BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak bergulirnya reformasi pada tahun 1997, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan syari’at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Nangroe Aceh yang telah lama dikenal sebagai Serambi Makkah. Bagi masyarakat Aceh, semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Aceh. Apabila pembicaraan tentang syari’at Islam pada saat penyusunan UU Perkawinan dan Peradilan Agama mengundang sinisme dari sebagian anggota masyarakat, maka pada era reformasi sekarang ini pembahasannya dilakukan dengan kewajaran, “nuchter”, dan lebih objektif.1
Pada tanggal 19 Juli 1999, RUU tentang Propinsi Nangroe Aceh Darussalam disahkan oleh DPR, melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dalam kedua undang-undang tersebut dinyatakan diberlakukannya syari’at Islam di Propinsi Aceh. Misalnya pasal 4 UU No. 44 Tahun 1999 menyatakan bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah Istimewa Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam
1 Moh. Zahid, (ed), Syari’at Islam, UU NAD dan Hukum Nasional, dalam Republika, Edisi
25 Mei, 2002, hlm. 6.
1
bermasyarakat. Dalam pengembangan dan pengaturannya, daerah tetap menjaga kerukunan antar umat beragama.2 Peluang tersebut semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nangroe Aceh Darussalam. Disamping itu pada tingkat daerah, pelaksanaan syari’at Islam telah dirumuskan secara yuridis melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang telah diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 43 Tahun 2001, juga Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan syari’at Islam. Pada tanggal 1 Muharram 1424 Hijriyah, bertepatan dengan 4 Maret 2003, telah diumumkan berlakunya syari’at Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001. Peristiwa ini merupakan kabar terbaik bagi masyarkat Aceh, yang sekaligus menandai babak baru perjalanan syari’at Islam di Indonesia. 3
Pemberlakuan yang dimaksud adalah melalui Mahkamah Syari’ah (MS) yang berwenang memeriksa perkara-perkara umat Islam di propinsi tersebut berdasarkan hukum Islam yang berlaku di Indonesia dalam konteks hukum nasional. Selain itu, akan diberlakukan juga hukum Islam berdasarkan berbagai qanun Nangroe Aceh Darusalam yang dirumuskan dari syari’at
2 Abdurrahman Wahid, ketika masih menjabat sebagai presiden, menyatakan bahwa syari’at Islam di Aceh hanya diberlakukan untuk orang Islam, bukan untuk orang non Islam. Mereka tetap dikenai hukum nasional. Artinya, orang-orang yang tidak menganut agama Islam diberi kebebasan untuk menerapkan atau dikenai hukum nasional. Lihat Kompas, Edisi 4 Mei,
2001, hlm. 3.
Islam. Sampai saat ini Pemerintah Daerah dan DPRD Nangroe Aceh Darussalam telah mengesahkan dua qanun yang berhubungan dengan syari’at Islam, yaitu Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’ah Islam dan Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’ah Islam bidang akidah, ibadah dan syari’ah Islam.4
Dengan demikian akan ada dua bentuk hukum positif Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syari’ah di Aceh. Pertama, adalah peraturan perundang-undangan syari’at Islam yang berlaku secara nasional seperti sekarang diterapkan melalui Peradilan Agama (PA) dengan kompetensi dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan kewakafan. Kedua, adalah peraturan perundang-undangan syari’at Islam yang disusun dalam bentuk berbagai qanun oleh DPRD Propinsi dan Pemerintah Daerah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sesuai amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2001.
Dalam berbagai kasus di dunia modern, sering terjadi kesalahpahaman dalam penerapan syari’at Islam tentang apa yang dimaksud dengan syari’at Islam karena perbedaan sudut pandang,5 tidak terkecuali di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Secara umum syari’at Islam yang dimaksud di Aceh meliputi aspek akidah, muamalah dan akhlak. Setiap orang muslim dituntut
3Rifyal Ka’bah, “Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh”, dalam Suara Uldilag, Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI, 2003, hlm. 46.
4Qanun Propinsi NAD Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, dalam Mahkamah Agung RI,
Suara Uldilag, Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI, 2003, hlm. 76, 101.
5Menurut Mahmud Syaltut bahwa yang dimaksud syari’at Islam adalah aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungan manusia dengan Allah, dam hubungan manusia dengan sesamanya. Lihat Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa
Syari’ah, Mesir: Daar al-Qalam, 1966, hlm. 2. Sementara menurut Ahmad Rofiq bahwa al-
syari’ah al-Islamy dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Dalam jabaran selanjutnya dari kata syari’at kemudian lahir istilah fiqh. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 3.
untuk mentaati keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur akidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan takwa atau hati nurani seseorang. Sedangkan ketaatan kepada aspek muamalah dan akhlak disamping ditentukan oleh kualitas iman dan takwa atau hati nurani, juga dipengaruhi adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi, yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi duniawi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakkan hukum menuntut peranan negara. Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh negara. Di sisi lain, negara tidak akan tertib bila hukum tidak ditegakkan.
Upaya legislasi pelaksanaan syari’at Islam di bidang akidah, ibadah (shalat dan puasa ramadhan) serta syi’ar Islam bukanlah upaya untuk mengatur substansi dari akidah dan ibadah. Masalah substansi telah diatur oleh nash dan dikembangkan para ulama dalam berbagai disiplin ilmu ke- Islaman. Dengan demikian upaya legislasi pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana diatur dalam qanun Nangroe Aceh Darussalam adalah upaya membina, menjaga, memelihara dan melindungi akidah orang Islam di Nangroe Aceh Darussalam dari berbagai paham dan aliran sesat. Pelanggaran akidah yang diancam hukuman di dalam qanun hanyalah setiap orang yang menyebarkan paham atau aliran sesat. Sedangkan ancaman hukuman bagi setiap orang yang dengan sengaja keluar dari akidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam, ancaman hukumannya akan diatur dalam qanun tersendiri tentang hudud.6
Demikian pula dengan pengaturan aspek ibadah, baik shalat fardhu/Jum’at maupun puasa Ramadhan dimaksudkan untuk mendorong, menggalakkan orang Islam melaksanakan dan meningkatkan kualitas iman dan kualitas amal, serta intensitas ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Upaya tersebut sangat perlu didukung oleh kondisi dan situasi pelaksanaan syari’at Islam, namun masih dalam lingkup nilai ibadah. Misalnya saja dalam pasal-pasal yang mengatur pelaksanaan shalat Jum’at. Pasal 8 qanun Nangroe Aceh Darussalam dalam bidang akidah, ibadah dan syari’at Islam menyatakan bahwa: “Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at. Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi atau mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at”.7
Sebagai konsekuensi dari pemberlakuan qanun tersebut, maka yang meninggalkan ketentuan tersebut akan mendapatkan sanksi. Dalam pasal 21 disebutkan: “Barangsiapa tidak melaksanakan shalat Jum’at tiga kali berturut- turut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dihukum 114.
6Mahkamah Agung RI, Suara Uldilag, Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI, 2003, hlm.
7Qanun Propinsi NAD Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, op.cit., 105.
dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 (tiga) kali.8
No comments:
Post a Comment