BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kota–kota di Indonesia adalah pusat jaringan politik, administrasi, ekonomi dan komunikasi yang diatur dalam suatu sistem yang mencerminkan hierarki, secara nasional dan saling kait mengkait. Selain itu, kota juga merupakan pusat kegiatan kebudayaan, sosial–ekonomi serta komunikasi, serta tingkat kompleksitasnya yang ditentukan oleh kedudukannya dalam sistem adminitrasi yang berlaku (Poerwanto. 2005: 248).
Perbedaan antara desa dan kota terletak pada kepadatan relatif penduduk, kompleksitas masyarakat dan kebudayaannya, dan kedudukannya dalam administrasi negara. Sebuah kota adalah pusat dominasi yang bertingkat sesuai dengan sistem administrasi suatu kota. Selain itu, tingkat kompleksitas kota juga tercermin dalam berbagai sistem, organisasi dan struktur yang terwujud dalam pola–pola tindakan dan kelakuan warga kota dan desa yang saling berbeda (Poerwanto. 2005: 249).
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, baik pertumbuhan alami maupun semakin kerasnya urbanisasi menyebabkan kota-kota besar di Indonesia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan penduduknya, terutama kebutuhan rumah tinggal. Kaum pendatang terutama yang tidak memiliki keahlian tertentu dan atau hanya mengandalkan tenaga yang dimilikinya saja, mereka biasanya mendirikan gubuk-gubuk liar di tanah kosong sebagai tempat tinggal. Pemandangan kampung-kampung miskin dan daerah penghuni gubuk- gubuk liar merupakan gejala umum di negara berkembang, termasuk Indonesia (Taylor. 1995: 90).
Jakarta selain menjadi pusat pemerintahan juga dikenal sebagai kota perdagangan dan kebudayaan. Dengan kedudukannya sebagai Ibu Kota Republik Indonesia, Jakarta merupakan pusat kegiatan kebudayaan yang jaringannya meliputi suatu kompleks satuan-satuan administrasi, politik, ekonomi dan komunikasi. Mungkin bukan suatu kebetulan bila fenomena urban (urban phenomena) terjadi lewat suatu proses perpindahan domisili yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota di tahun 1980-1990. Karena daya tarik kota Jakarta yang menyediakan berbagai fasilitas dan kemungkinan masa depan, masyarakat pedesaan kemudian berdatangan menyerbu apa yang tidak mereka dapatkan di kampungnya, seperti : lapangan pekerjaan, gaji yang memadai dan sebagainya. Oleh karena itu sulit dibayangkan terjadi urbanisasi tanpa tersedianya lapangan pekerjaan pada sentra-sentra industri di perkotaan Jakarta pada tahun 1980-1990.
Kemampuan teknis dan latar belakang pendidikan yang pas-pasan, menyebabkan kedatangan mereka ke kota Jakarta tidak berada pada tempat strategis, baik tempat tinggal maupun profesi kerja. Oleh karena itu sebagian terbesar dari para urban pedesaan ini bekerja sebagai buruh pabrik atau sektor informal lain yang nilai investasinya rendah serta tinggal di pinggiran kota (yang sering sekali kumuh) dengan biaya hidup yang masih mungkin dijangkau (Huriyuddin. 1997 : 39).
Berdasarkan tingkat pendapatannya, pendapatan yang mampu diperoleh para penghuni hunian kumuh, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik atau sekitar tingkat subsistensi. Kondisi sosial–ekonomi mereka yang miskin dan terisolasi, disebabkan oleh aktivitas ekonomi mereka yang tidak dapat mencukupi kehidupannya. Di antara mereka ini adalah kaum pendatang musiman, para pekerja tak tetap atau orang yang sedang mencari pekerjaan.
”Mereka tidak memiliki tempat tinggal sehingga membentuk ‘masa apung’ di kota” (Evers. 1995: 79-80). Di pinggir kota Jakarta itulah, pendatang kampung ini kemudian membentuk suatu masyarakat kaum pinggiran di tengah kehidupan kota Jakarta. Komunitas pinggiran masyarakat ini menyebabkan munculnya kaum kumuh atau pemukiman kumuh di Kampung Jatipulo tahun 1980-1990. Dikemukakan oleh Turner, bahwa “kampung kumuh merupakan kawasan hunian masyarakat dengan ketersediaan sarana umum buruk atau tidak sama sekali” (Pontoh. 1994: 20).
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang mendasar dalam kehidupan manusia. Fenomena terjadinya komunitas pinggiran di kampung Jatipulo pada tahun 1980-1990 ini terjadi tidak semata-mata disebakan sistem ekonomi semata, tetapi lebih merupakan gejala yang terwujud sebagai hasil interaksi yang melibatkan hampir semua aspek dalam masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam konteks budaya kota, komunitas kumuh atau slum di kota, kiranya dapat pula dipandang sebagai sub budaya tersendiri; terutama yang berkaitan dengan proses sosialisasi dan social adjustment1 dalam menghadapi kompleksitas kehidupan suatu kota yang berkembang pesat.
Perspektif yang wajar apabila kaum pinggiran di Kampung Jatipulo sebagai penduduk yang secara ekonomis dan politik menderita kekurangan, dan kelakuan, nilai–nilai, dan segala patologinya merupakan hasil adaptasi situasi dimana mereka hidup. Demikian juga halnya dengan kelakuan, nilai- nilai, serta patologi-patologi mereka berada yang juga merupakan hasil adaptasi terhadap situasi dimana mereka hidup (Gans. 1995 : 45).
Keanekaragaman suku bangsa dan golongan sosial di kota, telah memunculkan terjadinya berbagai strategi adaptasi. Pemahaman terhadap strategi adaptasi yang di terapkan oleh suatu suku bangsa dan golongan sosial tertentu di kota mencerminkan bentuk kognitif yang dipelajari melalui proses sosialisasi dari pendukung suatu kebudayaan. Dalam suatu perilaku sosial, masyarakat kampung Jatipulo pun mengalami perubahan seperti: pola hidup bertetangga, apresiasi seni dan budaya, praktek ekonomi, sikap berorganisasi dan kelompok serta terjadinya penyimpangan perilaku di masyarakat akibat dari benturan budaya yang mereka bawa. Budaya tradisional dan budaya modern yang mau tidak mau harus mereka jalani dalam suatu perubahan sosial.
1 social adjustment = Penyesuaian diri dengan cepat terhadap macam-macam perubahan sosial.
Dalam kehidupan sosial masyarakat, hubungan antar warga dalam suatu wilayah perkampungan yang padat, umumnya cukup erat jika dibandingkan dengan hubungan antar warga dalam suatu wilayah pemukiman elite (Abdurrachman. dkk. 1985: 38). Terciptanya hubungan antar warga di perkampungan Jatipulo disebabkan kerapnya para warga bertatap muka, selain didorong pula oleh kondisi tingkat ekonomi mereka yang sama sehingga mereka merasa senasib.
Masyarakat kaum pinggiran kampung Jatipulo yang terletak di daerah kecamatan Palmerah semakin padat mulai tahun 1980, ketika banyaknya pendatang dari daerah–daerah lain mengalir ke Jakarta. Mereka membangun gubuk–gubuk asal jadi dan mulai mencari pekerjaan untuk mempertahankan kelangsungan hidup sehingga menyebabkan terjadinya suatu perubahan sosial dalam kehidupan mereka. Dalam proses perubahan sosial tersebut banyak sekali terjadinya penyimpangan perilaku dan masalah–masalah sosial yang bertentangan di masyarakat yang disebabkan oleh faktor–faktor sosial dan pengaruh budaya yang mereka terima akibat gejala-gejala patologi 2 yang merupakan hasil adaptasi terhadap situasi dimana mereka hidup. Penyimpangan tingkah laku atau deviasi. Kondisi ini diperoleh berupa tindakan kejahatan yang menjurus ke kriminalitas.
2 Patologi (pathos = penderitaan, penyakit): ilmu tentang penyakit. Patologi sosial=ilmu tentang gejala–gejala sosial yang dianggap “sakit” , disebabkan oleh faktor–faktor sosial. Atau segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum dan adat- istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum (Kartono. 2003 : 1).
Kondisi lingkungan dan perubahan–perubahan yang cepat, norma– norma dan sanksi sosial yang semakin longgar serta berkonflik, memberikan pengaruh yang mengacu dan memunculkan disorganisasi dalam masyarakat. Dan juga adanya tindakan immoral berupa pelacuran oleh wanita–wanita muda dan gadis remaja. Semua tindakan terhadap penyimpangan perilaku atau deviasi tersebut akibat dari pengaruh budaya yang di terima dalam suatu perubahan sosial masyarakat kaum pinggiran.
Berdasarkan uraian dan penjelasan, penulis tertarik mengkaji perubahan sosial masyarakat kaum pinggiran di Kampung Jatipulo, kecamatan Palmerah. Jakarta Barat dalam perspektif sejarahnya dengan judul “KAUM PINGGIRAN DI KAMPUNG JATIPULO, KECAMATAN PALMERAH. JAKARTA BARAT TAHUN 1980–1990”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan penjelasan latar belakang pemilihan judul di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
- Mengapa muncul kaum pinggiran di Kampung Jatipulo ?
- Bagaimana perkembangan kaum pinggiran di Kampung Jatipulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat ?
- Bagaimana pengaruh munculnya kaum pendatang terhadap kehidupan sosial-ekonomi penduduk asli Kampung Jatipulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat ?
No comments:
Post a Comment