BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puasa adalah merupakan ibadah yang sudah dikenal oleh umat-umat sebelum Islam, baik pada zaman jahiliyah atau umat-umat lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam al-Qur’an
Artinya: “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu mudah-mudahan kamu semua bertaqwa”. (Al Baqarah 183 )1
Ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa orang-orang Quraisy pada zaman jahiliyah dan orang-orang Yahudi melakukan puasa pada bulan Asyura’. Dan hakekat puasa itu sendiri adalah menahan diri dari berbagai macam hawa nafsu, merasakan penderitaan haus dan lapar serta larangan untuk berkumpul (bersetubuh) dengan istri. Kemudian, itu dilakukan karena semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Sedangkan puasa yang disyariatkan bagi umat Muhammad yaitu puasa bulan ramadlan.Sebagaimana Firman Allah SWT.
1 Departemen Agama RI,Al-qur’an dan terjemahannya,Semarang,PT.Kumudasmoro
Grafindo, 1994. hal 44
Artinya : ( Beberapa hari yang ditentukan itu ialah ) bulan ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil) karena itu,barang siapa diantra kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) dibulan itu,hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu ( Al-baqarah 185).2
Bagi orang yang berpuasa dilarang makan, minum dan bersetubuh. Demikian juga mereka dilarang dari perbuatan keji, bertengkar, mencela, berdusta dan segala macam maksiat. Artinya bahwa orang yang sedang berpuasa itu dilarang dari segala hal yang berlawanan dengan arti materiel puasa itu sendiri, seperti; makan, minum dan bersetubuh. Selian itu juga hal-hal yang berlawanan dengan arti
morel seperti kebodohan, perbuatan jahil, segala macam maksiat dan dosa. 3
Hal ini semua sebagaimana diterangkan dalam al-qur’an dan hadits. Firman Allah swt
2 Ibid,hal 44
3 Dr. Yusuf al Qardlawi, Fiqih Puasa, alih bahasa Dr. Nabilah Lubis ., M.A.(Jakarta: P.T. Raja Grafindo, 2000) hlm.149-151.
Artinya: “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai( datang ) malam”.4
Ketiga macam batasan inilah yang melarang orang-orang puasa mulai dari terbit fajar sampai masuk malam, yakni matahari terbenam, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits. Hal itu juga diperkuat oleh penjelasan hadits Qudsi sebagai berikut:
Artinya: “Seluruh amal bani Adam (manusia) baginya. Allah swt berfirman: “ kecuali puasa, karena puasa itu hanya bagiku, dan Aku akan membalasnya. Ia rela meninggalkan makanan, minuman, kelezatan dan istrinya karena Aku’’.5
Mengenai batasan-batasan ini yakni larangan makan, minum bersetubuh dan lain-lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, pada suatu keadaan tertentu mungkin kita akan menemui kesulitan untuk menentukan terbit atau terbenamnya matahari, misalnya ketika hari sedang mendung dan sebagainya yang tidak memungkinkan kita melihat secara langsung terbit atau terbenamnya matahari. Dan hal itu akan menyulitkan kita untuk menentukan waktu berbuka (ifthar) sehingga akan berpengaruh pada kesempurnaan puasa kita.
4 Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnnya ( Jakarta: Kumudasmoro Grafindo
Semarang, 1994) hlm 45.
5 Yusuf Qardlawi, OP.Cit., hlm152.
Mengenai hal ini ada beberapa pendapat ketika seseorang makan, minum atau bersetubuh karena menyangka bahwa matahari telah terbenam, tapi ia keliru.
Menurt Ibnu Hazm puasa seseorang sempurna seperti yang telah diungkapkan dalam kitab Al Muhalla
Artinya:” Adapun orang yang lupa bahwa ia sedang berpuasa Ramadhan atau sedang berpuasa wajib lainya atau puasa sunat kemudian ia makan, minum, wathi dan maksiat ; dan orang yang mengira ia berada di malam hari kemudian melakukan sesuatu dari yang tersebut tadi padahal sudah subuh ( terbit fajar) atau menyangka matahari telah tenggelam kemudian melakukan sesuatu yang tersebut tadi padahal matahari belum tenggelam, maka sesungguhnya puasa dari setiap orang yang kami sebutkqan tadi adalah sempurna”.
6 Ibnu Hazm, Almuhalla juz v, Bairut Daar Al Fikri, tth, hlm 220.
Pendapatnya tersebut didasarkan pada firman Allah swt
Artinya: “Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu (Al- Ahzab : 5).7
Dan hadits Nabi saw
Artinya ;”Tidak dibebankan suatu hukum pada umatku suatu kesalahan, kelupaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya”.
Kemudian Ibnu Taimiyah, ia juga menyinggung masalah ini didalam kitabnya majmu’ah fatalah ibnu Taimiyah seperti di bawah ini ;
hlm 64.
7 Depag RI, Op.Cit,hal. 667
8 Ibid, hlm 220
9 Ibnu Taimiyah, Majmu’ah Fatawa Ibnu Taimiyah, Jilid IV( Bairut Daar Al Fikri, 1980)
Artinya :” Barang siapa makan pada bulan Ramadhan sedang ia mengira ( yakin) bahwa hari telah malam kemudian terang baginya bahwa hari masih siang maka tidak ada qadla baginya” .
Isha’ bin Rawaih dan daud berpendapt bahwa puasanya sah, dan tidak wajb mengadla, yang demikian itu diceritakan dari atha, Urwah bin Zubair, Hasan Basri, dan Mujahid. Mereka mengambil dalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh baihaqi dari Zaid bin Wahb, ia berkata; “ketika kami sedang duduk di masjid Madinah pada bulan Ramadhan, saat itu langit mendung, dan hari memang sudah sore. Kemudian kami diberikan bejana besar yang berisi susu dari rumah Hafsah, maka sahabat Umar ra dan kami meminumnya,sesaat kemudian awan bergerak dan tampaklah matahari, maka terjadilah pembicaraan diantara kami yang mengatakan bahwa kami harus mengqadla puasa ini, lalu hal itu didengar oleh sahabat Umar dan beliau berkata; “ demi Allah kita tidak akan mengqadlanya dan
tidak berdosa.10
Dan telah dijelaskan pula dalam Shahih Bukhari dari Asma’ binti Abi Bakar ia berkata
Artinya:” Pada suatu hari yang mendung di bulan Ramadlan kami berbuka dengan Rasulullah saw, kemudian tiba-tiba matahari terbit”.11
Demikianlah pendapat para ulama yang menyatakan bahwa kesempurnaan
puasa seseorang apabila seseorang mengira masuknya waktu malam yang
10 Yusuf Qardlawi, Op.Cit., hlm192.
11 Ibid
mengerjakan hal-hal yang membatalkan puasa dan tidak adanya kewajiban mengqadla puasa baginya .
Dalam hal ini seorang ulama mazhab yakni imam Malik menyatakan pendapat yang berbeda yang mewajibkan qadla bagai seseorang yang mengira hari telah masuk malam yang kemudian melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dan menyatakkan bahwa puasa orang tersebut tidak sempurna.
Seperti halnya yang telah diungakapkan oleh Al Kasnawi dalam kitab
Ashalul Madaarik yaitu ;
Artinya :“ wajib qadla puasa bagi orang yang berbuka walaupun ia lupa, atau bodoh atau dipaksa atau karena sakit atau haid atau dalam perjalanan atau niat puasa ramadlan dengan niat puasa sunah atau niat puasa nazar atau niat puasa qadla atau karena menyangka masih malam atau sudah masuknya malam kemudian jelas kesalahan sangkaannya itu”.
Demikian sekilas pendapat Imam Malik tentang qadla puasa bagi orang yang berbuka karena menyangka sudah masuknya waktu malam,sehingga penulis tertarik untuk mengkajinya lebih jauh, bagaimana pendapat dan istimbath hukum Imam Malik untuk dijadikan sebuah skripsi yang berjudul: ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG QADLA PUASA BAGI ORANG YANG IFTHAR KARENA PERSNGKAAN MASUKNYA MALAM.
12 Al Kasnawai , Ashalul Madaari’ Juz I, Bairut Daar Al-Kutub Ala’alamiyah, tth, hml.258.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka muncul pokok permasalahn yang akan diungkap dalam penulisan skripsi ini adalah :
- Bagaimana pendapat Imam Malik tentang qadla puasa bagi orang yang ifhar karena persangkaan masuknya malam ?
- Bagaimana yang menjadi dasar pertimbangan hukum Imam Malik dalam mendukung pendapatnya itu ?
No comments:
Post a Comment