ANALISIS PENDAPAT NURCHOLIS MAJID DKK TENTANG HUKUM WARIS MEWARISI ANTARA MUSLIM DAN NON MUSLIM

 On 17 March 2010  

BAB I
PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang Masalah


Membicarakan faraidh atau kewarisan berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian fiqh Mawarits mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup.1


TM.Hasbi ash-Shiddieqy mendefinisikan fiqh mawaris sebagai "ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang diterima oleh setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya".2


Dalam istilah sehari-hari fiqh mawaris disebut juga dengan hukum warisan yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqh mawaris. Bedanya, fiqh mawaris menunjuk identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, bisa mencakup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata.


Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum 1 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 147


2 TM.Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 6. 1


Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan, “warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup".3


Menurut Ahmad Rofiq beberapa pengertian yang dikemukakan para sarjana tentang fiqh mawaris dapat ditegaskan bahwa pengertian fiqh mawaris adalah fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa orang yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli waris, dan bagaimana cara penghitungannya.4


Dalam hubungannya dengan keterangan di atas, dalam hukum waris Islam ada ketentuan halangan untuk menerima warisan. Halangan untuk menerima warisan atau disebut dengan mawani’ al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Hal-hal yang dapat menghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu 1). Pembunuhan (al-qatl), 2). Berlainan agama (ikhtilaf al-din), 3). Perbudakan (al-‘abd), dan yang tidak disepakati ulama adalah 4). Berlainan negara.5


Dalam hubungannya dengan waris mewarisi antara muslim dengan non muslim (waris beda agama) telah ditentukan bahwa berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan almuwarris, salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya,


3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1983,


hlm.13 4 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.4 5 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Pustaka Amani, 1981, hlm. 13.


ahli waris beragama Islam, muwarissnya beragama Kristen, atau sebaliknya. Demikian kesepakatan mayoritas Ulama. Jadi apabila ada orang meninggal dunia yang beragama Budha, ahli warisnya beragama Hindu di antara mereka tidak ada halangan untuk mewarisi. Demikian juga tidak termasuk dalam pengertian berbeda agama, orang-orang Islam yang berbeda mazhab, satu bermazhab Sunny dan yang lain Syi'ah.


Dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:6


Artinya:   Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Nabi saw. Bersabda: Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim. (Muttafaq 'alaih).


Hadits riwayat Ashhab al-Sunan (penulis kitab-kitab al-Sunan) yaitu Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasa'i, dan Ibn Majah sebagai berikut:7


6Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 4, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 194, Sayid al-Iman Muhammad ibn Ismail ash-San’ani, Subul as-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillat al-Ahkam, Juz 3, Mesir: Mushthafa al babi al-Halabi Wa Auladuh, 1379 H/1960 M, hlm. 98


7Al- Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad -Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, 137. Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram Fi Adillati al-Ahkam, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah tth, hlm. 196.


Artinya: "dan dari Abdullah bin Umar ra., mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada waris mewarisi terhadap orang yang berbeda agama (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Nasa’i juga meriwayatkan dari Usamah bin Zaid).


Hal ini diperkuat lagi dengan petunjuk umum ayat l4l surat al-Nisa' sebagai berikut:


Artinya:    Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang mukmin) (QS. al-Nisa: l4l).8


Nabi SAW. sendiri mempraktikkan pembagian warisan, di mana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang mewarisi. Ketika paman beliau, Abu Thalib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi SAW. meninggal sebelum masuk Islam, oleh Nabi SAW. harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu 'Uqail dan Thalib. Sementara anak-anaknya yang telah masuk Islam, yaitu 'Ali dan Ja'far, oleh beliau tidak diberi bagian.9


Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwarris berbeda agama atau tidak, adalah pada saat muwarris meninggal. Karena pada saat itulah hak warisan itu mulai berlaku. Jadi misalnya ada seorang muslim meninggal dunia, terdapat ahli


8Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,


Depag RI, 1986, hlm.  103 99 Ahmad Rofiq, op. cit, hlm.36


waris anak laki-laki yang masih kafir, kemudian seminggu setelah itu masuk Islam, meski harta warisan belum dibagi, anak tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan si mati. Dan bukan pada saat pembagian warisan yang dijadikan pedoman. Demikian kesepakatan mayoritas Ulama.10


Terhadap kesepakatan mayoritas ulama di atas, ternyata ada cendekiawan muslim Indonesia yaitu Nurcholis Madjid, dkk, justru mengemukakan pendapat yang menyentak sebagian umat Islam. Pendapatnya ia ungkapkan dalam buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama, dengan mengatakan:


Dalam pandangan yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama fikih merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman waris beda agama, melainkan hadits yang bersifat umum, karenanya, ayat tersebut tidak bisa serta merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda agama. Dalam banyak ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama langit (Kristen, Yahudi dan Shab’ah) dan mereka yang beramal shaleh. Mereka pun akan mendapatkan surga di hari kiamat nanti. Dengan demikian, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu al-arham), keturunan (nasab) dan menantu (shakhr), apapun agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan Logikanya, bila Islam menghargai agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.11


Menariknya pendapat di atas adalah karena Nurcholish Madjid, dkk, berani membuat terobosan baru yang kontroversil dan bersedia mengambil resiko dihujat secara bertubi-tubi. Padahal masalahnya sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa waris beda agama merupakan penghalang untuk waris mewarisi. Dari sini muncul masalah apa yang melatar belakangi


10 Ibid, hlm. 36


11 Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004,hlm. 167


pemikiran Nurcholish Madjid sehingga membolehkan waris mewarisi antara muslim dan non muslim. Berdasarkan keterangan di atas mendorong penulis memilih judul ini dengan tema: Analisis Pendapat Nurcholis Madjid Tentang Hukum Waris Mewarisi Antara Muslim  Dan Non Muslim


B. Perumusan Masalah


Permasalahan  merupakan  upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.12 Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:




  1. Bagaimana pendapat Nurcholis Majid tentang hukum waris mewarisi muslim dan non muslim?

  2. Bagaimana Metode istinbath hukum Nurcholish Madjid?

ANALISIS PENDAPAT NURCHOLIS MAJID DKK TENTANG HUKUM WARIS MEWARISI ANTARA MUSLIM DAN NON MUSLIM 4.5 5 Win Solution 17 March 2010 BAB I PENDAHULUAN A.  Latar Belakang Masalah Membicarakan faraidh atau kewarisan berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang ...


Skripsi Lengkap (bab 1-5 dan daftar pustaka) untuk judul diatas bisa dimiliki segera dengan mentransfer dana Rp300ribu Rp200ribu. Setelah proses pembayaran selesai skripsi dalam bentuk file/softcopy langsung kita kirim lewat email kamu pada hari ini juga. Layanan informasi ini sekedar untuk referensi semata. Kami tidak mendukung plagiatisme. Cara pesan: Telpon kami langsung atau ketik Judul yang dipilih dan alamat email kamu kirim ke 089 9009 9019

Kami akan selalu menjaga kepercayaan Anda!

No comments:

Post a Comment

Jurnalskripsitesis.com. Powered by Blogger.