ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG PERJANJIAN UNTUK TIDAK BERPOLIGAMI DALAM AKAD NIKAH

 On 17 March 2010  

BAB I


PENDAHULUAN


A.  Pendahuluan


Hukum   agama   yang   sahih   dan   pikiran   yang   sehat   mengakui perkawinan sebagai suatu hal yang suci dan kebisaan yang baik dan mulia. Jika  diukur  dengan  neraca  keagamaan,  perkawinan  menjadi  dinding  yang kuat, yang memelihara manusia dari dosa-dosa disebabkan oleh nafsu seksual di jalan yang haram.1


Pernikahan  adalah  landasan  bangunan,  dan  kedudukan  keluarga sangatlah penting dalam pandangan al-Qur'an, berdasarkan banyaknya ayat yang berbicara tentang hubungan pernikahan, hubungan orang tua dengan anak, dan hubungan antar keluarga. Mempunyai anak dan mengasuhnya dengan baik sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan spesies manusia. Hubungan pernikahan dan hubungan keluarga memberikan fondasi


bagi lahirnya generasi-generasi yang akan datang.2


Apabila  dua  orang  pria  dan  wanita  terikat  dalam  perkawinan, keduanya  akan  hidup  nyaman  dan  tentram  dua  sejoli,  hidup  sebagaimana suami isteri dengan hak dan kewajiban bersama membangun suatu rumah tangga yang sejahtera, saling tolong-menolong, saling kasih dan mencintai. Apabila akad itu telah dilangsungkan maka landasan kukuh untuk berpijak 1  H.S. M. Nasruddin Latif, Ilmu Perkawinan Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung : Pustaka Hidayat, 2001, hlm. 4


2 Lynn Wilcox, Women and the Holy Qur’an : A Sufi Perspektive, (tarj.) Dictia“ Wacana dan al-Qur'an dalam Perspektif Sufi”, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 125.


dalam  membangun  suatu  keluarga  sejahtera  telah  terpancang,  sehingga tercapailah suatu kelurga sejahtera, aman dan tentram.3


Islam menganjurkan perkawinan mengandung manfaat baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat pada umumnya. Di antara manfaat perkawinan adalah bahwa perkawinan dapat menentramkan jiwa, menahan emosi,  menutup  pandangan  dari  segala  yang  dilarang  Allah  dan  untuk menjaga kasih sayang suami isteri yang dihalalkan Allah.4


Sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21 :


Artinya : Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri. Supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. ar-Rum :21).5


Perkawinan merupakan ikatan yang kuat “ mitsaqan ghalidhan” antara pria dan wanita untuk selamanya. Oleh karena itu tujuan perkawinan adalah membentuk tatanan yang diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Tujuan tersebut dapat kita lihat dalam Undang-undang perkawinan


No. 1 Tahun 1974 bab I Pasal 1, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin 3  Kaelany HD, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 141.


4  H. S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (tarj.) Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam,


Jakarta : Pustaka, 1998, hlm. 16.


5 Departeman Agama RI, al-Qur'an  dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1998, hlm.


644.


antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.6


Perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan) sebab kalau tidak dengan nikah tentu anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggungjawab atasnya. Dari perkawinan itu akan melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat, kemudian keturunan tersebut akan membangun rumah tangga yang baru dan keluarga yang  baru.


Tidak diragukan bahwa perzinaan merupakan bahaya terburuk dalam perkembangan hidup manusia, betapa tidak, dan bagaimana akibatnya jika perzinaan itu merajalela dalam masyarakat, akan bertebaran manusia-manusia yang lahir dari pasangan pria dan wanita zina. Terlahir keturunan yang tidak sah, lalu muncul lagi masalah-masalah rumit yang berkaitan dengan masalah keluarga, masalah waris, masalah perwalian, pemeliharaan anak, dan sebagainya. Karena itulah, Islam  menggariskan suatu aturan akad nikah untuk menghalalkan  pergaulan pria  dan wanita,  yang    sekaligus dapat menyelamatkan pasangan tersebut dari kebinasaan hawa nafsunya.7 1019


6 Redaksi Sinar Grafika, UU Pokok Perkawinan, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm. 1


7 Kaelani Ahmad, loc. cit.


8  Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, Lebanon: Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.th., hlm.


Artinya : “Dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah berkata : Telah bersabda kepada kita Rasulullah Saw Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk      menikah,      karena      sesungguhnya      pernikahan      itu menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan, kalau belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya.” (H.R Bukhari Muslim).


Dengan   perkawinan   terjaga   dan   terpeliharalah   perempuan   yang bersifat lemah itu dari kebinasaan. Alangkah malang nasib wanita yang menyia-nyiakan kecantikannya waktu muda dengan berfoya-foya dan bergaul bebas tanpa batas. Kemudian setelah habis manis sepah dibuang maka wanita itu tinggal seorang diri, tidak ada suami yang memeliharanya dan tidak ada anak yang menyayanginya.9


Suatu kenyataan yang harus diingat ialah bahwa dengan perkawinan, dapat dicapai pembagian kerja yang logis dan harmonis antara suami dan isteri guna ketentraman jiwa dan kebahagiaan hidup. Semua orang dapat melihat atau merasakan bahwa manusia sebagai pribadi bukanlah makhluk yang lengkap, yang dapat berdiri sendiri. Organisme cucu Adam tidak bisa berfungsi dengan sempurna jika makhluk lain yang membantunya.


Nyata bahwa perkawinan adalah jalan yang wajar untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Pemenuhan kebutuhan jasmani jika dialirkan  pada  saluran  yang  halal,  niscaya  tidak  mangandung  perasaan bersalah atau dosa dilakukan di jalan yang  haram.10


Ayat tentang poligami dibolehkan dengan bersyarat, pada surat an-Nisa ayat 3, secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan


9 Kaelany HD, op. cit, hlm. 143


10 H. S. M., Nasruddin Latif, op. cit., hlm. 17


kepada anak-anak yatim. Ayat ini diturunkan segera setelah perang Uhud ketika masyarakat muslim dibebankan dengan banyaknya anak yatim serta tawanan perang,  maka    perlakuan itu diatur  dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Para ulama dan fuqaha telah menetapkan persyaratan bila seorang ingin menikahi lebih dari seorang isteri :


-     Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi


-     Dia harus memperlakukan semua isterinya itu dengan adil. Setiap isteri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.11


Sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3 :


Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terahdap (hak- hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah  wanita-wanita  (lain)  yang  kamu  senangi  dua,  tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka  (kawinilah)  seorang  saja,  atau  budak-budak  yang  kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat


aniaya.” ( Q. S. an-Nisa ayat 3).12


Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang  dapat


menjamin  keadilan  suami  kepada  isteri-isteri  terpenuhi.  Namun  demikian,


11 Abdurrahman I. Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.


14


12 Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 115


hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri dapat dipenuhi dengan baik.13


Dalam kitab Abu Daud dari harits bin Qais, berkata :


Artinya : “saya masuk  Islam  bersama-sama dengan delapan isetri saya, lalu saya menceritakan kepada Nabi Saw”. maka sabda beliau “ maka pilihlah empat orang di antara mereka”.


Sebelum perkawinan dilangsungkan terkadang ada syarat-syarat yang disepakati oleh kedua mempelai atau dari pihak orang tua mempelai yang tujuannya demi kebaikan calon mempelai, karena untuk membina rumah tangga selanjutnya.


Di dalam kitab-kitab fiqh telah membahas mengenai syarat-syarat tersebut. Adapun pengertian syarat dalam perkawinan ialah :


Artinya : “Sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu mempelai atas suatu yang lain, yang mana sesuatu itu memang dikehendaki adanya tujuan “.

Ada akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, dan ada pula 170.


13 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.


14 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (tarj.), Muh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1997, hlm. 150.


15 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam, juz, VII,  Beirut : Dar al-Fikr, 1997, hlm. 53


yang  dilarang  oleh  syara’  masing-masing  syarat  itu  mempunyai  hukum tersendiri.16


Ulama fiqh sepakat bahwa syarat yang sesuai dengan tujuan akad harus dipenuhi oleh kedua mempelai. Misalnya syarat akan mempergauli isteri dengan baik, pakaian, tempat tinggal dan akan minta izin pada suami apabila isteri bepergian dan syarat lain yang sifatnya tidak menyeleweng dari hukum Allah.


Mereka juga sepakat tentang melarang syarat yang tidak sesuai dengan tujuan akad, misalnya syarat bahwa suami tidak akan memberikan nafkah kepada  isteri, tidak akan memberi maskawin atau isteri harus memberi nafkah kepada suami atau isteri hanya akan dipergauli pada siang hari, tidak malam hari atau syarat lain yang bertentangan dengan tujuan akad.


Akan tetapi, ulama fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat yang tidak sejalan tetapi tidak berlawanan dengan tujuan akad. Artinya syarat tersebut memang bermanfaat bagi salah satu calon mempelai, misalnya syarat bahwa isteri tidak akan diusir dari rumah atau kampungnya, tidak berpergian bersama (isteri), tidak akan kawin lagi dan sebagainya.17


Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa perkawinannya sah tetapi syarat itu sia-sia, tidak mengikat, suami tidak wajib memenuhi janjinya,18 mereka beralasan dengan hadits :


16 H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 59


17 Wahbah al-Zuhaily, op. cit., hlm. 34


18   H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 33


Artinya : “Dari Umar r.a : Semua syarat yang tidak sesuai dengan kitabulllah maka syarat itu batal meskipun seratus syarat”.


Mereka  berpendapat  bahwa  syarat-syarat  di  atas  bukan  dari  kitab Allah, karena syari’at tidak menghendakinya dan syarat tersebut tidak akan menambahkan kebaikan akad dan tujuan akad.20


Artinya :     Dari    Umar    bin    Auf    al-Mazani    r.a    bahwa   Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda : “Orang Islam itu terikat dengan syarat  yang  mereka  buat,  kecuali  syarat  menghalalkan  yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Turmudzi dan hadits ini Shahih)


Mereka     berpendapat    bahwa     syarat-syarat     di     atas    dianggap mengharamkan yang halal, seperti  kawin lagi (poligami) dan bepergian kedua hal itu adalah halal.??


Sebagian ulama lainnya. Hambaliyah mewajibkan dipenuhinya syara-


syarat  terhadap  wanita.  Apabila  tidak  dipenuhi  maka  perkawinanya  dapat difasakhkan.23


Mereka beralasan dengan hadits Nabi :


19  Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1992, hlm. 251.


20 H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 34.


21 Ismail al-Kahlani, Subu al-Salam, juz III, Semarang: Toha Putra, hlm. 59.


22 Sayid Sabiq, op, cit, hlm. 72


23 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz. VII, Dar al-Kutb al-Alamiyah, hlm. 448.


24 Imam Muslim, op. cit., hlm. 1036.


Artinya :  Dari Uqbah bin Amir telah berkata : telah berabda Rasulullah Saw: Syarat yang lebih patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata perempuan. (HR Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir).


Pendapat yang mangatakan kalau syarat tidak berpoligami dalam akad nikah dianggap mengharamkan yang halal terbantah, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang halal tetapi memberikan pilihan bagi si perempuan untuk minta fasakh apabila syarat itu tidak dipenuhi.25


Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkajinya dalam sebuah skripsi, khususnya mengenai masalah ”Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qudamah   Tentang Perjanjian Untuk Tidak Berpoligami Dalam Akad Nikah”.


B.  Permasalahan


Berpijak pada latar belakang masalah di atas, ada beberapa pokok permasalahan yang  hendak  dikembangkan dan dicari  pangkal penyelesaiannya, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :




  1. Bagaimana  metode istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dengan perempuan lain dalam akad nikah ?

  2. Bagaimana  pendapat  Ibnu  Qudamah  tentang  perjanjian  untuk  tidak berpoligami dalam akad nikah dalam perspektif keadilan gender ?

ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG PERJANJIAN UNTUK TIDAK BERPOLIGAMI DALAM AKAD NIKAH 4.5 5 Win Solution 17 March 2010 BAB I PENDAHULUAN A.  Pendahuluan Hukum   agama   yang   sahih   dan   pikiran   yang   sehat   mengakui perkawinan sebagai suatu hal yang s...


Skripsi Lengkap (bab 1-5 dan daftar pustaka) untuk judul diatas bisa dimiliki segera dengan mentransfer dana Rp300ribu Rp200ribu. Setelah proses pembayaran selesai skripsi dalam bentuk file/softcopy langsung kita kirim lewat email kamu pada hari ini juga. Layanan informasi ini sekedar untuk referensi semata. Kami tidak mendukung plagiatisme. Cara pesan: Telpon kami langsung atau ketik Judul yang dipilih dan alamat email kamu kirim ke 089 9009 9019

Kami akan selalu menjaga kepercayaan Anda!

No comments:

Post a Comment

Jurnalskripsitesis.com. Powered by Blogger.