REFORMASI DAN REORIENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT-DAERAH
On 22 March 2008 Labels: Jurnal
Trilaksono Nugroho
Drs. Trilaksono Nugroho, MS., adalah Staf Pengajar Administrasi Negara Unibraw yang kini menjabat Sekretaris Badan Pertimbangan Penelitian FIA Unibraw dan masih aktif sebagai Sekretaris AIDI Cabang Malang. Memperoleh gelar sarjana dari FIA Unibraw (1985) dan Magister dari Universitas Padjajaran Bandung pada Bidang Administrasi Negara (1990).
Abstraksi
Reformasi penyelenggaraan pemerintah-an daerah di Indonesia pada dasarnya harus dapat dipahami sebagai suatu perubahan kearah perbaikan tanpa merusak, atau sedapat mungkin tetap dapat memelihara kontinyuitas yang telah ada oleh mereka yang memimpin suatu sistem pemerintahan.
Untuk dapat mewujudkan keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, maka arah kebijakan otonomi dae-rah harus mengacu pada : (a) Self Regulat-ing Power, (b) Self Modifiying Power, (c) Local Political Support, (d) Financial Recources, dan (d) Developing Brain Power, yang pada dasarnya telah menjiwai pasal-pasal Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan mengacu pada arah kebijakan tersebut, maka daerah akan diberi ruang yang cukup untuk dapat mengelola kepen-tingannya, sehingga dapat memberi kesem-patan masyarakat daerah untuk berperan serta dalam proses-proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, baik di bidang peme-rintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan yang dikehendakinya.
Pendahuluan
Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Peme-rintah Daerah mengisyaratkan adanya secer-cah harapan bagi daerah terhadap reformasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah di Indonesia, dari kondisi yang selama ini kurang memberikan ruang yang cukup bagi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah, menjadikan daerah sedikit terlepas dari kungkungan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dalam kaitan dengan implementasi kebi-jakan reformasi penyelenggaraan pemerin-tahan daerah di Indonesia, yang harus dipa-hami semua pihak adalah makna dan arti reformasi itu sendiri secara benar, yaitu reformasi sebagai suatu langkah perubahan kearah perbaikan tanpa merusak atau seraya memelihara dengan diprakarsai oleh mereka yang memimpin suatu sistem. Hal ini perlu disadari bahwa tanpa reformasi sistem itu bisa goyah, atau dengan kata lain sebaiknya reformasi itu diprakarsai dari sistem itu sendiri sehingga metode reformasi akan dapat bersifat gradual, bertahap dan berke-sinambungan (Faisal Tamin, 1998:2).
Karenanya, arah kebijakan refoemasi dan reorientasi dalam penyelenggaraan Pemerin-tah Daerah di Indonesia seharusnya menga-cu kepada berbagai permasalahan yang sela-ma ini selalu dijadikan bahan perdebatan dalam melakukan kajian terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain adalah :
(1) Distribusi kewenangan yang tergam-bar sebagai piramida terbalik, dimana kewe-nangan ditingkat pusat sangat besar dan di tingkat daerah semakin mengecil terlebih-lebih pada Daerah Tingkat II. Kondisi ini akibat adanya alasan pembenar yang ber-asumsi bahwa Pemerintah Daerah belum di-anggap mampu untuk melaksanakan sebagi-an besar urusan-urusan pemerintah, karena dihadapkan pada Sumber Daya Manusia yang terbatas.
(2) Hubungan Kepala Daerah dan DPRD yang kurang serasi, akibat kedudukan DPRD berada di bawah bayang-bayang Kepala Daerah. Dengan demikian DPRD menjadi sulit untuk dapat bergerak secara proporsi-onal dalam menjalankan tugas dan fungsi-nya sebagai lembaga perwakilan rakyat yang bertugas mengawasi dan mengontrol penye-lenggaraan pemerintahan, serta sebagai tem-pat untuk me-nyalurkan aspirasi masyarakat.
(3) Pendapatan daerah yang kecil meng-hambat bagi Pemerintah Daerah untuk me-laksanakan tugas-tugas pemerintahan yang terus semakin meningkat untuk memberi-pkan pelayanan kepada masyarakat. Kecil-nya pendapatan daerah seringkali disebab-kan oleh lapangan Pajak Daerah dan Retri-busi Daerah sangat terbatas. Kondisi seperti ini masih diper-buruk dengan kebijakan pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang masih menggunakan pola-pola bagi hasil pajak dan non pajak, subsidi daerah otonom (SDO) yang dipandang kurang menguntungkan daerah.
(4) Kelembagaan Pemerintah Daerah dengan Dinas-Dinas Daerahnya, belum men-cerminkan adanya suatu Lembaga yang benar-benar dibentuk atas pertimbangan be-ban kerja atau volume kerja sebagai bagian dari pelaksanaan distribusi kewenangan, sehingga tercermin tidak efisien baik dari segi pembiayaan maupun pengisian perso-nilnya.Terdapat kecenderungan bahwa no-menklatur pembentukan kelembagaan Dinas Daerah sebagai perangkat Pemerintah Dae-rah diatur secara seragam baik jumlah ja-batannya maupun nomenklaturnya, sehingga tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
(5) Tersumbatnya partisipasi dan peran serta masyarakat diakibatkan adanya kecen-derungan dan anggapan yang kuat bahwa pemerintahlah yang memiliki tanggung-jawab yang besar dalam melaksanakan ke-giatan-kegiatan pembangunan dan kebijak-an-kebijakan publik. Akibatnya, banyak ke-giatan-kegiatan pembangunan dan pelayanan publik yang seharusnya dapat diserahkan ke-pada kekuatan di luar pemerintahan seperti LSM atau pihak Swasta, masih sepenuh-nya dilakukan oleh Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah.
Dengan adanya berbagai permasalahan otonomi daerah sebagaimana yang telah dikemukakan, pemerintah melalui Undang-Undang No.22 Tahun 1999 telah memper-luas kewenangan pelaksanaan otonomi dae-rah dengan menyerahkan sepenuhnya bebe-rapa bidang (desentralisasi politik dan administratif) urusan pemerintahanan kepa-da Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Bidang-bidang pemerintahan yang wajib dilak-sanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi : Pekerjaan Umum, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Pertanian, Perhubungan, Industri dan Per-dagangan, Penanaman Modal, Lingkungan Hidup, Pertanahan, Koperasi, dan Tenaga Kerja.
Sementara itu kewenangan Pemerintah Pusat terbatas pada penanganan Bidang Politik Luar Negeri, Hankam, Peradilan, Moneter/ Fiskal dan Agama, serta bidang-bidang tertentu seperti : Kebijakan Peren-canaan Nasional, Dana Perimbangan, Sis-tem Administrasi Negara, Pembinaan dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Sumber Daya Alam dan teknologi tinggi yang strategis, Konservasi dan Standarisasi Nasional.
Sedangkan kewenangan Propinsi baik sebagai Daerah Otonom maupun Wilayah Administratif diberikan batasan kewena-ngan,yaitu hanya menyelenggarakan bidang-bidang urusan pemerintahan yang tidak mampu ditangani oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Daerah Kota, atau bidang-bidang urusan Pemerintahan yang sifatnya lintas Daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai konsekwensi atas perluasan pe-limpahan kewenangan kepada Daerah Kabu-paten dan Daerah Kota pada sebagian besar bidang pemerintahan tersebut, membawa konsekwensi terhadap kesiapan Daerah un-tuk menerima peningkatan tugas dan tang-gung jawab yang harus diembannya.
B. Kebijakan Mendasar Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Untuk dapat mewujudkan otonomi bagi Daerah agar memiliki keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, maka menurut Agus Syamsuddin (1999: 5) terkait dengan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, Self Regulating Power, yaitu kemampuan mengatur dan melak-sanakan otonomi Daerah demi kesejahteraan masyarakat di daerahnya.
Kedua, Self Modifying Power, yaitu ke-mampuan melakukan penyesuaian-penyesu-aian dari peraturan yang ditetapkan secara nasional dengan kondisi daerah.
Ketiga, Local Political Support, yaitu menyelenggarakan pemerintahan daerah yang mempunyai legitimasi luas dari ma-syarakat, baik pada posisi Kepala Daerah sebagai unsur eksekutif maupu DPRD se-bagai unsur legislatif. Dukungan politik lo-kal ini akan sekaligus menjami
n efektivitas pe-nyelenggaraan pemerintahan dan pemba-ngunan.
Keempat, Financial Recources, yaitu mengembangkan kemampuan dalam me-ngelola sumber-sumber penghasilan dan ke-uangan yang memadai untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintahan, pembangu-nan dan pelayanan masyarakat yang segera menjadi kebutuhannya.
Kelima, Developing Brain Power, yaitu mem-bangun sumberdaya manusia aparatur pemerintah dan masyarakat yang handal yang bertumpu pada kapabilitas intelektual dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Sebagai implikasi dari kerangka pemi-kiran tersebut, maka hal-hal yang bersifat mendasar dari Undang-Undang No. 22 Ta-hun 1999 yang tidak dijumpai dari un-dang-undang sebelumnya yang mengatur Pemerintah Daerah (Undang-Undang No. 5 Tahun 1974) yaitu :
(1) Penyelenggaraan otonomi daerah, yang semula dilakukan dengan pola berta-hap, sekarang dilakukan dengan penyera-han secara total, bulat, utuh dan menyelu-ruh terhadap semua kewenangan pemerin-tahan kecuali 7 (tujuh) bidang tertentu seper-ti Bidang Luar negeri, Hankam, Moneter/ Fiskal, Peradilan dsb. yang tetap ditangani Pemerintah Pusat
(2) Pelaksanaan asas-asas pemerintahan bagi Propinsi, dipergunakan asas Desentrali-sasi dan Dekonsentrasi, sehingga Propinsi berfungsi sebagai Daerah Otonom sekaligus sebagai Wilayah Administrasi, sehingga Gu-bernur disamping berstatus sebagai Kepala Daerah sekaligus sebagai Kepala Wilayah.
(3) Asas desentralisasi sepenuhnya dite-rapkan pada Daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan Kecamatan tidak lagi sebagai perangkat Dekonsentrasi dan Wilayah Ad-ministratsi, akan tetapi sepenuhnya menjadi
perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan sepenuhnya diserahkan kepa-da Daerah masing-masing.
(4) Pemerintah Daerah terdiri dari Ke-pala Daerah dan Perangkat Daerah lainnya, sedangkan DPRD bukan lagi sebagai unsur Pemerintah Daerah akan tetapi merupakan kelembagaan mandiri yang mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah serta dapat sebagai tempat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat agar ke-pentingan-kepentingannya tercermin dalam kebijakan Pemerintah Daerah.
(5) Kepala Daerah Kabupaten dan Kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, sedangkan Gubernur selaku Kepala Wilayah Administrasi bertanggung jawab kepada Presiden akan tetapi selaku Kepala Daerah tetap bertanggungjawab kepada DPRD. Untuk itu Peraturan Daerah yang di-susun cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah dan DPRD tanpa perlu pengesahan pejabat diatasnya.
(6) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,pem-berhentian, penetapan pensiun, gaji, tunja-ngan dan kesejahteraan, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai kebutuhan dan ke-mampuan Daerah. Pada bidang keuangan daerah, sumber-sumbernya dapat berasal dari PAD, Dana perimbangan, Pinjaman daerah dan lain- lain pendapatan yang sah.
(7) Kepada Kabupaten dan Kota diberi-kan otonomi yang luas, sedangkan pada Propinsi otonominya terbatas. Kewenangan yang ada pada Propinsi adalah otonomi yang sifatnya lintas kabupaten dan kota. Di samping itu kewenangan pada bidang-bi-dang tertentu yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
(8) Wilayah Propinsi ditetapkan pula meliputi wilayah laut sepanjang 12 Mil di-hitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedangkan Wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3
wilayah laut Propinsi (4 Mil). Dengan ke-wenangan ini memungkinkan Daerah un-tuk menggali potensi yang berada di lautan dalam upaya meningkatkan PAD.
(9) Kelembagaan Daerah disamping DPRD sebagai lembaga legislatif, dibentuk pula kelembagaan eksekutif yaitu Kepala Daerah, Sekertaris Daerah, Dinas-Dinas Daerah atau Lembaga Staf teknis lainnya yang dapat dibentuk berdasarkan kebutu-han Daerah. Sedangkan kelembagaan yang ada di daerah seperti Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikotamadya Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kantor De-partemen dihapus.
C. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam Uu. No. 22/1999.
Prinsip-prinsip otonomi daerah yang di-jadikan pedoman dalam implementasi Un-dang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ten-tang Pemerintahan Daerah dapat dikemuka-kan sebagai berikut :
(1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta po-tensi dan keanekaragaman Daerah. (2) Pe-laksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada prinsip-prinsip otonomi luas, dinamis, nyata dan bertanggungjawab dalam kerangka ne-gara kesatuan.
(3) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh Diletakkan pada Daerah Kabu-paten dan Kota, sedangkan otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi Negara, sehing-ga tetap terjamin hubungan yang serasi an-tara Pemerintah Pusat dan Daerah serta an-tar Daerah.
5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, karenanya dalam suatu Daerah Kabupaten dan Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi.
(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi ba-dan legislatif DPRD, baik sebagai fungsi le-gislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaran Pemerintah-an Daerah.
(7) Pelaksanaan asas Dekonsentrasi dile-takkan pada Daerah Propinsi dalam kedudu-kannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah ter-tentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
(8) Pelaksanaan tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerin-tah dan Daerah kepada Desa dengan diser-tai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta mempertanggungjawabkan kepada yang me-nugaskannya.
Dengan telah dikeluarkannyanya bebera-pa macam Peraturan Pemerintah (PP) pada tanggal 6 Mei 2000, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah akan diwujudkan sebagai berikut :
(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Peme-rintah Daerah sebagai Badan Ekse-kutif Daerah.
(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepa-la Daerah beserta perangkat daerah lainnya seperti Dinas-Dinas Daerah.
(3) Setiap Daerah dipimpin oleh Kepa-la Daerah sebagai kepala eksekutif, yang dalam bertugas dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.
(4) Kepala Daerah Propinsi disebut Gu-bernur yang karena jabatannya me-rangkap sebagai Kepala Wilayah yang merupakan wakil pemerintah.
a. Dalam menjalankan tugas dan ke-wenangannya sebagai Kepala Dae-rah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD.
b. Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur berada di-bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(5) Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati dan Kepala Daerah Kota di-sebut Walikota. Sedangkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah, Bupati/ Wali-kota bertanggungjawab kepada DPRD.
(6) Perangkat Daerah terdiri dari Sekretaris Daerah, Dinas-Dinas Daerah dan lembaga Tehnis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan Daerah.
(7) Sekertariat Daerah.
a. Sekretariat daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah.
b. Sekretaris daerah Propinsi diang-kat oleh Gubernur atas persetu-juan pimpinan DPRD dari Pega-wai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.
c. Sekretaris Propinsi karena jaba-tannya sekaligus merangkap seba-gai Sekertaris Wilayah.
d. Sekretaris Daerah Kabupaten atau Sekretaris Daerah Kota diangkat oleh Bupati atau Walikota atas persetujuan Pimpinan DPRD dari PNS yang memenu-hi syarat.
e. Sekretaris Daerah bertanggung-jawab kepada Kepala aerah yang mengangkat-nya.
f. Apabila Sekretaris daerah berhala-ngan dalam melaksanakan tugas-nya, maka tugas Sekretaris Daerah dapat dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
(8) Dinas Daerah merupakan unsur pe-laksana Pemerintah Daerah. Dinas Daera
h dipimpin oleh Kepala Dinas yang diangkat oleh Kepala Daerah dari PNS. yang memenuhi syarat atas usul Sekertaris Daerah. Kepala Dinas bertanggung jawab kepada
Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
(9) Penyelenggaraan wewenang yang di-limpahkan oleh Pemerintah (Pusat) kepada Gubernur (Propinsi) selaku Wakil Pemerintah dalam rangka asas Dekonsentrasi, dilaksanakan sepenuh-nya oleh Dinas Propinsi.
(10) Kecamatan.
a. Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan (Camat).
b. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota dari PNS, yang memenuhi syarat.
c. Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota
(11) Kelurahan.
a. Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan (Lurah)
b. Lurah diangkat dari PNS. yang memenuhi syarat oleh Walikota/ Bupati atas usul Camat
c. Lurah dalam melaksanakan tugas-nya bertanggung jawab kepada Camat.
(12) Pemerintahan Desa.
a. Pemerintah Desa terdiri atas Kepa-la Desa yang disebut dengan nama lain dan Perangkat Desa.
b. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat
c. Calon Kepala Desa yang terpilih dengan suara terbanyak, ditetap-kan oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), dan disyahkan oleh Bupati.
d. Masa jabatan Kepala Desa paling lama 10 tahun atau dua kali masa jabatan.
e. Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain ber-fungsi mengayomi adat istiadat,
membuat Peraturan Desa, menam-pung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pe-ngawasan terhadap penyelengga-raan Pemerintahan Desa.
D. Reorientasi Dan Perspektif Pelaksanaan Otonomi Daerah
Perluasan Otonomi Daerah sebagaimana tercermin dalam kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupa-kan suatu peluang untuk memberdayakan daerah dalam melaksanakan tugas peme-rintahan, pembangunan dan kemasyarakat-an. Namun demikian dalam pelaksanaannya akan banyak ditemukan masalah dan kenda-la antara lain sebagai berikut :
(1) Otonomi Daerah yang berarti kepe-milikan kewenangan atau otoritas lokal oleh daerah yang bersangkutan. Pada hakekat-nya hal ini merupakan pengembalian hak daerah untuk mengambil inisiatif dan pra-karsa kreatif bagi kepentingan masya-rakat. Dalam hal ini berarti pula secara administratif dan politis, maka daerah harus dapat secara terkendali dapat menyelengga-rakan kekuasa-annya tanpa banyak campur tangan Pemerintah Pusat.
Hal ini penting oleh karena untuk meng-hindari bias operasional dari implementasi UU. No. 22/1999 akan muncul baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Dae-rah. Bias operasional ini dapat berupa ketidakjelasan atau kerancuan mekanisme dilapangan maupun ketumpang tindihan fungsional kelembagaan.
(2) Otonomi daerah harus diimplemen-tasikan dalam kerangka orientasi agar dae-rah benar-benar mampu mengambil inisia-tif dan prakarsa kreatif menuju keberlangsu-ngan dan keberhasilan pembangunan daerah yang pada gilirannya nanti, inisiatif dan prakarsa kreatif daerah itu akan dilaksa-nakan sendiri dan penentuan hasilnya juga
akan kembali kepada daerah yang bersangkutan.
(3) Implementasi otonomi daerah harus di-dukung oleh segenap kemampuan Peme-rintah Daerah, struktur kelembagaannya dan masyarakat daerah itu sendiri. Kemam-puan tersebut secara nyata harus memiliki tiga komponen dasar berupa kemampuan peren-canaan, kemampuan pelaksanaan dan ke-mampuan kontrol atau pengawasan. Sehi-ngga dengan demikian ke tiga demensi ini yang akan dapat menggerakkan roda pemba-ngunan di daerah secara otonom dan ber-orientasi pada kepentingan masyarakat.
(4) Pemerintah Daerah harus melakukan penataan restrukturisasi kelembagaan dae-rah agar kondusif bagi pelaksanaan otono-mi. Karenanya, arah restrukturisasi harus di-tujukan pada penataan kelembagaan sesuai kebutuhan daerah setempat seperti dalam membentuk Dinas
Daerah atau penyatuan kelembagaan Kanwil/Kandep kedalam Dinas Daerah me-nuju kelembagaan yang efektifitas dan efi-sien sehingga tidak terjebak pada terjadi-nya keruwetan-keruwetan birokratis pasca perluasan otonomi daerah.
(5) Proses restrukturisasi kelembagaan daerah harus diiringi dengan penyiapan apa-ratur Pemerintah sebagai sumberdaya manu-sia yang benar-benar profesional dan visi-oner. Sumber Daya Manusia ini nantinya harus dapat diatur dan dikelola secara tepat dalam suatu iklim kerja yang dinamis dan demokratis, baik menyangkut rekruitmen, seleksi dan penempatan maupun pengem-bangan karier serta komposisi prestasi. Dengan demikian aparatur Pemerintah ini akan dapat menggerakkan lembaga-lembaga daerah melalui ide dan prakarsa-prakarsa kreatif menuju terwujudnya otonomi daerah sebagaimana yang diharapkan.
(6) Untuk dapat tercapainya otonomi daerah sebagaimana yang diharapkan terse-but, maka yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah diperlukan adanya
persepsi yang sama dari semua pihak, baik para pengambil keputusan dan pelaksana-nya, serta masyarakat luas terutama masya-rakat di daerah yang nantinya akan merasa-kan hasilnya melalui pemberdayaan dalam kerangka mencapai masyarakat madani yang diharapkan bersama akan segera dapat ter-wujud.
Karenanya, pada bagian akhir tulisan ini dapat dikemukakan format disain otonomi daerah sebagai implikasi dari kebijaksana-an reformasi penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai berikut :
(1) Demokratisasi akan berjalan secara lebih transparan penuh keterbukaan dan semakin menumbuhkan peran dan kemam-puan masyarakat untuk melibatkan dirinya dalam proses pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pemba-ngunan.
(2) Kemandirian daerah dalam menye-lenggarakan urusan rumah tangganya akan semakin terwujud sehingga mampu meng-hadapi segenap tantangan, hambatan, gang-guan dan ancaman yang akan selalu meng-hadang pada masa-masa mendatang.
(3) Terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dapat memberdayakan kemampuan pemerintah daerah dalam me-nyelenggarakan urusan rumah tangga dae-rahnya.
(4) Pelimpahan kewenangan kepada Daerah dalam penyelenggaraan urusan pe-merintahan akan diberikan secara luas, mes-kipun masih dalam bingkai negara kesa-tuan. Dalam hal ini distribusi kewenangan yang jelas kepada Daerah menjadi hal yang penting dibanding jenis urusan itu sendiri.
(5) Pelimpahan kewenangan harus ter-wujud dengan adanya pendekatan pengam-bilan keputusan atas sesuatu kegiatan pe-merintahan dan pembangunan pada peme-rintahan Daerah Kabupaten dan Kota, ter-utama dalam proses-proses pemberian per-
ijinan yang mendorong terwujudnya iklim investasi yang kompetitif.
(6) Mendorong adanya privatisasi pe-nyelenggaraan sebagian urusan pemerintah (desentralisasi pelayanan publik) kepada pihak swasta dan LSM/NGO secara bertahap dengan secara cermat harus tetap memper-hatikan kondisi dan kemampuan masyara-kat. Dalam hal ini Pemerintah Daerah tetap bertindak sebagai pengatur dalam melaku-kan desentralisasi pelayanan publik.
E. Penutup
Dengan uraian yang telah dikemu-kakan, dapat disimpulkan bahwa paradigma otonomi daerah menuntut suatu arah kebi-jakan reformasi penyelenggaraan pemerin-tahan, pada upaya memberi ruang pada daerah yang memungkinkan peran serta aktif masyarakat dalam proses-proses kebijakan pemerintahan dan pembangunan.
P.
DAFTAR PUSTAKA
Mawhood Philip, Local Government in The Third World, John Wiley & Sons, Toronto, 1983
Gerry Stoker, Governance as Theory : Fife Proposition, The Privatisation of Urban Services in Europe, 1997.
Faisal Tamin, Reformasi dan Reorientasi Paradigma Otonomi Daerah (Makalah), Seminar HMI Cab. Malang, 1998.
Henry Teu
ne, Local Government and Democratic Political Development, Annals AAPSS, 1996.
Solinger J. Dorothy, Despite Decentrali-zation : Disadvantages, Dependence and Ongoing Central Power in the Inland-the Case of Wuhan (Journal), The China Quarterly, 1996.
Syamsuddin Agus, Mengenal Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Makalah), Seminar Kadin-PWI Kabupaten Bondowoso, 2000.
Thomas G. Kingsley, Prespectives on Devolution (Journal), The American Planning Assosiation, Chicago, 1996.
Trilaksono N., Prospek Otonomi Daerah : Implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Makalah), Pentaloka DPRD Kotamadya Pasuruan, 2000.
Moch. Mafud MD. Reformasi Tatanan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Makalah), Seminar Otonomi Daerah Unibraw, 2000.
No comments:
Post a Comment