BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang Masalah
Pembentukan hukum Islam tidak lain bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Maslahat itu menjadi berubah ketika keadaan umat berubah dan berkembang menurut perkembangan lingkungan. Hukum memberikan keleluasaan kepada umatnya yang ditunjukkan melalui illat (motifasi substansial diundangkannya suatu hukum) yang dapat ditempatkan pada posisinya sehingga tidak menghilangkan arti, maksud, dan tujuan disyariatkan hukum itu sendiri. Ajaran Islam telah dianggap cukup sempurna, baik yang berhubungan dengan bidang ibadah, dan muamalah. Hal ini telah dinyatakan oleh firman Allah di dalam al-qur’an surat al-Maidah ayat 3 :
Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu.”1
Namun demikian, bukan berarti syari’at Islam membelenggu umatnya untuk berfikir, akan tetapi sebaliknya Islam memberikan kesempatan kepada pemeluknya untuk senantiasa menggunakan akal sebagai alat berfikir. Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang bersifat global atau mujmal yang
1 Departeman Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1996, h.
107.1
masih memerlukan pemikiran dan pemahaman lebih lanjut untuk menguak tabir yang terkandung di dalamnya, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah. Untuk mengetahui kejelasan pelaksanaan dari ibadah-ibadah tersebut perlu kiranya dilakukan penelitian dan pembahasan yang sungguh-sungguh dari para mujtahid dengan menggunakan perangkat ijtihad yang dikuasainya.
Sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam bahwa ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam seperti halnya sholat, puasa, dan zakat, yang wajib dikerjakan sekali seumur hidup,2 dan berlaku bagi muslim laki-laki dan perempuan yang memenuhi syarat kewajiban, terutama syarat isthitho’ah (kemampuan), sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Dan wajib melaksanakan haji karena Allah atas orang yang mempunyai kemungkinan untuk sampai ke sana.”3
Syari’at haji adalah syari’at yang terakhir diberikan oleh Allah SWT untuk dilaksanakan manusia. Menurut jumhur ulama, ibadah ini diresmikan menjadi syari’ah nabi Muhammad SAW pada tahun VI H.4 Dalam ibadah haji terdapat beberapa rukun dan syarat haji. Thawaf merupakan salah satu rukun haji, bahkan lebih dari itu thawaf merupakan ibadah tersendiri yang disunatkan melakukannya setiap saat. Yang terpenting 2 Teungku M. Hasbi ash Shiddieqy, Pedoman Haji, Semarang, PT. Rizki Putra, 1999, h. 9. 3 Departeman Agama RI, Op. Cit., h. 62. 4 Drs. Nasruddin razak, Dienul Islam, cet.VII, PT al Maarif, Bandung, 1984, h. 210.
dari thawaf adalah ibadah pembuka dan penutup ibadah haji. Di samping itu, thawaf dapat dilakukan di luar musim haji atau umroh.5
Pada waktu thawaf orang perempuan dan laki-laki boleh bersamasama, boleh menjinjing tas, menggendong anak, berpegangan satu sama lain dan sebagainya. Al-Qur’an dan hadits sebagai landasan pokok telah mensyariatkan thawaf. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat ketika menetapkan syarat-syarat yang harus dilakukan bagi seseorang yang hendak melakukan thawaf.
Ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali mensyaratkan thawaf dalam keadaan suci dari hadats dan kotoran, maka bagi orang yang junub, haid dan nifas tidak sah thawafnya.6 Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa thaharoh bukanlah syarat, hanya suatu wajib yang dapat diganti dengan penyembelihan dam.7
Ibn Mas’ud al Kasani sebagai salah satu ulama Hanafiyah mengatakan dalam bukunya Bada’i ash Shonai’ fi al Tartib al syarai’ :
Artinya : “Sesungguhnya suci dari hadats, jinabat, haid dan nifas tidak menjadikan syarat untuk dapat melaksanakan thawaf.”8
5 Prof. Dr. Zakiyah Darodjat, Haji Ibadah yang Unik, Remaja Rosdakarya, Bandung,
1989, h. 34. 6 M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Bagian I, Basrie Press, Jakarta, 1992, h.
309. 7 Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Op.Cit, h. 106.
8 Ibn Mas’ud al Kasani, Bada’i ash Shonai’ fi al Tartib al syarai’, Juz II, Darul Kutb al Alamiyah, Beirut, tt., h.129.
Sebagai ulama hanafiyah, ia merupakan ulama dari golongan ar ra’yu yang dalam menetapkan hukumnya selalu diepengaruhi oleh madzhabmadzhab furu’ yang ada. Sehingga bila memuat analisis nalar terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’. Maka kaidah tersebut harus dirubah dan dihapuskan, disesuaikan dengan hukum furu’ yang ada.9
Sesuai dengan judul yang diangkat dalam skripsi ini, penulis akan mencoba membahas lebih lanjut tentang masalah yang diperdebatkan, yaitu thaharoh sebagai syarat untuk dapat melaksnakan thawaf, karena masingmasing kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada dalil-dalil ijma’.
- B. Permasalahan
Berpijak pada latar belakang masalah diatas, ada beberapa pokok permasalahan yang hendak dikembangkan dan dicari pangkal penyelesaiannya, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Mengapa pendapat ibn Mas’ud al Kasani tentang diperbolehkannya thawaf bagi wanita haid?
- Apa dasar hukum dan metode istimbath hukum yang dipergunakan oleh ibn Mas’ud al Kasani mengenai diperbolehkannya thawaf bagi wanita haid?
- Bagaimanakah penyelesaian bagi wanita haid yang tidak bisa tinggal lebih lama lagi di Makkah, sedangkan ia tidak belum dapat melaksanakan thawafnya?
No comments:
Post a Comment