenarnya’. Pembelajaran bahasa yang harus diterapkan adalah belajar berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis (Depdiknas 2003:5). Pembelajaran berbicara masih dilakukan dengan model ceramah. Padahal, model pembelajaran berbicara seharusnya dilakukan dengan model praktik secara langsung. Selain itu, model penilaiannya pun dilakukan berdasarkan teori-teori yang dikuasai siswa, bukan kemampuan siswa berbicara karena pada prinsipnya, Bahasa dan Sastra Indonesia adalah sarana komunikasi sehingga pendekatan pembelajaran bahasa lebih menitikberatkan aspek performansi atau kinerja bahasanya (Depdiknas 2003:2-3).
Teknik yang diterapkan oleh guru pun sering tidak sesuai dengan indikator yang ingin dicapai pada setiap kompetensi dasarnya. Misalnya, untuk kompetensi dasar menyampaikan laporan perjalanan (indikator: mampu menyampaikan laporan perjalanan dengan bahasa yang komunikatif berdasarkan urutan, ruang, waktu, atau topik) guru justru menekankan pada kompetensi dasar membaca. Cara yang digunakan yaitu guru menyuruh siswa membaca teks laporan perjalanan yang ada di dalam buku, bukan bagaimana proses siswa menyampaikan laporan perjalanannya.
Hal serupa juga terjadi pada kompetensi dasar berwawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan. Guru memberi tugas rumah kepada siswa untuk berwawancara, siswa mencatat hasil wawancaranya. Dalam hal ini, guru hanya menilai kemampuan siswa dari aspek menulis, sedangkan keterampilan berbicara siswa belum terevaluasi.
Berdasarkan hasil observasi yang diperkuat dengan informasi dari guru mata pelajaran, kelas VIII-D adalah kelas yang tingkat keterampilan berbicaranya paling rendah di antara kelas yang lain. Kelas yang terdiri atas 21 siswa putra dan
25 siswa putri itu terkenal dengan kelas yang paling ramai. Namun, pada saat proses diskusi kelompok, kelas itu paling statis. Mereka tidak mau memanfaatkan kesempatan bertanya atau menanggapi hasil presentasi kelompok lain sehingga guru harus menawarkan kesempatan sampai beberapa kali dan hasilnya hanya satu sampai dua orang saja yang mau berkomentar.
Siswa sering bersikap pasif dalam proses pembelajaran. Hal tersebut disebabkan siswa terbiasa menerima materi dari guru sehingga siswa kurang berlatih berbicara. Bahasa yang digunakan siswa pun sering kurang santun dan bersifat nonformal. Hal tersebut terlihat ketika mereka berbicara kepada teman, bahkan kepada guru PPL.
Berdasarkan hasil wawancara, penyebab rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa tidak hanya berasal dari faktor guru, tetapi juga dari faktor siswa. Anggapan siswa bahwa berbicara merupakan sesuatu yang dimiliki dengan sendirinya sehingga tidak perlu berlatih berbicara lagi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Bormann dan Bormann (1991:5) yang menyatakan bahwa berbicara merupakan kejadian yang sudah sangat biasa, boleh dikatakan kita sudah berbicara sejak kecil sehingga keterampilan berbicara dianggap relatif gampang dan kurang penting untuk dipelajari atau dipraktikkan.
Untuk mengatasi masalah rendahnya keterampilan berbicara dan menambah variasi teknik pembelajaran berbicara, maka penelitian ini menawarkan sebuah alternatif pembelajaran berbicara menyampaikan informasi menggunakan teknik information gap yang penerapannya sesuai dengan pendekatan kontekstual.
Information gap merupakan teknik pembelajaran yang mengandung unsur permainan. Pembelajaran yang mengandung unsur permainan terbukti dapat membuat siswa merasa senang dan bersemangat selama mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, siswa akan lebih mudah menangkap materi dengan cara tersebut. Pembelajaran menyampaikan informasi dengan teknik information gap memberi kesempatan kepada siswa praktik berbicara secara langsung dan individu sehingga siswa berlatih berbicara. Selain itu, pembelajaran dengan teknik information gap menggunakan rangsang gambar visual yang terbukti dapat membantu daya ingat siswa. Kehadiran narasumber juga terbukti membantu proses pembelajaran. Yang paling penting, teknik information gap memiliki unsur yang tidak dapat diterka sebelumnya, hal ini penting agar proses komunikasi berlangsung realistis. Diharapkan, setelah pembelajaran ini siswa menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti sehingga mereka mampu mengembangkan potensi berbicaranya masing-masing.
Selain itu, alasan pemilihan teknik information gap pada pembelajaran menyampaikan informasi adalah karakteristik teknik information gap sangat sesuai dengan 3 indikator yang ingin dicapai pada kompetensi dasar menyampaikan informasi yang tertuang dalam standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas VIII Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan pada bab pendahuluan, ada berbagai faktor yang memengaruhi mutu keterampilan berbicara siswa. Oleh karena itu, dapat dilakukan identifikasi masalah sebagai berikut.
Peranan guru dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa belum maksimal dan masih terjadi misunderstanding dalam proses pembelajaran. Guru masih memberikan celah kepada siswa untuk bersikap pasif dan menggantungkan diri kepada guru saat proses pembelajaran. Oleh karena itu, kreativitas guru dalam menciptakan keaktivan siswa dalam berkomunikasi saat proses pembelajaran masih perlu ditingkatkan. Cara yang digunakan adalah dengan memberikan tanggung jawab kepada masing-masing individu. Dengan adanya tanggung jawab tersebut, siswa tidak akan menggantungkan diri kepada guru. Teknisnya yaitu dengan memberikan tugas kepada sebagian anggota kelompok, semisal ketua, fasilitator, pencatat waktu, notulis, juru bicara, pengamat proses, atau pengelola materi (Silberman 2004:49).
Dalam mengevaluasi keterampilan berbicara siswa, ada banyak aspek yang harus diperhatikan dan membutuhkan penilaian secara individu. Jumlah siswa yang banyak akan membutuhkan waktu presentasi yang banyak pula. Padahal, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mencakupi banyak sekali kompetensi dasar. Selain banyak aspek yang dinilai, keterampilan berbicara juga membutuhkan penilaian yang cepat dan langsung. Keterbatasan waktu menjadi penghambat guru dalam melakukan penilaian berbicara siswa. Kesulitan sistem penilaian yang dialami oleh guru dapat diatasi dengan cara siswa terlibat dalam proses penilaian dan siswa berbicara dalam kelompok-kelompok secara bersama- sama. Guru memberikan pedoman penilaian, siswa melakukan penilaian sebagai bahan pertimbangan guru. Di satu sisi guru tidak mengalami kesulitan, di sisi lain siswa juga dapat berlatih melakukan penilaian.
Dewasa ini banyak strategi pembelajaran yang tersedia. Strategi tersebut meliputi pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang cukup sesuai dengan pembelajaran bahasa. Namun, kenyataannya banyak guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang kesulitan memvariasikan strategi pembelajaran sehingga guru hanya menggunakan teknik yang itu-itu saja. Akibatnya, pembelajaran akan menjadi monoton dan siswa merasa bosan. Teknik pembelajaran berbicara tidak hanya terbatas pada ceramah, diskusi, dan penugasan. Oleh karena itu, guru dituntut supaya lebih memilih teknik pembelajaran yang merangsang siswa lebih aktif dan antusias dalam proses pembelajaran. Solusinya, guru harus pandai memilih dan menerapkan strategi pembelajaran (berupa pendekatan, metode, dan teknik) yang lebih menarik dan mampu mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Namun, pemilihan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran tersebut harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
Rendahnya keterampilan berbicara siswa juga disebabkan oleh kurangnya kemauan berlatih berbicara di kelas maupun di luar kelas. Di dalam kelas, penyebabnya adalah sikap belajar siswa yang pasif, siswa tidak mau memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh guru maupun pada saat diskusi kelompok. Di luar kelas, siswa terbiasa berbicara dengan menggunakan ragam bahasa nonformal, baik kepada teman maupun kepada guru PPL. Ada anggapan bahwa keterampilan berbicara dianggap relatif gampang dan kurang penting untuk dipelajari. Manusia lahir sudah dapat berbicara, sehingga tidak perlu lagi berlatih berbicara. Hal itu mengakibatkan kurangnya kemauan siswa berlatih berbicara di dalam kelas maupun di luar kelas. Solusinya yaitu membiasakan siswa berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam formal jika berada di lingkungan resmi. Namun, tidak ada salahnya jika melatih siswa berbicara dengan ragam formal di segala situasi. Hal itu dilakukan sebagai bentuk latihan.
Pada dasarnya hampir semua kekurangan-kekurangan itu dapat diatasi dengan penerapan pembelajaran kontekstual yang diterapkan bersama teknik pembelajaran lain. Alasan yang logis adalah pendekatan tersebut berusaha mengembalikan bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, guru dituntut memperbaiki strategi pembelajarannya. Hal ini perlu agar para siswa dapat mencapai tujuan pembelajarannya.
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan pengamatan, ada banyak permasalahan yang berkaitan dengan masalah pembelajaran keterampilan berbicara di sekolah dan harus segera dicarikan jalan keluarnya. Tentu saja hal itu membutuhkan waktu, biaya, tenaga, dan pemikiran yang banyak, sedangkan peneliti memiliki keterbatasan dalam berbagai hal tersebut. Mengingat keterbatasan waktu, tenaga, biaya, serta alasan agar pembahasan dan analisis lebih mendalam, maka dalam penelitian ini peneliti membatasi permasalahan pada upaya peningkatan keterampilan berbicara menyampaikan informasi dengan teknik information gap pada siswa kelas VIII-D SMP Negeri 5 Semarang tahun ajaran 2005/2006. Pemfokusan objek penelitian ini disebabkan kemampuan berbicara siswa kelas VIII, terutama kelas VIII-D masih rendah. Selain itu, penerapan pembelajaran kontekstual pada setiap proses pembelajaran bahasa sangat dianjurkan, maka dengan alasan itulah penelitian ini dilakukan.
1.4 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, rumusan masalahnya adalah bagaimana perubahan perilaku belajar siswa kelas VIII-D SMP Negeri 5 Semarang dalam menyampaikan informasi setelah diberikan tindakan pembelajaran menyampaikan informasi dengan teknik information gap?
No comments:
Post a Comment