BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pekerja anak sudah menjadi perhatian utama banyak Negara selama hampir dua abad. Fenomena pekerja anak di Indonesia banyak berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua, dengan anggapan bahwa memberi pekerjan pada anak-anak merupakan upaya untuk proses belajar menghargai kerja dan tanggungj jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarganya. Dewasa ini fenomena munculnya anak-anak yang bekerja semakin memperihatinkan saja. Beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut seperti menjadi pengamen, menjadi pengemis dan beberapa pekerjaan sektor informal merupakan pilihan-pilihan para pekerja anak di Indonesia untuk bekerja dalam membantu orang tua.
Dengan berkembangnya waktu fenomena anak yang bekerja juga berkaitan dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (Nach Rowi D. Nach Towi dkk 1997:1). Keadaan orang tua yang tidak memiliki pekerjaan (penganguran) tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehingga memaksa anak untuk ikut bekerja. Dilain pihak, biaya pendidikan relatif tinggi ikut memperkecil kesempatan anak untuk mengikuti pendidikan. Permasalahan pekerja anak di Indonesia merupakan permasalahan lama yang semakin komplek dan berkembang dari waktu ke waktu. Walaupun fenomena pekerja anak merupakan fenomena global yang ada tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Namun demikian permasalahan pekerja anak di tiap-tiap negara berbeda derajat kualitas dan kuantitas permasalahannya yang semakin komplek, sementara di sisi lain perangkat perlindungannya masih lemah.
Munculnya pekerja anak merupakan permasalahan sosial ekonomi yang cukup memperihatinkan, karena idealnya pada usia 15 tahun tersebut mereka hanya menimba ilmu pengetahuan dan tidak terbebani dengan pekerjan mencari nafkah. Diperkirakan pekerja anak di Indonesia di bawah usia 14 tahun secara ekonomis aktif sekitar 2-4 juta anak (Konvensi Hak-Hak Anak, 2000: p.iii). Hasil SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) Badan Pusat Statistik tahun 1998 memperlihatkan anak bekerja secara nasional berjumlah 2,8 juta anak. Kemudian pada tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi pekerja anak berjumlah 10,3 juta anak atau 17,6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak. Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, anak yang bekerja tersebut ternyata hanya 1% yang lulus SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), 53% tamat SD (Sekolah Dasar) dan 46% tidak atau belum tamat SD. (www.depsos.go.id) Dari data SUSENAS tahun 2001 diketahui bahwa penduduk yang berumur 5-14 tahun yang bekerja sebanyak 260.375 anak. Angka tersebut bila dilihat dari jenis kelamin, maka anak laki-laki lebih banyak yang bekerja dibanding anak perempuan. Anak laki-laki bekerja yang berumur 5-14 tahun sebanyak 151.188 anak. Sementara anak perempuan berumur 5-14 tahun yang bekerja sebanyak 109.187 anak. (BPS, Susenas, 2001).
Berdasarkan penelitian ILO tahun 2005, terdapat 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia putus sekolah dan menjadi pekerja anak. Survei yang dilakukan ILO mencakup 1.200 keluarga di lima provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS) di Kota Malang pada tahun 2001, diperkirakan terdapat 559 anak bekerja yang tersebar di berbagai Kecamatan di Kota Malng, sedangkan berdasarkan hasil survey Bagian Sosial Kota Malang pada tahun 2004, di Kota Malang diperkirakan ada 785 anak jalanan yang tersebar dibeberapa lokasi. Meningkatnya anak-anak memasuki pasar tenaga kerja dikarenakan suatu keadaan dimana anak-anak tersebut terpaksa melakukannya karena orang tua tidak sanggup untuk membiayai sekolah, terutama rumah tangga miskin.
Para orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak-anak merupakan proses belajar, belajar untuk menghargai kerja dan belajar bertanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak-anak kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban keluarga. Dengan demikian bekerja bagi anak-anak merupakan hal yang wajar, bahkan telah membudaya pada masyarakat kita. Tetapi yang menjadi masalah adalah sebagian orang tua memberikan pekrjaan yang berada diluar kemampuan anak-anak sehingga anakanak kehilangan kesempatan untuk belajar.
No comments:
Post a Comment